Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Ilusi ataukah Solusi?

Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Dakwah Kampus)

“Karena wanita ingin dimengerti
Dengan tutur lembut dan lagu-lagu”

Lagu Ada Band yang hits di tahun 2000-an menunjukkan koordinatnya yang memihak perempuan. Sejatinya, perempuan adalah makhluk yang halus perasaannya dan ingin diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. Untung tak bisa diraih, Malang tak bisa ditolak, nasib tragis kian akrab dengan kehidupan perempuan. Kekerasan terhadap perempuan kian berarak.

Pada akhir November, tepatnya tanggal 25 November dilaksanakan Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) hingga 10 Desember mendetang. Pada rentang waktu ini, para aktivis HAM perempuan mengajak semua orang untuk turut terlibat aktif dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan (komnasperempuan.go.id).

Sementara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memandang Kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan sebagai refleksi kembali mengenai kerja-kerja bersama dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan (Antaranews.com, 30/11/2023).

Ilusi atau Solusi?

Peringatan dan kampanye Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) ini tentu patut diapresiasi. Namun demikian, munculnya peringatan dan kampanye ini tentu bukan tanpa sebab. Keberadaan kampanye tersebut dilatarbelakangi maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan. Memang Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan telah diperingati sejak lama, yakni tahun 1991. Artinya sudah 32 tahun dilakukan, tetapi apakah kehidupan yang lebih baik bagi perempuan sudah dirasakan?

Nyatanya, data kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia, nampaknya perempuan masih menjadi korban. Berdasarkan data pada sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak, sepanjang 2023 terdapat 21.847 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia dengan 14.048 kasus terhadap perempuan usia 0-24 dan 7.799 kasus terhadap perempuan usia 25-lansia.

Sementara para 2022, angka kekerasan terhadap perempuan jauh lebih tinggi daripada 2021, yaitu sebanyak 25.053 kasus pada 2022 dan 21.753 kasus pada 2021 (kekerasan.kemenpppa.go.id). Bahkan, berdasarkan pencatatan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2022 mencapai 457.895 kasus (cnnindonesia.com, 26/5/23).

Selain itu, Data WHO mencatat bahwa sepertiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual. Bahkan belakangan marak bermacam kasus kekerasan terhadap perempuan yang menjadi viral dan perbincangan warganet Indonesia. Salah satu contoh yang baru saja terjadi adalah kasus KDRT yang dialami oleh dr. Qory yang lari meminta perlindungan dan tengah ditangani oleh polisi setempat (detik.com, 23/11/2023).

Fakta tersebut membeberkan sebuah kenyataan seakan peringatan dan kampanye yang telah diperingati selama 32 tahun tak jua menuntaskan kasus kekerasan terhadap perempuan. Di hari ini, kekerasan terus-menerus terjadi dan perempuan lagi-lagi menjadi korban. Kekerasan perempuan kian berarark di seluruh dunia, termasuk di negeri ini. Pelakunya pun merata dari.semua kalangan, bukan hanya kalangan yang tak berpendidikan. Jika demikian, peringatan dan kampanye 16 hari tersebut tampaknya hanyalah sebuah ilusi.

Mendedah Akar Masalah

Apa yang telah diupayakan oleh pemerintah patut didukung. Hanya saja, sangat penting untuk mendedah akar masalah kekerasan terhadap perempuan. Apakah cukup hanya dengan peringatan dan kampanye yang hanya dilakukan setahun sekali. Tentu saja kekerasan terhadap perempuan terus berarak dan kian marak jika solusinya hanya dengan kampanye.

Jangan “No More Violance” atau “Perempuan Kuat dengan Caranya Sendiri” tak cukup untuk menuntaskan masalah kekerasan terhadap perempuan. Apa yang menimpa perempuan bukan tanpa sebab. Memang banyak sebab personal yang memicu terjadinya kasus kekerasan tersebut. Hanya saja jika bermunculan dengan terus menerus, maka tentu ada yang salah dengan tatanan kehidupan ini.

Harus dipahami, saat ini perempuan berlomba-lomba untuk berkiprah di kehidupan umum, entah menjadi wanita karier, pekerja, ataupun profesi lain dan kegiatan sosial lainnya. Gaya hidup bebas turut mendominasi sebab adanya kekerasan ini. Hal itu dikarenakan tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara tunduk dalam cengkeraman sistem kapitalisme.

Dalam sistem kapitalisme, perempuan dipotong secara secara paksa keluar rumah untuk bekerja dan tampil di muka umum dengan dalih kesataraan gender. Di sisi lain, sistem ini tak memberikan lapangan kerja yang memadai bagi laki-laki selaku pencari nafkah. Tentu saja hal ini menyeret perempuan suaminya bekerja. Hal paling mengerikan, dengan seringnya perempuan berkiprah di kehidupan publik kehormatan mereka tidak terjaga.

Akibat fatal ketika perempuan keluar rumah dan sukarela menggantikan posisi laki-laki sebagai pencari nafkah, perempuan tidak akan optimal menjalankan tugas sesuai fitrahnya. Derivasi dampak fatalnya adalah retaknya keharmonisan pasangan suami istri, anak tidak terasuh dengan baik dan benar, tigas rumah tangga terbengkalai atau hanya diserahkan pada asisten rumah tangga. Kondisi tersebut berpeluang besar memicu KDRT, perselingkuhan, hingga perceraian.

Kondisi tidak nyaman lainnya ketika perempuan berada di lingkungan kerja, perempuan kerap kali menjadi korban kekerasan atau pelecehan yang dilakukan atasan atau rekan kerjanya. Apalagi gaya hidup liberal yang menjangkiti masyarakat, muncul pemuda-pemuda yang haus akan nafsu. Alhasil, lagi-lagi perempuan menjadi korban kasus pelecehan seksual, perzinaan, aborsi, bahkan pembunuhan.

Nasib baik jauh dari perempuan, mereka selalu menjadi target kekerasan, baik di rumahnya sendiri, di lingkungan kerja, ataupun di kehidupan publik lainnya. Padahal jika dikaji lebih mendalam, apa yang menimpa perempuan dan menjadikan mereka hidup di kehidupan publik tanpa penjagaan dan pemenuhan kesejahteraan karena negara berlepas tangan dari urusan pemeliharaan urusan rakyat. Hak itu menjadi ciri khas negara yang menerapkan sistem kapitalisme.

Apalagi sistem kapitalisme memandang perempuan yang hanya di dalam rumah seperti membiarkan uang tergeletak di ata meja. Selain itu, kapitalisme dengan ide feminismenya memandang kesetaraan gender harus direguk oleh semua perempuan, termasuk perempuan muslim. Adapun akidah sekularisme terus berkibar menjadikan para perempuan bahkan negara meninggalkan dan menanggalkan agamanya sehingga masyarakat dan negara, terutama perempuan bertebaran di muka umum tanpa berpegang pada norma dan aturan agama.

Dalam kapitalisme, perempuan hanya dilihat dari tampilan fisiknya. “Brain, beauty, anda behavior” adalah jangan yang sejatinya racun berbalut madu. Jangan itu hanya memamerkan kemolekan fisik perempuan secara bar-bar. Penampilan menarik dengan segudang tuntutan cantik ala kapitalisme menjadikan perempuan rela berpakaian, tetapi telanjang dalam mencapai kehidupannya. Tak ada lagi rasa risih saat menampakkan auratnya. Pakaian terbuka direstui secara global. Belum lagi, sistem ini menjadika. Perempuan layaknya komoditas yang bisa diperjualbelikan.

Betapa tidak, kondisi itu justru membawa kehancuran bagi perempuan. Kehormatan dan keamanan perempuan ternodai dengan segala ide busuk kapitalisme yang diadopsi oleh negara. Pemahaman agama yang minim, kontrol sosial dalam masyarakat yang lenyap, dan hilangnya penegakan hukum oleh negara tak lepas dari sistem kapitalisme. Jadi akar masalahnya adalah sistem kapitalisme yang harus digunakan. Hal itu tak cukup hanya dengan peringatan atau kampanye 16 hari saja.

