Impor Gula demi Kepentingan Siapa?

Oleh. Rosna Fiqliah
(Ibu Peduli Negeri)

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan Menteri Perdagangan Tahun 2015–2016 Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong, sebagai tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Perdagangan (Kemendag). Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar mengatakan, impor gula kristal putih seharusnya hanya dilakukan BUMN, namun Tom Lembong mengizinkan PT AP untuk mengimpor (29/10).

Krisis gula di Indonesia menunjukkan ironi besar di balik sistem yang mengandalkan kapitalisme liberal, di mana kekayaan alam yang melimpah tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar rakyat. Kebijakan impor yang seharusnya menjadi solusi justru dimanfaatkan untuk memperkuat cengkeraman oligarki yang menguasai pasar. Sementara petani dan produsen lokal terpinggirkan.

Keputusan untuk terus mengimpor gula bukan hanya mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola sektor pertanian, tetapi juga menunjukkan bagaimana kebijakan ini dimanipulasi oleh pengusaha sekaligus penguasa yang lebih memprioritaskan keuntungan jangka pendek daripada keberlanjutan ekonomi domestik. Akibatnya, ketergantungan pada impor memperburuk ketimpangan sosial-ekonomi, di mana rakyat kecil semakin terjepit, sementara oligarki terus menguatkan dominasi mereka atas sumber daya ekonomi. Dalam jangka panjang, kebijakan ini mengabaikan pembangunan sektor pertanian lokal yang seharusnya bisa menjadi solusi berkelanjutan, dan menggambarkan betapa sistem kapitalisme liberal sering kali memperburuk ketidakadilan, menjadikan rakyat sebagai korban dari permainan kekuasaan ekonomi.

Impor gula yang terus dipertahankan mencerminkan kegagalan pemerintah dalam mendukung sektor pertanian lokal dan memperburuk ketergantungan pada oligarki yang menguasai pasar. Kebijakan ini bukan solusi, melainkan cara untuk memperkaya segelintir pihak sambil mengorbankan petani lokal dan memperlebar ketimpangan sosial. Pemerintah seharusnya fokus pada pemberdayaan sektor lokal, bukan terus mengandalkan impor yang merusak kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Kondisi ini berbeda total dengan sistem IsIam (Khilafah) yang memosisikan pemerintah sebagai ra’in (pengurus rakyat). Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya.“ (HR Bukhari)

Ketika terjadi defisit pangan, khalifah akan menyelesaikannya dengan penerapan syariat Islam kafah. Khalifah tidak akan membiarkan ada satu pihak pun yang “bermain di air keruh,” yaitu mencari keuntungan dari mahalnya harga pangan. Khilafah akan memandang bahan pokok seperti gula, beras, gandum, telur, daging, dll. sebagai hajat hidup rakyat yang harus pemerintah penuhi, bukan komoditas ekonomi untuk dibisniskan kepada mereka. Sudah selayaknya kita beralih kepada sistem yang berasal dari Sang Maha segalanya yaitu Khilafah.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi