Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Umat)
Beras oh beras. Makanan pokok yang menjadi primadona di seantero Nusantara ini kini hampir tak terjagkau lagi. Pasalnya, harga beras mulai melangit tanpa pamit. Lagi-lagi, rakyat kian menjerit dalam kondisi ekonomi yang terimpit dan kian sulit.
Akar Masalah
Melangitnya harga beras bukan terjadi saat ini saja. Seakan menjadi tradisi berkala, meski sempat mengalami penurunan, kenaikan harga beras kembali menyala. Tentu hal ini akan menimbulkan tanda tanya dalam kehidupan nyata.
Dalam keadaan harga beras yang melangit, pemerintah hadir memberikan jalan relaksasi harga. Hal tersebut ditempuh sebagai upaya stabilisasi pasokan dan harga beras. Pemerintah berusaha agar kebijakan di hulu (tingkat petani) sama dengan di hilir (tingkat konsumen). Perbadan No. 5/2024 mengatur bahwa kenaikan harga beras di konsumen ditentukan berdasarkan wilayah. Beras medium HET paling rendahnya Rp12.500 dan beras premium HET paling rendah Rp14.900. Namun pada kesempatan berbeda, impor beras di Indonesia, umum dan khusus, telah mencapai 4,04 juta ton yang terdiri dari 3,6 juta ton beras umum dan 400 ribu ton (Tirto.id, 7/6/2024).
Patokan harga yang ditetapkan pemerintah dianggap akan melindungi produsen dan konsumen. Harapannya harga beras akan kembali stabil dan tidak tinggi melangit. Selain itu, upaya ini disebut sebagai salah satu cara melindungi harga pasar dari distributor-distributor nakal yang suka mempermainkan harga.
Faktanya, kenaikan HET beras ini ternyata lumayan banyak. Beras medium yang awalnya memiliki HET Rp10.900, naik menjadi Rp12.500. Sedangkan beras premium yang harga mulanya Rp13.900, naik jadi Rp14.900. Kenaikan ini tentu saja membuat masyarakat makin menjerit karena harga beras tetap melangit. Solusi yang ditawarkan seakan menggambarkan peliknya sistem ekonomi yang ada.
Jika mau ditelaah secara mendalam, melangitnya harga beras bukan tanpa sebab. Apalagi terjadi berulang kali dan diiringi dengan patokan harga sekaligus pembukaan keran impor beras dari luar negeri. Solusi ini tetap menambah peliknya tuntutan pemenuhan kebutuhan asasi pangan, berupa beras, di tengah masyarakat luas.
Pematokan harga yang seakan-akan menyelamatkan konsumen dan produsen nyatanya menegaskan adanya pandangan untung rugi. Pemerintah masih membiarkan pengusaha atau tenglulak terjun langsung ke sawah untuk memborong gabah petani dengan harga yang agak jomplang dengan harga berasnya. Selain itu, importir juga bisa leluasa menyetok kebutuhan yang menjadi primadona masyarakat Nusantara ini. Apakah rakyat yang dipikirkan? Tentu saja tidak.
Pemerintah, dalam hal ini negara, kerap memberikan kebijakan yang menunjukkan lepas tangannya negara dalam menjamin kebutuhan dasar rakyat. Negara di sini hanya menjalankan peran sebagai fasilitator dan regulator. Sama sekali tidak berperan sebagai pengurus kebutuhan rakyat.
Wajar negara berperan sebagai fasilitator maupun regulator karena negara dengan sukarela menjadikan ideologi kapitalisme sebagai aturan segala kehidupan, termasuk ekonomi. Dalam sistem kapitalisme, siapa yang punya harta atau modal besar, maka dia bisa berkuasa atas segala hal, termasuk industri beras atau bahkan berkuasa untuk membeli penguasa demi membuat regulasi harga beras. Sistem kapitalisme ini tidak lagi memandang halal dan haram sebagai pandangan agama, melainkan boleh tidaknya sesuatu atas pertimbangan untung dan rugi (materi).
Peran Besar Negara
Bertolak belakang dengan sistem kapitalisme, Islam mewajibkan negara melaksanakan tanggung jawabnya kepada rakyat. Yakni, tugas penguasa dalam Islam adalah sebagai pelayan rakyat. Maka dari itu, negara wajib memenuhi semua kebutuhan tiap individu rakyat tanpa kecuali. Islam pun menjabarkan dengan sangat jelas dan tegas bahwa para pemimpin akan diminta pertanggungjawaban. Hal ini akan mendorong para pemimpin untuk terus berusaha memenuhi kebutuhan rakyat.
Dalam Islam, mematok harga adalah sebuah keharaman. Islam meletakkan harga pada kondisi dan keadaan pasar. Islam juga mewajibkan negara melaksanakan tanggung jawabnya kepada masyarakat. Islam meletakkan tugas penguasa sebagai pelayan rakyat. Jadi, negara wajib memenuhi semua kebutuhan mereka dan mengurai tingginya harga kebutuhan pokok tidak dengan mematok harga, tetapi menyuplai barang langka dari wilayah lain agar harga kembali normal. Jika stok barang ada, tetapi ditimbun, maka negara akan segera memberikan sanksi pada penimbun karena penimbunan juga haram hukumnya.
Islam memiliki upaya komprehensif dalam menjamin ketersediaan pangan dengan mudah, murah, dan terjangkau, bahkan gratis. Islam mewajibkan negara hadir sepenuhnya menjadi pelayan rakyat dalam proses produksi, distribusi, hingga konsumsi. Proses produksi maksudnya negara punya peran penting menjamin keberhasilan dalam produksi pangan mulai hulu hingga hilir.
Negara akan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian untuk mendapatkan hasil yang baik. Selain itu, negara wajib mengetahui atau mengontrol data panen dengan baik agar dapat menyalurkannya kepada rakyat. Bahkan, mulai permodalan akan dijamin oleh negara jika rakyat benar-benar tidak mampu mengelola lahan pertaniannya, baik karena kondisi fakir ataupun habis terkena bencana alam.
Dalam distribusi, negara wajib mengawal penyaluran sampai kepada seluruh rakyat. Distribusi di sini bukan perkara bisnis negara dari produsen ke konsumen, tetapi memastikan ketersediaan stok pangan bisa dijangkau oleh seluruh rakyat di seluruh penjuru negeri. Adapun konsumsi, jika ada rakyat yang benar-benar kekurangan, maka negara akan melihat adakah laki-laki penanggung jawab nafkah dalam keluarga rakyat kekurangan tersebut. Jika ada, maka negara akan memotivasi mereka untuk bekerja dan bahkan memodalinya. Jika tidak ada sama sekali, maka negaralah yang akan memenuhi kebutuhan panjangnya. Masyaallah, rakyat akan merasakan hidup sejahtera saat negara menerapkan syariat Islam secara paripurna. Wallahualam.