Muhamad Ayyubi ( Direktur Mufakkirun Siyasiyyun Community )
Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan fatwa menjelang pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024. Fatwa itu tegas mengharamkan risywah politik atau politik uang.
Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menegaskan politik uang dalam bentuk apa pun adalah haram. Baik berupa sogokan, imbalan, atau transaksi jual beli suara, semuanya melanggar nilai-nilai agama dan hukum. Politik uang merusak integritas demokrasi dan mendorong praktik korupsi yang semakin meluas.
Seruan serupa juga banyak dilakukan oleh ormas lain misalnya NU juga mengeluarkan fatwa haramnya politik uang yang disampaikan dalam Halqah Fikih Peradaban di PP. Riyadhus Sholihin Probolinggo.
Jauh sebelum itu pada 2018 MUI pernah mengeluarkan fatwa yang sama pada Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia ke VI di Kalimantan Selatan.
Tetapi apa yang terjadi di tengah tengah masyarakat?. Secara empiris politik uang termasuk risywah politik marak terjadi, bukan lagi tertutup tetapi sudah terbuka dan vulgar tanpa rasa bersalah.
Fatwa tinggal fatwa, seruan hanya jadi teori semata. Ancaman dosa dan neraka yang disampaikan dianggap lelucon dan dongeng belaka.
Data survey Populi Center menunjukkan praktik suap politik dan money politik meningkat tajam hingga 37,2 persen di tahun 2024. Ini baru yang terlaporkan bagaimana dengan yang tidak terlaporkan. ? Fenomena ini ibarat gunung es yang tampak hanya ujungnya saja padahal bongkahan dibawahnya jauh lebih besar dari apa yang terlihat.
Masyarakat tidak acuh dengan fatwa apa pun. Bagi mereka pilkada adalah peluang untuk meminta uang kepada calon kepala daerah. Karena jika sudah menjabat tidak mungkin meminta kepada mereka.
Perang uang dalam pilkada adalah rahasia umum, sudah menjadi karakter tetap politik demokrasi. Jor-joran uang demi ambisi jabatan tidak terkendali.
Apa yang salah dari fatwa tersebut, seolah ada dan tiadanya fatwa tidak berpengaruh terhadap kejahatan suap?
Hal ini karena fatwa di dalam politik demokrasi tidak bernilai apa pun. Asa sekulerisme yang dipakai secara pasti menihilkan peran agama untuk mengatur kehidupan.
Tidak sangsi apa pun bagi siapa saja yang melanggar fatwa tersebut. Negara pun tidak peduli sama sekali dengan hal itu.
Fatwa sendiri adalah produk dari epistemologi hukum islam yang digali dari dalil dalil Al Quran maupun Hadits Rasulullah. Pembuatfatwa disebut mufti.
Negara ini adalah negara sekuler di mana sumber hukumnya diambil dari suara rakyat yang terhimpun di dalam perwakilan rakyat. Kadang juga diambil dari hukum internasional yang diratifikasi menjadi hukum nasional.
Hal ini meniscayakan fatwa hanya menjadi teori yang tidak akan pernah diterapkan oleh negara.
Jika berharap fatwa-fatwa tersebut diterapkna oleh negara maka tidak bisa tidak kecuali negara ini harus manjadikan Al Quran, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber hukum negeri ini.
Jika negeri ini beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT dengan menjadikan Al Quran, As Sunnah, Ijma dan Qiyas sebagai sumber hukum, niscaya akan turun keberkahan dari langit dan bumi.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
Andai penduduk bumi beriman dan bertaqwa sungguh akan kami bukakan keberkahan atas mereka dari atas langit dan bawah bumi ( Al Araf ; 96 )
Bukan hanya risywah politik yang dilarang tetapi juga seluruh kemaksiyatan di negeri ini baik yang dilakukakan oleh individu atau penguasa. Dan pelakunya akan dihukum dengan hukum syariat Islam.
Dengan begini, barulah fatwa itu bukan sekedar seruan moral tetapi menjadi hukum positif yang diterapkan oleh negara. Maukah anda seperti ini?[]