Gerakan Pangan Murah, Atasi Pangan Mahal?

Oleh. Ainun Afifah
(Kontributor MazayaPost.com)

Kenaikan harga pangan bukan hal yang asing lagi. Hal ini merupakan situasi musiman setiap tahun sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sepanjang awal tahun ini, harga beras sudah mengalami kenaikan yang tinggi. BPS menyebut tingkat inflasi secara umum pada Februari 2024 mencapai 2,75% year on year dan 0,37% month to month. BPS mencatat kenaikan beras terjadi di hampir semua provinsi di Indonesia (Dikutip dari CNBC Indonesia).

Di Pasar Larompong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan misalnya. Harga beras super per karung yang sebelumnya Rp270 ribu kini mencapai Rp315 ribu. Tidak hanya beras, telur pun yang sebelumnya Rp45 ribu, sekarang bisa sampai Rp60 atau Rp65 ribu per raknya. Dikutip dari tribuntimur (14/3/2024).

Dalam menanggulangi hal ini, pemerintah mengeluarkan program Gerakan Pangan Murah yang disingkat GPM. Dalam kunjungan dibeberapa titik GPM di Kota Makassar, Muhammad Arsjad, Pj Sekprov Sulsel, menyatakan bahwa GPM adalah langkah untuk menjaga stabilitas harga selama bulan Ramadan. Ini merupakan kolaborasi antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota Makassar, serta mitra Bulog dan mitra penyedia lainnya. Namun, benarkah program tersebut mampu mengatasi permasalahan pangan? Lantas apa solusi dan penanggulangan permasalahan pangan yang strategis?

Solusi Pragmatis

Langkah yang diambil pemerintah melalui program GPM menjadi pilihan solusi pragmatis yang digencarkan pemerintah untuk mengantisipasi kelangkaan dan gejolak harga. Mengapa? Karena tidak akan mampu menjangkau setiap wilayah dan semua kalangan yang membutuhkan. Sebagaimana kasus bansos kemarin, tidak semua masyarakat mendapatkan. Parahnya, hal ini hanya akan menambah permasalahan baru. Sebagaimana biasa, solusi parsial akan melahirkan masalah. Warga rela antri berdesak-desakan dan berjam-jam untuk mendapat pangan murah hingga pingsan. Terlihat dari Vidio yang diterima Jabar Ekspres, seorang ibu yang juga ikut berdesakan pingsan hingga sempat tak sadarkan diri untuk mendapatkan beras murah dalam operasi pasar murah yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi, Senin (19/2).

Akar Masalah

Seolah sudah menjadi tradisi, kondisi seperti ini faktanya selalu berulang. Tidak bisa dimungkiri, setiap tahun di bulan Ramadan selalu saja kondisinya menyedihkan. Kondisi ini tentu memberatkan rakyat dan mengganggu kekhusyukan ibadah dalam bulan mulia ini.

Jika ditelaah lebih dalam, akan ditemukan penyebab carut-marut ini berpangkal dari sistem politik pengelolaan yang kapitalistik. Penrapan sistm ini menghilangkan peran negara dalam mngurusi urusan rakyat. Negara dalam hal ini pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator. Adapun pengurusan urusan rakyat malah diserahkan kepada korporasi. Alhasil, diatur dan dikelola sesuai kepentingan mereka semata. Termasuk ekonomi juga yang menggunakan sistem kapitalisme yang memuculkan korporasi-korporasi raksasa yang memiliki modal, dengan mekanisme pasar bebas mereka bisa menguasai seluruh rantai usaha pertanian, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi bahkan termasuk importasi. Akhirnya mereka mampu mengambil kendali terhadap pasokan pangan, serta mengendalikan harga pasar dan tingkat konsumsi masyarakat.

Demikianlah akar masalahnya, yakni penerapan sistem politik demokrasi kapitalisme sehingga melahirkan pemerintahan yang lemah, abai, dan gagal mengurusi rakyat. Oleh karenanya, penguasa bukanlah negara atau pemerintah melainkan korporasi.

Politik Pangan dalam Islam Menstabilkan Harga

Berbeda halnya dengan kapitalisme. Islam memiliki paradigma yang berbeda dalam mengatur pangan sehingga mampu mewujudkan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat, termasuk jaminan stabilitas harga. Hal ini karena politik dalam Islam menegaskan bahwa tujuannya adalah mengurusi urusan rakyat, menjamin kebutuhan pokok bagi seluruh individu rakyat dan pelaksanaannya wajib diselenggarakan oleh negara.

Rasulullah saw. menegaskan dalam sabdanya, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad)

Oleh karena itu, tidak boleh negara menyerahkan urusan rakyat termasuk pengaturan pangan kepada korporasi. Negara wajib hadir mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi. Pada aspek produksi, negara menjamin tersedianya pasokan dengan produksi dalam negeri untuk konsumsi dan cadangan pangan negara. Negara juga akan menjamin seluruh lahan pertanian berproduksi secara optimal dan kepemilikan mudah didapatkan. Terkait penguasaan pasokan, dipastikan negara akan memiliki data yang lebih presisi.

Sedangkan pada aspek distribusi, negara akan hadir mengawasi para penjual dan pembeli agar terwujud sistem distribusi dan pembentukan harga yang wajar. Negara pun melarang dan mencegah penimbunan, riba, praktik tengkulak, kartel, dsb. Hal ini disertai penegakan hukum secara tegas sesuai sanksi Islam.

Sejalan dengan itu, sistem ekonomi Islam pun diberlakukan, diataranya mengatur kepemilikan harta sesuai syariat Islam, sistem mata uang berbasis emas dan perak, dsb. Buah penerapan sistem ekonomi ini akan menghilangkan akumulasi harta pada segelintir orang dan perekonomian akan tumbuh karena modal benar-benar diberdayakan pada sektor riil, termasuk pertanian.

Dengan sistem politik ekonomi Islam, ketahanan pangan akan terwujud, praktik distorsi harga akan tereliminasi sehingga harga tidak mudah bergejolak, dan kondisi perekonomian para petani juga akan terangkat karena negara hadir mengurusi mereka. Semua itu dapat terealisasi hanya jika penerapan aturan Islam dalam bingkai Khilafah terwujud.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi