Harga Pangan Melonjak Islam Solusinya

Oleh. Arsanti R
(Pegiat Literasi)

Kenaikan harga pangan menjelang Ramadan sebenarnya sudah menjadi situasi musiman. Anehnya, keluhan masyarakat seakan angin lalu. Langkah antisipasi pemerintah juga tetap tidak mampu menahan laju kenaikan bahan pokok.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan harga komoditas pangan akan mengalami inflasi pada bulan Ramadan mendatang. Hal ini merupakan situasi musiman seperti tahun-tahun sebelumnya. “Biasanya mengacu pada data historis pada momen Ramadan harga beberapa komoditas diperkirakan meningkat,” kata Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah).

Habibullah mengungkapkan kenaikan harga itu disebabkan permintaan yang meningkat pada bulan Ramadan. Adapun, beberapa komoditas yang berpotensi naik di antaranya, daging ayam, minyak goreng, dan gula pasir. Dia bilang kenaikan harga-harga komoditas tersebut akan mendorong tingkat inflasi secara umum.

BPS mencatat, pada Februari 2024 ini beras kembali inflasi sebesar 5,32 persen dengan andil pada inflasi bulanan di Februari sebesar 0,21 persen. Sementara pada inflasi secara tahunan sebesar 2,75 persen, beras memiliki andil 0,67 persen.

Komoditas pendorong inflasi kedua adalah cabai merah, yang punya andil 0,9 pada inflasi secara bulanan, dan 0,17 persen terhadap inflasi secara tahunan pada Februari 2024 ini. Telur ayam memiliki andil terhadap inflasi bulanan sebesar 0,04 persen, sementara daging ayam ras punya andil inflasi sebesar 0,02 persen. Dalam inflasi secara tahunan di Februari ini, komoditas daging ayam ras menyumbang inflasi sebesar 0,14 persen (CNBCIndonesia.com, 20/3/2023).

Penyebab Kenaikan Harga

Secara umum, kenaikan harga sembako di bulan Ramadan biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor; pertama, ketidakseimbangan jumlah supply and demand sembako, konsumsi atau permintaan sembako di bulan Ramadan biasanya meningkat tidak diiringi dengan kenaikan pasokan sembako di pasaran.

Kedua, panjangnya rantai distribusi sembako, sedangkan terjadi kenaikan permintaan yang meningkat di berbagai daerah, sehingga, mengakibatkan beban ongkos distribusi menjadi lebih besar terlebih di tempat yang jauh dari produsen.

Selain itu, tidak dimungkiri masih adanya pihak yang tidak bertanggung jawab yang ingin meraup keuntungan lebih. Pihak yang nakal ini biasanya membeli barang/produk dari petani dengan jumlah besar, kemudian ditimbun dan dijual pada saat persediaan pasar menipis dengan harga yang tinggi.

Lalu apa penyebab kenaikan harga sembako setiap jelang Ramadan dan lebaran? Benarkah karena produksi di dalam negeri menipis? Vera Ismainy, Media Relations Manager Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan, lonjakan harga di setiap jelang Ramadan sampai lebaran salah satunya disebabkan kenaikan permintaan. Ramadan kali ini, imbuhnya, tak berbeda dengan tahun sebelumnya. Di mana permintaan meningkat untuk memasok kebutuhan sahur dan berbuka puasa.

Selain itu, ujarnya, produktivitas pangan Indonesia secara umum juga belum optimal. Selain itu, jelasnya, faktor eksternal, seperti perubahan iklim, naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) yang berdampak pada bertambahnya biaya transportasi, juga sudah terjadi sebelum memasuki fase ini. Faktor-faktor eksternal ini turut berkontribusi pada konsisten tingginya harga pangan (CNBCIndonesia.com, 20/3/2023).

Besarnya kenaikan permintaan masyarakat menjelang Ramadan jelas memicu gejolak harga. Oleh karenannya, pemerintah bergerak dengan mendorong langkah stabilisasi harga bahan pokok untuk mengantisipasi tren kenaikan menjelang ramadhan. Selain itu, untuk mengintervensi laju kenaikan harga. Pemerintah juga melakukan sidak sebagai langkah antisipasi dan memastikan ketersediaan stok bahan pokok kebutuhan masyarakat.

Sayangnya, langkah antisipasi tersebut tidak mampu menghalangi laju kenaikan harga. Dalam banyak kasus, intervensi ini berdampak pada penimbunan, monopoli harga, hingga praktik pasar gelap di masyarakat.

Memang benar bahwa pemerintah telah memastikan ketersediaan bahan pokok. Akan tetapi, aspek distribusi stok bahan pokok tersebut tetap kembali pada daya beli masyarakat. Pemerintah juga mengklaim bahwa stok kebutuhan pokok aman, tetapi kenaikan harga-harga di pasar menjadi pertimbangan bagi daya beli masyarakat. Di sinilah “hukum rimba” ala ekonomi kapitalisme bekerja.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, berlaku hukum permintaan dan penawaran yang sifatnya saling berlawanan. Adam Smith (peletak dasar ekonomi kapitalisme) membagi harga menjadi dua bagian, yaitu harga alamiah (natural price) dan harga pasar (market price).

Di sisi lain, ketika terjadi peningkatan permintaan di atas jumlah barang yang beredar di pasar, harga barang tersebut akan naik, demikian juga faktor-faktor produksinya. Kenaikan permintaan itu akan mendorong produsen untuk meningkatkan jumlah pasokan barang hingga harga-harga kembali normal. Demikianlah siklus yang terjadi secara berulang.

Solusi Islam

Dalam sistem Islam, pemenuhan seluruh kebutuhan rakyat merupakan tanggung jawab negara. Kebutuhan dasar masyarakat merupakan hal fitrah yang menuntut adanya pemenuhan secara pasti. Atas dasar itu, negara menyelenggarakan pemenuhan kebutuhan sebagai bagian dari pelayanannya terhadap rakyat.

Negara berkewajiban menjaga transaksi ekonomi rakyat agar jauh dari hal yang melanggar syariat. Oleh karenanya, terdapat sejumlah skenario yang berpijak pada syariat dalam memenuhi kebutuhan rakyat, bahkan saat kondisi permintaan sedang tinggi.

Pertama, pemenuhan kebutuhan secara fitrah. Sistem ekonomi kapitalisme yang berjalan hari ini menyuguhkan fakta minimnya peran negara dalam pemenuhan kebutuhan rakyat. Negara mencukupkan diri sebagai fasilitator kebijakan, tetapi luput dalam memastikan tercukupinya kebutuhan rakyat, individu per individu. Walhasil, rakyat sendirilah yang berjibaku dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dalam sistem Islam yang menjalankan politik ekonomi Islam akan meposisikan negara sebagai pengurus (raa’in) rakyatnya. Negara wajib memenuhi kebutuhan primer rakyat (sandang, pangan, dan papan) individu per individu serta pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu.

Politik ekonomi Islam diterapkan oleh negara melalui mekanisme dan kebijakan APBN untuk menjamin kesejahteraan umat manusia. Pendanaannya bersumber dari baitulmal. Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini bersifat harian dan tidak hanya untuk kaum muslim, melainkan juga nonmuslim yang menjadi warga negara Khilafah. Hak keduanya tanpa perbedaan.

Dengan sendirinya, pemenuhan kebutuhan ini tetap berjalan, bahkan pada saat rakyat menyambut hari-hari besar. Artinya, negara bertanggung jawab dalam distribusi berbagai barang kebutuhan masyarakat.

Kedua, mengantisipasi penimbunan. Penimbunan secara mutlak haram secara syar’i karena adanya larangan tegas dalam pernyataan hadis secara gamblang. Diriwayatkan di dalam Shahîh Muslim dari Said bin Al-Musayyib dari Mu’ammar bin Abdullah al-‘Adawi bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidaklah melakukan penimbunan, kecuali orang yang berbuat kesalahan.”

Jadi, larangan dalam hadis tersebut berfaedah tuntutan untuk meninggalkan penimbunan. Celaan terhadap orang yang menimbun (al-muhtakir) dengan menyifati dirinya sebagai orang yang berbuat kesalahan (al-khâthi’) adalah indikasi haramnya melakukan penimbunan. Al-muhtakir (orang yang menimbun) adalah orang yang mengumpulkan barang menunggu harganya mahal, lalu menjualnya dengan harga tinggi sehingga menyulitkan masyarakat untuk membelinya. Jika barang tersebut tidak ada, kecuali pada di penimbun, negara bertanggung jawab untuk menyediakan barang tersebut di pasar. Dengan begitu, tidak seorang pedagang pun bisa mengendalikan dan memonopoli harga di pasar, baik pada hari biasa maupun hari-hari besar.

Adapun jika terjadi kenaikan harga ataupun barang tidak tersedia di pasar pada masa peperangan atau krisis politik, hal itu bisa karena dua sebab, yakni adanya penimbunan ataupun kelangkaannya. Jika ketiadaannya adalah akibat penimbunan, sungguh hal itu telah Allah haramkan sehingga akan ada sanksi atasnya. Jika ketiadaannya adalah akibat dari kelangkaan, khalifah wajib menyediakan barang di pasar dengan mendatangkannya dari berbagai tempat.

Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab pada masa paceklik kala terjadi kelaparan di Hijaz akibat kelangkaan makanan. Beliau mengirim surat dan mendatangkan makanan dari Mesir dan Syam ke Hijaz sehingga kebutuhan masyarakat Hijaz bisa terpenuhi. Inilah bentuk perlindungan negara dalam mencukupi kebutuhan rakyat dan melindungi ekonomi negara, serta membebaskan pasar dari monopoli segelintir orang. Wallahu a’lam bisawwab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi