Oleh. Sulistiyawati, M.H.
(Kontributor MazayaPost.com)
“Menyambung Juang, Merengkuh Masa Depan.” Inilah tema yang diambil dalam peringatan Hari Santri Nasional (HSN) di tahun ini, yang bertepatan pada tanggal 22 Oktober 2024. Sebagaimana pesan dari salah satu ketua PCNU Pamekasan KH. Taufik Hasyim, beliau mengajak kepada seluruh santri dan masyarakat agar ikut serta memeriahkan dan menyemarakkan acara peringatan hari santri nasional 2024 (pamekasanchannel.com,17/10/2024).
Sekilas tidak ada yang salah dengan perayaan hari santri ini, terkhusus bila momen tersebut mengandung maksud menjadikan sosok santri sebagai contoh ataupun teladan bagi masyarakat. Semisal, bagaimana sosok santri dan kyai dalam memperjuangkan kemerdekaan dari kolonial, memperjuangkan kemaslahatan dan martabat bangsa, dan ini relevan dengan revolusi jihad K.H. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945.
Memang perjuangan ini patut kita kenang, namun bukan hanya sekadar untuk bernostalgia dan euvoria belaka, melainkan juga menjadi refleksi bagaimana santri dalam aktivitas kesehariannya bisa mencerminkan katakter dan sikap para kyai pendahulu mereka yang telah berjuang untuk membela kebenaran dengan penuh kegigihan. Sayangnya, hari ini dekadensi moral telah menimpa kalangan santri maupun pengurusnya, bahkan termasuk pimpinan pesantren. Dalam kurun waktu satu tahun terakhir, banyak kasus yang menimpa santri di pondok pesantren sehingga pesantren memiliki citra buruk di tengah-tengah masyarakat. Hal ini menjadi indikasi bahwa pesantren kita sedang tidak baik-baik saja.
Ada banyak tindakan kriminalitas terjadi di pesantren, misal pem-bullyan sesama santri yang berakhir dengan hilangnya nyawa, tindakan asusila seorang pengurus dan pimpinan pesantren terhadap santrinya, dan bahkan kasus terakhir oknum pimpinan yayasan melakukan tindakan pencabulan terhadap santrinya (news.detik.com, 13/10_2024).
Sungguh miris, bahkan lingkungan yang dianggap paling aman pun tidaklah aman. Tapi, inilah fakta pahit yang harus kita telan akibat dari hasil penerapan sistem kehidupan yang rusak, yakni sistem kapitalis sekuler. Di mana segala orientasi perbuatan bukan lagi kepada halal dan haram, melainkan asas manfaat yang bersifat fisik, berupa materi semata. Jika sudah demikian, maka masyarakat tidak boleh berharap hanya kepada pesantren untuk pembentukan karakter generasi yang baik. Karena sejatinya, ketika sistem kehidupan tetap memakai sistem kehidupan hari ini, maka kerusakan-kerusakan yang ada dalam dunia pesantren menjadi sesuatu hal yang niscaya. Karena pendidikan dalam pesantren termasuk dampak dari penerapan sistem kapitalis sekuler.
Dengan penerapan sistem ini, santri tidak lagi dicetak menjadi alim ‘ulama, melainkan dicetak sebagai generasi yang mandiri dengan penerapan OPOP (One Pesantren One Product) di setiap pesantren. Dengan pengalihan konsentrasi semacam ini, santri akan kehilangan fokus terhadap tujuannya untuk apa dalam belajar. Sehingga tidak akan tercipta ‘ulama yang handal, melainkan para buruh/pekerja semata.
Hal ini sangat berbeda dengan periayahan Islam terhadap lembaga pendidikan serta generasi. Dalam Islam, lembaga pendidikan akan difasilitasi sepenuhnya, sehingga lembaga pendidikan tidak perlu pecah fokus dalam membiayai kebutuhan lembaga dengan menghasilkan sebuah produk unggulan. Sehingga, pesantren sebagai lembaga pendidikan akan mencetak generasi-generasi santri yang bersyakhsiyah Islam, yakni aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap) islamiyah.
Santri akan dicetak menjadi da’i maupun da’iyyah yang siap menyebarluaskan Islam ke penjuru dunia, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. Hal ini hanya akan terjadi bila negara memiliki komitmen kuat dalam menerapkan ajaran Islam secara kaffah dalam bingkai negara/Khilafah. Keberhasilan Islam dalam meriayah ummat telah terbukti selama 14 abad lamanya. Jadi, tidak perlu diragukan. Wallahualam bisawab.