Harga Minyak Melangit di Negeri Raja Sawit

Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Ummat)

Duhai, begitu rumit sengkarut harga minyak sawit negeri raja sawit. Lebih dari satu purnama harga minyak goreng melangit. Kebanyakan masyarakat menjerit, terutama para pedagang makanan dan gorengan yang kelabakan dengan harga minyak goreng yang melejit. Sudahlah jatuh tertimpa tangga pula, begitu kiranya gambaran pas buat rakyat yang kian terjepit.

Harga minyak goreng yang terus melambung membuat Fery Zona Tri pusing tujuh keliling. Pasalnya, mahalnya harga minyak itu membuat pemilik warung pecel lele dan seafood asal Brebes ini mesti merogoh kocek lebih dalam dari biasanya. Lonjakan harga minyak goreng ibarat hantaman baru bagi para pedagang setelah sebelumnya terimbas pembatasan selama pandemi. Padahal, aktivitas para pedagang kaki lima belakangan baru mulai bergeliat kembali (Tempo.co, 25/11/2021).

Melangitnya harga minyak goreng ini membuat masyarakat bertanya. Ada apa gerangan? Sementara sudah umum bahwa negeri ini menjadi raja sawit. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, menjelaskan harga minyak goreng ini memang sangat tergantung pada bahan baku Crude Palm Oil (CPO), yang saat ini juga melonjak harganya (CNBCIndonesia.com, 13/11/2021).

Mata Rantai Kapitalisme Membuat Harga Minyak Melangit

Berbagai faktor disebut-sebut sebagai penyebab melangitnya harga minyak goreng. Pertama, gangguan panen dari Canada dan Argentina sebagai pemasok misyak canola terbesar dengan menurunnya tingkat produksi hingga 7%. Kedua, produksi CPO Malaysia turun sektiar 8% karena kekurangan tenaga kerja imbas pandemi juga menjadi salah satu masalah kenaikan harga. Ketiga, krisis energi pada beberapa negara seperti India, China, Eropa sehingga mengalihkan ke bioenergy, termasuk bio disel. Sehingga konsumsi bahan bakar dari minyak sawit itu melonjak, menumbuhkan permintaan yang besar.

Tentu saja pemerintah tidak tinggal diam. Upaya mitigasi stok minyak agar aman hingga nataru. Selain itu, pemerintah tak boleh mengekspor minyak serta menyiapkan minyak goreng kemasan sederhana sebanyak 11 juta liter sebagai alternatif kebutuhan masyarakat dalam jangka pendek dengan harga 14 ribu per liter.

Heran sungguh heran. Negeri raja sawit kenapa tak mampu mencukupi pasokan kebutuhan minyak goreng masyarakat? Menurut Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, entitas produsen minyak goreng berbeda dengan pelaku usaha kebun sawit. Hanya sebagian kecil produsen CPO yang terafiliasi dengan produsen minyak goreng sehingga produsen minyak goreng sangat tergantung harga CPO (CNBCIndonesia.com, 13/11/2021).

Jelas saja hal ini membuat raja sawit tak mampu membendung harga minyak goreng yang melangit. Sebab, ketergantungan pada harga CPO internasional masih kental. Mata rantai kapitalisme tak peduli dengan kondisi rakyat yang kian terhimpit. Neraca perekonomian harus merangkak naik demi keuntungan materi.

Padahal, knaikan harga minyak goreng di tengah pandemi yang belum berakhir akan menghambat laju pemulihan ekonomi. Kenaikan ini juga menambah beban rakyat karen harga-harga barang lain biasanya ikut naik. Sehingga, masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Konsekuensi bagi masyarakat yang tinggal di negara penganut kapitalisme adalah menerima kebijakan penguasa yang tunduk pada ekonomi kapitalis. Dimana fluktuasi harga sering naik tanpa terantisipasi dan tak segera ditemukan solusi. Belum lagi, negara tak menjamin kebutuhan pokok penduduk negeri dengan mengurangi bahkan mencabut subsidi. Maka, jalan satu-satunya, penguasa akan meminta rakyat bersabar atas situasi negeri ini.

Mekanisme Harga dalam Islam

Islam adalah agama paripurna yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk sistem ekonomi. Patokan harga dalam Khilafah tidak diperkenankan karena akan merusak tatanan harga pasar. Maka, khalifah sebagai pemelihara urusan rakyat akan menjamin kebutuhan pokok individu rakyat terpenuhi. Tatkala harga barang, termasuk minyak goreng melangit, maka khalifah akan melakukan beberapa mekanisme; pertama, berkaitan dengan produksi, negara akan menjago pasokan dalam negeri dengan membuka lahan masyarakat dan mengoptimalkannya, memberi modal bagi petani, memberikan penyuluhan dan dukungan, serta memfasilitasi sarana produksi yang memadai.

Kedua, negara akan mengawal dan mengawasi rantai perdagangan. Negara juga menciptakan pasar yang sehat dan kondusif sehingga tidak ada monopoli atau penimbunan. Ketiga, negara akan mengawasi harga pasar sesuai dengan mekanisme pasar (permintaan dan penawaran), bukan dipatok.

Pengaturan perdagangan luar negeri wajib mengikuti syariat Islam dan mengedepankan kemaslahatan Islam dan kaum muslim. Khilafah berlaku sebagai penentu serta pengatur pelaksanaan perdagangan luar negeri, baik oleh individu maupun atas nama negara. Semua pelaksanaan itu dengan memperhatikan status negara (ekspor) ataupun asal (impor). Maka, dengan mekanisme yang berlandaskan syariat Islam, gejolak harga akan segera teratasi.

Wallahu a’lam bishowab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi