Oleh. Reni Nuraeni
(Kontributor MazayaPost.com, Bogor)
Belum lama ini, seorang siswa SMP dikabarkan wafat setelah menjalani hukuman dari guru agamanya sebab tidak hafal ayat. Karenanya, RSS dihukum seorang guru honorer di sekolah itu untuk melakukan squat jump sebanyak 100 kali (26/9/2024). Di Jogja juga, karena kesal seorang guru diduga menganiaya muridnya (10/10/2024). Itulah sebagian kecil potret buram kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan di Indonesia. Munculnya sejumlah kasus kekerasan yang diduga melibatkan guru di sekolah belakangan ini.
Menurut data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) tercatat 36 kasus selama periode Januari sampai September dan di periode yang sama siswa yang tewas akibat kekerasan di satuan pendidikan berjumlah 7 siswa. Berbagai faktor hal tersebut terjadi, diantaranya disebabkan oleh tidak sejahteranya para guru karena besarnya beban kehidupan dan dangkalnya keimanan. Sehingga hal tersebut memicu seseorang melakukan suatu perbuatan di luar akal sehatnya.
Pendidikan merupakan pengubah kehidupan, untuk itu diperlukan upaya agar pendidikan tersebut bisa menjadi sarana untuk mencetak generasi penerus bangsa. Pada tanggal 5 Oktober UNESCO menetapkan sebagai hari guru sedunia sebagai bentuk apresiasi dan kepedulian terhadap guru. Namun faktanya di negara Asean, Indonesia menduduki negara paling kecil dalam menggaji guru yaitu 2.843.321 per bulan. Berdasarkan data jobstreet rata-rata gaji guru 2.400.000 per bulan, apalagi gaji guru honorer lebih rendah lagi bahkan sebagian ada yang masih digaji 250.000/ bulan. Sangat tidak sebanding dengan kinerjanya, berbanding terbalik dengan kebutuhan yang sangat tinggi.
Negara yang menerapkan sistem kapitalisme, guru hanya dipandang sebagai faktor produksi yang hanya mentransfer pengetahuan saja dan didominasi oleh nilai materi tapi minim nilai ruhiyah sehingga guru kurang dihargai dan tidak dipandang sebagai pendidik generasi penerus. Guru di sekolah pun, terbebani waktu dan pikirannya karena kewajiban-kewajiban administratif. Belum lagi, mereka harus menyiapkan materi untuk mengajar. Tata kehidupan sekularisme pun mempengaruhi jati diri guru, sehingga tega melakukan tindakan buruk pada siswa, berupa kekerasan fisik maupun seksual, bahkan mengakibatkan siswa meregang nyawa.
Berbeda dengan Islam, di mana dalam sistem Islam guru dimuliakan dan memastikan kualitas guru dengan menetapkan kriteria yang tinggi. Pendidikan Islam melahirkan generasi emas, tercatat dalam sejarah pada masa khalifah Harrun Ar-Rasyid gaji guru tahunan rata-rata 2.000 dinar untuk guru umum dan 4.000 dinar untuk ahli fikih dan periwayat hadis. Di mana satu dinar setara dengan 4,25 gram emas dan jika dirupiahkan pada harga emas saat ini untuk guru umum mencapai 12,75 milliar/tahun dan 255 milliar/ tahun untuk pengajar Al-Qur’an dan hadits, bahkan semakin tinggi tingkat keilmuannya maka semakin besar pula gaji yang diterima.
Islam memiliki sistem pendidikan yang mmapu menghasilkan guru yang berkualitas, bersyaksiyah Islamiyah, kemampuan terbaik, dan mampu mendidik siswanya dengan baik pula. Hanya dalam sistem Islam kesejahteraan guru bisa terwujud dan permasalahan di satuan pendidikan tidak akan terjadi karena mereka sadar betul bahwa segala sesuatu akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Al-Khaliq (Sang Pencipta), Allah Swt.