Islam Memuliakan Perempuan

Bertolak belakang dengan kapitalisme, Islam memandang perempuan sebagai kehormatan yang harus dijaga dan tak boleh dinodai. Akidah Islam menjadikan perempuan sebagai tiang negeri, baik dan rusaknya perempuan akan memengaruhi baik dan rusaknya negeri. Perempuan bukanlah komoditas. dua atau komoditas ekonomi. Pandangan Islam terhadap perempuan jelas membawa kemuliaan.

Perempuan dan laki-laki adalah sama dalam pandangan Islam. Tidak ada yang dilebihkan maupun direndahkan. Keduanya merupakan hamba Allah dan akan menjadi orang yang paling mulia ketika mereka bertakwa. Sebagaimana firman Allah Taala, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Islam tidak mendiskriminasi perempuan. Laki-laki maupun perempuan sama-sama berpeluang meraih derajat takwa dengan fitrahnya masing-masing. Secara kodrat, laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan bentuk fisik dan beberapa perbedaan kewajiban. Namun, semua ada pengaturan yang tepat dan berasal dari Allah Swt.

Kemudian, sistem pergaulan Islam menjaga interaksi kaum muslim dan membentuk masyarakat islami. Islam mewajibkan menutup aurat dengan pakaian syar’i. Islam melarang khalwat (berdua-duan tanpa kepentingan syar’i seperti pacaran, teman tapi mesra, friend with benefit), ikhtilat, zina, safarvsendirian lebih dari 24 jam, dan melarang tabarruj. Islam membolehkan interaksi perempuan dan laki-laki hanya dalam perkara yang dibolehkan syariat Islam seperti pendidikan, kesehatan, jual beli).

Kebolehan perempuan bekerja harus sesuai syariat Islam. Dia bekerja dengan mengenakan jilbab, kerudung, dan menutup kaki secara syar’i. Muslimah juga tidak tabaruj dan bercampur-baur tanpa ada urusan pekerjaan, dia pun tidak boleh menjadi sekretaris pribadi atasan laki-laki.

Dalam kehidupan publik, negara akan menjaga kehormatan perempuan. Edukasi dan pembinaan seputar pergaulan Islam dan hukum Islam lainnya akan ditegakkan agar masyarakat paham hakikat hidup. Pun urusan media, negara akan melarang tayangan yang rmngandung jinsiyah secara mutlak. Patroli dan kontrol ketat negara di dunia maya dan dunia nyata akan ditegakkan agar tidak ada pelecehan ataupun kekerasan terhadap perempuan.

Dengan demikian, peluang kekerasan terhadap perempuan akan tertutup rapat saat Islam diterapkan oleh negara. Jika sampai terjadi kasus kekerasan atau pelecehan, negara akan menegakkan sanksi dengan tegas dan adil. Jika kekerasan fisik, maka hukum qisas akan diterapkan. Jika perzinaan keduanya akan dihukum sesuai kriteria mukhson dan ghoiru mukhson. Bagi mukhson, ia akan dirajam sampai meninggal. Jika ghoiru mukhson, ia akan dijilid atau cambuk 100 kali.

Apabila itu pemerkosaan, maka pelakunya akan disanksi dengan had zina sesuai kruteria mukhson dan ghoiru mukhson tadi, jika pemerkosaan disertai pembunuhan maka jelas qusas juga akan ditegakkan oleh negara. Pun dengan penyebar video dengan konten porno, maka negara akan memberikan sanksi tegas sesuai pandangan khalifah sekaligus membredel situsnya.

Penutup

Dalam kehidupan Islam, seorang perempuan pun akan dijaga dan dilindungi kehormatan dan nyawanya. Tinta emas sejarah membuktikan hal itu. Khalifah Al-Mu’tashim Billah mengirimkan pasukan ketika ada seorang perempuan yang dinistakan oleh orang Romawi. Beliau mengirim pasukan ke Kota Amuriah hanya demi seorang perempuan. Pernah pula jauh sebelum masa itu, Khalifah Umar bin Khatthab memanggimul dan memasukkan seorang ibu beserta anaknya karena beliau takut menelantarkan rakyatnya, terutama perempuan, dan beliau juga takut akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Duhai, betapa mulianya perempuan dalam Islam. Wallahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi