Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Umat)
“Gali-gali-gali-gali-gali lobang
Gali-gali-gali-gali-gali lobang
Lobang digali menggali lobang
Untuk menutup lobang
Tertutup sudah lobang yang lama
Lobang baru terbuka”
Sepertinya lirik lagu H. Rhoma Irama ini begitu cocok dengan kondisi utang di negeri ini. Bahkan, seperti ya bukan hanya gali lubang untuk menutupnya, tetapi menggali lubang memang hanya menambah lubang lagi. Artinya, utang yang menjerat negeri kaya sumber daya alam ini terus saja bertambah. Pertambahan utang Indonesia seperti umur, terus bertambah tanpa tahu cara berkurang.
Bayang-Bayang Jebakan Utang
Sebuah paradigma usang terus terbayang. Sebuah kesalahan fatal menjadikan utang sebagai urat nadi pemasukan negara dan pembelanjaannya. Kesemrawutan pertumbuhan ekonomi justru dianggap aman meski utang negeri ini mengalami penambahan di tiap tahunnya.
Viva.co.id (30/12/2023) menginformasikan bahwa utang pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga November 2023 tercatat menembus Rp8.041 triliun. Angka ini naik Rp487 triliun dibandingkan November 2022. Dengan jumlah tersebut, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) per 30 November 2023 adalah 38,11 persen atau naik dari bulan sebelumnya pada level 37,95 persen. Kondisi ini masih dianggap aman oleh Ekonom Universitas Brawijaya Malang, Hendi Subandi, mengatakan bahwa rasio utang luar negeri Indonesia masih tergolong aman. Ia pun memasukkan kategori utang Indonesia sebagai utang produktif, karena digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang memberikan dampak positif jangka panjang.
Delapan ribu triliun lebih ini tentu bukanlah angka yang sedikit. Menderetkan angka 0 saja sudah panjang. Lantas, anggapan aman yang diwacanakan para pakar ataupun pejabat terkait sungguh memprihatinkan. Jika demikian, fix, Indonesia berada dalam bayang-bayang jebakan utang tanpa tahu caranya untuk keluar dari jebakan tersebut.
Utang laksana candu ya g membuat ketagihan. Kekayaan alam negeri ini tak lantas menumbuhkan rasa tanggung jawab pada pemangku kebijakan dan penanggung jawab negeri ini untuk mengelola dengan tepat dan baik. Alih-alih mengelola SDA dan mendistribusikannya pada rakyat, negara justru sibuk dengan pembangunan infrastruktur fisik meski sedang tak ada anggaran. Walhasil, utang menjadi jalan keluar. Alih-alih mengelola dan mendistribusikan kekayaan alam pada rakyat, negara justru sibuk mengundang investor asing guna pemanfaatan SDA bahkan ruang publik yang dianggap bisa menjadi proyek strategis negara dan mendatangkan keuntungan.
Biang Kerok
Negara seakan-akan maniak utang bukan tanpa sebab. Dari masa ke masa, utang Indonesia terus menggunung. Hal ini menunjukkan aturan apa yang sebenarnya ditegakkan di negeri ini. Tepat, sistem ekonomi kapitalisme tengah merajai sudut pandang usang tia petinggi negeri. Di mana pengelolaan SDA yang sejatinya merupakan hajat hidup orang banyak sebagaimana diatur dalam undang-undang justru diserahkan kepada pihak swasta atau asing dalam pengelolaannya.
Sistem kapitalisme menceraikan tanggung jawab negara dari rakyat. Pembangunan infrastruktur dengan utang yang disebut-sebut sebagai proyeksi jangka panjang dan menjadi utang produktif terus disebut tanpa melihat siapa yang harus menanggung utang-utang itu. Utang ini kemudian meniscayakan adanya penarikan sejumlah pajak kepada seluruh rakyat dengan masing-masing kriteria untuk membiayai pembelanjaan negara termasuk membayar utang.
Racun kapitalisme telah menyerang jantung negeri ini sehingga menjadikan rakyat sebagai tumbal dari keserakahan pembangunan infrastruktur yang tak banyak dinikmati rakyat kecil. Sungguh, biang kerok jebakan utang yang membayangi setiap negeri muslim yang berkembang, wabil khusus Indonesia adalah sistem kapitalisme. Dengan menjerat negeri ini dalam jebakan utang, maka seinci demi seinci kedaulatan akan digadaikan.
Apalagi utang ribawi yang dijadikan landasan utang Indonesia justru kian menambah deretan kesengsaraan tersendiri. Keterpurukan ekonomi dengan harga yang terus melambung tinggi dan pencabutan subsidi sana-sini cukup menjadi bukti betapa utang melenyapkan kesejahteraan rakyat. Apalagi jika berkaca pada Zimbabwe dan Sri Lanka beberapa waktu lalu yang kacau karena bermula dari utang. Sungguh biang kerok kusutnya ekonomi adalah sistem kapitalisme.
Utang dalam Pandangan Islam
Islam bukan sebatas agama ritual, tetapi juga seperangkat aturan kehidupan yang Allah turunkan pada Rasulullah saw. Islam sejatinya memiliki aturan terkait utang, termasuk utang negara. Dalam Islam, utanga dalah sesuatu yang diperbolehkan, tetapi tidak dijadikan sebagai jalan keluar dalam tiap pembelanjaan negara.
Negara yang menegakkan sistem pemerintahan Islam, tidak akan berutang kecuali dalam keadaan darurat saja dan baitulmal kosong melompong. Baitulmal memiliki pemasukan yang telah ditetapkan secara syar’i seperti fay, kharaj, jizyah, ghanimah, hima, zakat (hanya untuk 8 ashnaf). Sementara untuk harta milik umum akan dikelola negara dan akan didistribusikan sepenuhnya untuk kebutuhan rakyat.
Islam menjadikan negara sebagai pelayan rakyat. Sistem Islam akan fokus untuk menyejahterakan sleuruh rakyat, miskin ataupun kaya. Jika ada seorang rakyat saja yang kelaparan di suatu hari. Hal itu akan menjadi alarm berbahaya bagi negara. Sebab, seluruh kebutuhan pokok personal dan komunal menjadi tanggung jawab negara dalam pemenuhannya, terutama kebutuhan komunal berupa kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Pendistribusian pemenuhan kebutuhan pokok individu dilakukan dengan mekanisme tidak langsung. Artinya negara akan memastikan tiap laki-laki yang memiliki kewajiban nafkah untuk menunaikannya. Sementara jika tidak ada sama sekali yang menanggung nafkah dalam sebuah keluarga, negara yang akan menjamin kebutuhan pokok personal secara langsung. Dalam pemenuhan jaminan atas kebutuhan pokok personal dan komunal, negara tidak akan mengandalkan utang, tetapi akan mengambil dari baitulmal. Berutang hanya akan dilakukan dalam kondisi mendesak dan baitulmal kosong. Itu pun tidak akan meminjam kepada orang kafir apalagi kafir harbi. Namun, meminjam kepada kaum muslim yang kaya dengan pengembalian tanpa riba.
Allah Taala berfirman, “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisa’: 141)
Dengan Islam, utang sama sekali tak akan membayangi. Negara akan terus fokus pada pelayanan prima dalam memenuhi kebutuhan tiap individu rakyat tanpa tebang pilih.
Penutup
Utang jika dijadikan kebiasaan akan menyeret siapa pun, termasuk negara dalam lubang kesialan abadi. Belum lagi kedaulatan yang tergadaikan dan rakyat yang dikorbankan. Sudah saatnya kaum muslim dan penguasa muslim memahami bahaya jebakan utang yang ada saat ini. Saatnya beralih dari sistem kapitalisme menuju sistem Islam yang berasal dari wahyu Ilahi. Wallahu a’lam.