Gurita Korupsi dan Ilusi Pemberantasannya

Oleh. Ummu Himmah
Pendidik Generasi

Bak jamur di musim penghujan, tumbuh subur meski berusaha untuk disingkirkan. Begitulah fenomena korupsi di negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Hampir di semua lini terjadi tindak pidana korupsi. Namun mengapa justru hal itu terjadi di dalam tubuh kabinet pemerintahan saat ini? bukankah seharusnya para petinggi negeri ini menjadi contoh garda terdepan dalam pemberantasan korupsi?

Dilansir dari Liputan 6.com (8/10/2023), Presiden Joko Widodo atau Jokowi direncanakan bertemu dengan mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo di Istana Merdeka Jakarta, Minggu malam. Seperti diketahui, Syahrul Yasin Limpo mundur dari jabatan mentan karena ingin fokus dengan kasus hukum yang menimpa dirinya. Syahrul dikabarkan menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan).
Meski KPK sejauh ini belum mengumumkan secara resmi soal penetapan tersangka terhadap Syahrul Yasin Limpo. Sebab KPK masih melakukan proses analisis terhadap barang bukti yang disita saat penggeledahan di rumah dinas maupun di Kantor Kementan. Sedangkan kabar penetapan Syahrul Yasin Limpo sebagai tersangka korupsi ini sebenarnya sudah diamini oleh sumber Liputan6.com di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menggunakan Pasal 12 huruf e Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terkait permintaan paksa atau pemerasan jabatan dalam kasus ini. Diketahui bahwa Limpo adalah menteri keenam dalam kabinet kerja Presiden Joko Widodo yang masuk dalam pusaran korupsi.

Gurita Korupsi
Seolah sudah mengakar kuat, tindak pidana korupsi terjadi mulai hilir hingga hulu di negeri ini. Bukan berita baru jika terjadinya kasus korupsi sudah terjadi sejak di tingkat pemerintahan paling rendah yaitu tingkat desa bahkan RT, seolah mereka mewajarkan hal itu terjadi dengan dalih administrasi. Pemotongan dana desa untuk kesejahteraan warga juga tak luput dari incaran yang akan masuk kantong pribadi para petinggi.

Tak cukup disitu, hampir setiap lini sebenarnya sering ditemukan kasus korupsi ini. Dengan beragam kasus mulai gratifikasi hingga mafia pengadaan barang untuk pemerintahan. Hanya yang terkena OTT saja yang terdengar kabarnya, dengan kata lain mereka “sedang apes saja”, padahal fakta di lapangan menyatakan masih banyak tindak korupsi yang tak tersentuh hukum di negeri ini.

Ilusi Pemberantasan Korupsi
Darisini bisa dilihat bagaimana rapuhnya tubuh KPK itu sendiri. Badan independen yang seharusnya mampu melakukan pemberantasan korupsi nyatanya masih kesulitan. Jaringan koruptor dan lembaga yang bekerjasama lebih kuat dibandingkan dengan KPK sendiri. KPK belum bertaring. Lebih sering dibatasi geraknya, bahkan beberapa waktu lalu pimpinannya sendiri terlibat kasus korupsi hingga membuat KPK dipertanyakan kredibilitasnya. Tak hanya itu, terbukti korupsi masih menjadi pilihan favorit para pemilik jabatan untuk memperkaya diri. Padahal pejabat yang menjadi pelayan masyarakat ini harusnya menjadi garda terdepan dalam memberikan contoh pemberantasan korupsi, menjadi pejabat yang “bersih”.
Oleh karena itu, keberhasilan pemberantasan korupsi tidak bisa dilihat dengan seringnya OTT saja. Namun dikatakan berhasil jika angka korupsi semakin hari menurun bahkan hilang. Adanya kerancuan teknis bisa juga menjadi celah bagi para koruptor untuk mencari modus baru dalam korupsi. Ditambah sistem hukum saat ini yang tidak tegas yang memungkinkan berulangnya terjadi tindak korupsi.
Sebab terjadinya korupsi hari ini juga tak lepas dari sistem aturan sekuler yang dianut negeri ini. Yang membuat orang tak lagi enggan berbuat kemaksiatan meski di satu sisi sebagai insan yang berbudi bahkan yang taat beribadah. Itulah nyatanya sekulerisme telah mengakar dalam diri bangsa ini.

Solusi Konkret Tindak Korupsi
Karena korupsi ini adalah permasalahan yang sudah menggurita. Yang pasti efek yang ditimbulkanpun juga besar dan akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Untuk itu perlu penyelesaian yang komprehensif dan terukur. Dan tentunya penyelesaian itu tidak akan terjadi dengan tuntas ketika sistem yang dijalankan masih tetap sistem demokrasi sekuler . Berbeda dengan sistem islam. Islam memandang bahwa terjadinya setiap tindak kriminalitas termasuk didalamnya korupsi tak lepas dari beberapa faktor diantaranya :
a. Kurangnya kesadaran diri pada individu bahwa dirinya adalah hamba Allah yang harus tunduk pada Allah, sehingga mudah bagi individu untuk melakukan kemaksiatan. Padahal dalam Islam seseorang yang beriman haruslah taat menjalankan perintah Allah termasuk di dalamnya jujur dan merasa diawasi oleh Allah.
b. Ketiadaan rasa saling mengingatkan dalam kebaikan. Masyarakat yang cenderung individualis menyebabkan celah terjadinya kriminalitas. Harusnya dengan saling mengingatkan dan kontrol penuh pada setiap kebijakan akan mampu untuk menghindarkan individu terjerumus dalam kemaksiatan.
C. Ketidaktegasan hukuman yang diberikan pada para koruptor sehingga menimbulkan banyak korupsi. Islam dengan tegas memberlakukan hukuman pada koruptor seperti halnya hukuman bagi pencuri. Dan Islam menutup celah terjadi kembali korupsi dengan edukasi pada masyarakat terkait buruknya korupsi. Selain itu juga melakukan penghitungan harta para pejabat dan pegawai negara sebelum mereka menerima amanah jabatan sehingga pada masa akhir jabatan bisa diketahui kehalalan harta mereka.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi