Ross A.R
Aktivis Dakwah Medan Johor
Emak-emak sedang galau, pedagang kecil menjerit pilu. Semuanya dibuat bingung karena kelangkaan gas 3 kg yang sering dipanggil si melon.
Kelangkaan gas melon hampir merata di seluruh daerah, di Jawa, Kalimantan, Denpasar, dan juga Sumatra. Seakan kelangkaan tersebut terstruktur, kelangkaan itu tentunya di luar nalar, aneh seperti lagu lama dimana kasus BBM premium langka, lalu hilang, dan semua terpaksa beli pertalite . Bisa jadi, pertalite nanti langka lantas hilang biar semuanya beli Pertamax. Kasus minyak goreng juga begitu, sebelum terjadi kenaikan yang cukup fantastis, di masyarakat terjadi kelangkaan terlebih dahulu.
Warga Kota Medan, Sumatra Utara dalam beberapa hari terakhir, kesulitan mendapat tabung elpiji 3 kg. Jika pun ada, harga jualnya melonjak di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Yulianti (35), produsen kerupuk di Kecamatan Medan Perjuangan, Kota Medan mengaku sudah dua hari ini produksi kerupuknya berhenti karena sulit mendapat elpiji 3 kg. Biasanya ia dipasok 15-20 tabung seminggu. Harganya Rp20.000,00 per tabung sampai di tempat. Ini udah dua hari kosong. Tidak ada barang katanya, stok di pangkalan dipangkas,” kata Yulianti(26/7).
Tentunya ini menunjukkan fakta kegagalan pemerintah dalam pendistribusian gas LPG 3 kg. Narasi-narasi yang berkembang soal kelangkaan gas 3 kg yang tidak tepat sasaran, banyak orang kaya yang menikmati gas melon. Dan seakan pemerintah lepas tangan terhadap permasalahan tersebut, anehnya lagi mereka mengatakan bahwa gas LPG 3 kg hanya untuk rakyat miskin. Padahal faktanya, seluruh rakyat ingin menikmati gas melon tersebut. Artinya itu juga salah satu kebutuhan pokok pada rakyat yang wajib dipenuhi oleh pemerintah. 1Namun, pemerintah yang berideologi kapitalisme memiliki mindset mengelola rakyat itu bukan sebagai penggembala, tetapi hanya sebagai legitimator kepentingan korporasi asing. Akhirnya, sumber daya alam milik negeri yang begitu kaya raya dikuasai oleh negara imperialis.
Sebenarnya setiap jengkal sumber daya alam milik Indonesia yang dirampok keluar negeri oleh perusahaan asing kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dampak dari sistem kapitalisme adalah pemerintah menganggap rakyat adalah beban. Sehingga, mereka berusaha memutar otak untuk menjadikan ladang bisnis di segala aspek kehidupan. Hubungan antara pemerintah dan rakyat seperti penjual dan pembeli. Wajar saja narasi pencabutan subsidi atau APBN jebol biasa di kumandangkan untuk melegitimasi kepentingan para korporasi.
Pengelolaan sumber daya alam ataupun sumber energi adalah bagian dari tanggung jawab negara. Negara mengelolanya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Sekalipun negara menarik tarif, tujuannya adalah membantu cost biaya produksi. Dalam pandangan Islam barang tambang adalah bagian dari sektor publik. Untuk mewujudkan kesejahteraan yang hakiki, tentunya harus segera kembali pada sistem yang sahih, yaitu kembali pada sistem Islam kaffah.