Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Umat)
Kemerdekaan bangsa Indonesia pada Agustus 2024 sudah mencapai masa 79 tahun, bukan usia yang sebentar, tetapi sudah lebih dari ¾ abad. HUT ke-79 ini sepertinya masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Suasana perayaan yang diwarnai berbagai perlombaan dan hiburan mulai digelar di berbagai wilayah nusantara. Atmosfer kemerdekaan dari tahun ke tahun ditandai dengan upacara, hiasan merah putih, aneka lomba, dan berbagai hiburan rakyat.
Secara fisik, memang tak ada lagi penjajahan di negeri tercinta ini. Secara de jure, negeri berjuluk Zamrud Khatulistiwa ini telah lama merdeka, tak tampak saru batang hidung pun dari penjajah yang menduduki suatu wilayah. Namun, melihat adanya euforia perayaan yang tak memiliki kemerdekaan seakan menunjukkan bahwa penjajahan masih bercokol mesra dengan tatanan kehidupan ini.
Penjajahan nonfisik yang dilakukan melalui pemikiran, pendidikan, budaya, dan soft power yang lainnya begitu kental aromanya di negeri ini. Penjajahn nonfisik ini biasanya dilakukan dengan menggunakan strategi dan agen. Mereka ditanam di semua sektor; mulai dari sektor politik, pemerintahan, militer, ekonomi, budaya, agama, hukum, dan sebagainya. Kondisi ini yang sengaja dibangun oleh negara-negara penjajah Barat pengusung utama ideologi kapitalisme-sekularisme saat ini, khususnya di Dunia Islam, termasuk negeri ini. Sehingga, muncul pertanyaan seputar benarkah negeri ini telah merdeka dari penjajahan.
Faktor Penyebab Belum Hilangnya Penjajahan di Indonesia
Era penjajahan fisik yang dialami bangsa ini memang sudah lama berakhir. Kaum penjajah yang pernah menjajah Indonesia, seperti Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang sudah lama terusir. Negeri ini bahkan telah merayakan Hari Kemerdekaan sekaligus Hari Ulang Tahun (HUT)-nya yang ke-79. Hampir satu abad lamanya para penjajah secara fisik itu pergi.
Namun sayang, tampaknya di usia 79 tahun kemerdekaan bangsa ini, cita-cita kemerdekaan yang diharap-harapkan seperti adil, makmur, sejahtera, tenteram, gemah ripah loh jinawi masih jauh panggang dari api. Hal ini dibuktikan dengan angka kemiskinan yang masih tinggi. Angka pengangguran juga masih besar, bahkan menjadi juara pertama se-ASEAN (CNNIndonesia.com, 197/2024). Biaya pendidikan, khususnya pendidikan tinggi juga masih mahal. Bahkan, baru-baru ini terlontar dukungan dari seorang menteri untuk membayar UKT dengan pinjol. Harga BBM, listrik, LPG, dan sejumlah kebutuhan pokok terus merangkak naik. Aneka pajak pun terasa makin mencekik.
Kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin makin menganga lebar. Kekayaan alam banyak dikeruk dan dinikmati oleh segelintir orang, lebih tepatnya para pengusaha dan korporasi asing dan aseng. Merekalah yang selama ini menguasai sebagian besar sumber daya alam (SDA) seperti barang tambang (emas, perak, nikel, tembaga, bijih besi), energi (seperti batubara) dan migas (minyak dan gas). Malah, ormas pun mendapat jatah tambang, meski ada yang menolak, tetapi ada pula yang sukarela menerimanya (CNBCIndonesia.com, 11/6/2024).
Para oligarki itu juga menguasai sebagian besar lahan, termasuk hutan, yang sebagiannya telah berubah menjadi perkebunan sawit. Total luas area lahan yang mereka kuasai ratusan ribu bahkan jutaan hektar. Tragisnya, kinyak goreng bersubsidi yang dikhususkan untuk rakyat pun kian tak terjangkau harganya oleh rakyat kecil. HET-nya sudah naik secara resmi (Kompas.id, 29/7/2024).
Sungguh negeri ini sangat memprihatinkan. Terlebih utang negara makin bertumpuk dan menggunung tinggi. Korupsi makin menjadi-jadi dan meluas jangkauannya. BUMN banyak yang merugi dan bahkan hampir guling tikar. Banyak proyek infrastruktur yang kemudian menjadi beban negara, seperti proyek kereta cepat dan IKN. Di saat yang sama, ketakadilandi negeri makin nyata. Hukum seakan makin tajam ke bawah dan makin tumpul ke atas. Banyak koruptor dihukum ringan, bahkan divonis bebas. Perlakuan yang berkebalikan terhadap rakyat kecil, misal ada di antara rakyat yang mencuri dengan tidak seberapa dan karena dorongan memenuhi kebutuhan pokoknya kerap dihukum dengan berat.
Ah, belum lagi soal dekadensi moral generasi muda. Bullying, seks bebas, seks menyimpang (l687), dan tindakan asusila lainnya marak dilakukan para remaja sebagai generasi penerus bangsa ini. Moral para pemuda sedang merosot ke jurang paling dalam tanpa ada perhatian khusus yang sampai pada akar masalahnya. Hal ini sungguh jauh dari cita-cita luhur pendidikan negeri ini.
Semua permasalahan di atas adalah potret beramal di negeri ini dari tahun ke tahun. Tingginya usia kemerdekaan tak lantas menghapus persoalan tadi. Tak ada asap jika tak.ada api, tentu saja semua permasalahan tersebut bukan tanpa sebab. Justru hal itu menunjukkan adanya penjajahan nonfisik yang sifatnya fundamental/ideologis. Sebab utama penjajahan nonfisik ini adalah ideologi kapitalisme yang diterapkan oleh negeri ini. Ideologi kapitalisme sungguh telah menceraikan tanggung jawab negara terhadap permasalahan rakyat.
Harus diakui, bangsa dan negeri ini telah lama terjajah oleh pemikiran/ideologi kapitalisme-sekularisme. Keterjajahan oleh pemikiran/ideologi kapitalisme-sekularisme inilah yang menjadikan bangsa dan negeri ini terjajah secara nonfisik dalam berbagai aspek kehidupan. Indonesia masih terjajah secara ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, pendidikan, dll. Dengan demikian, penduduk negeri ini patut dan wajib bersyukur karena telah lama terbebas dari bepenggu penjajahan fisik. Namun, seluruh penduduk negeri ini harus merasa prihatin, waspada, dan tidak boleh melupakan bahwa bangsa ini masih dalam atmosfer penjajahan secara nonfisik, yang bermuara dari penjajahan pemikiran/ideologi kapitalisme-sekularisme.
Dampak Negatif saat Kemerdekaan Semu yang Diraih
Siapa yang tak berharap akan adanya kemerdekaan suatu bangsa? Bahkan, pembukaan UUD 1945 dinalinea pertama negeri ini juga menyatakan, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Lantas jika penjajahan itu hanya pergi penjajahnya saja, tetapi alam berpikirnya masih membayangi bahkan mencengkeram negeri ini, apa yang terjadi? Tentu saja, penjajahan dimensi yang berbeda terjadi seperti saat ini, yakni penjajahan nonfisik.
Penjajahan nonfisik yang disuguhkan ideologi kapitalisme begitu banyak mendatangkan permasalahan yang tak bisa diurai dan diselesaikan secara tuntas dan komprehensif. Apabila penjajahan nonfisik ini terus berlanjut hingga satu abad atau bahkan lebih, tentu akan menimbulkan dampak negatif bagi bangsa Indonesia dan penduduknya. Dampak Negatif tersebut di antaranya:
1. Hilangnya kedaulatan dan kemandirian bangsa
Saat suatu bangsa terbelenggu penjajahan, maka kedaulatan dan kementerian bangsa akan lenyap. Betapa tidak, saat seluruh aspek kehidupan dicengkeram ideologi kapitalisme, maka dikte-dikte aturan akan bertebaran. Kapitalisme yang berasaskan manfaat akan terus mendorong negeri ini dan seluruh negeri di dunia untuk melihat peluang bisnis dalam melayani rakyat. Artinya, seluruh tanggung jawab negara atas pemeliharaan dan pelayanan terhadap rakyat dikomersilkan. Titah global ini tak akan pernah bisa ditolak. Sehingga kemandirian dan kedaulatan negara dalam membuat kebijakan akan berada dalam setir kapitalisme.
Berbagai dalih kebijakan trus diembuskan. Entah dalih investasi, slogan hak asasi manusia, liberalisme, dan segala produk kapitalisme harus dikonsumsi oleh bangsa ini. Walhasil, pandangan tentang kehidupan tak lepas dari kacamata atmosfer kapitalisme. Tengok saja bagaimana privatisasi tambang dan migas, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, isu keagamaan khususnya stigma terhadap Islam atas nama kebebasan dan HAM beredar ke mana suka sesuai arahan kapitalisme global. Kemandirian dan kedaulatan benar-benar lenyap tatkala bangsa ini sukarela menerapkan ideologi kapitalisme.
2. Munculnya perbudakan
Dampak negatif lainnya yang masih berkorelasi dengan lenyapnya kedaulatan dan kemandirian adalah munculnya perbudakan. Penjajahan, baik fisik maupun nonfisik, sesungguhnya merupakan manifestasi dari perbudakan, yaitu menjadikan manusia sebagai budak bagi manusia lainnya. Apakah demikian? Jelas, seperangkat aturan yang diterapkan mengikat penduduk negeri ini. Sementara aturan-aturan tersebut diolah, diproduksi, dan disahkan oleh manusia. Secara tidak langsung, perbudakan atas manusia yang lain muncul karena ada banyak batasan yang berlandaskan kepentingan si pembuat aturan (hukum), terutama perkara agama Islam yang terlalu banyak dikekang dan dihalangi penerapannya sebagai sebuah ideologi.
Dua dampak negatif ini tentu akan menjadikan bangsa ini dan penduduknya hidup di bawah bayang-bayang penjajahan. Nahasnya, kesengsaraan, ketidakadilan, dan ketimpangan hukum akan dirasakan oleh sebagian besar rakyat yang tak memiliki kepentingan atas tegaknys sebuah aturan yang dirumuskan oleh para penguasa yang berkongsi dengan para kapital.
Memahami Makna Kemerdekaan yang Sesungguhnya
Allah Swt. berfirman,
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لاَ إِلَٰهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي
“Sungguh Aku adalah Allah. Tidak ada tuhan yang lain, selain Aku. Oleh karena itu, sembahlah Aku.” (QS. Thaha: 14)
Sungguh, ayat di atas ada kalimat tauhid yang seharusnya menjadi resep paten yang bertahta di hati setiap muslim, terutama penguasa muslim. Mengingat Indonesia adalah negwri dengan penduduk mayoritas muslim, seharusnya ayat ini menjadi manifestasi kemerdekaan yang sesungguhnya. Merdeka bagi muslim itu bebas menghamba hanya pada Allah Taala semata. Ayat itu adalah kalimat tauhid yang agung dan membawa manusia dari pembebasan akan penjajahan terhadap sesama makhluk.
Kalimat tauhid ini pun sekaligus akan membangkitkan perlawanan terhadap segala bentuk perbudakan/penghambaan atas sesama manusia, termasuk penjajahan atas segala bangsa. Inilah yang tampak dari kalimat Rub’i bin ‘Amir kepada panglima Persia, Rustum:
اللهُ اِبْتَعَثَنَا لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللهِ، وَ مِنْ ضَيْقِ الدُّنْيَا إِلىَ سِعَتِهَا، وَ مِنْ جُوْرِ اْلأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ اْلإِسْلاَمِ
“Allah telah mengirim kami untuk mengeluarkan (memerdekakan) siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan kepada sesama manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari sempitnya dunia menuju keluasannya; dari kezaliman agama-agama yang ada menuju ke keadilan Islam.” (Ibn Jarir at-Thabari, Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk, 3/520; Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 7/39)
Maka dari itu, wajib bagi setiap muslim memahami kemerdekaan yang sesungguhnya. Bagaimana caranya? Yakni, dengan bertafakur bertafakur menyertai rasa syukur, dengan melihat realitas yang ada di negeri ini di segala aspek kehidupan. Sudahkah sistem yang mengatur kehidupan umat di segala bidang ditegakkan di atas prinsip tauhid? Sudahkah hakikat dan prinsip-prinsip kemerdekaan hakiki menurut ajaran Islam, seperti yang dikemukakan oleh Rub’i bin Amir kepada Rustum telah diraih?
Faktanya kemerdekaan itu belum diraih seutuhnya. Maka, menjadi tugas kaum muslim untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki itu. Jika perjuangan para pendahulu bertujuan untuk merebut kemerdekaan dari penjajahan fisik, kini diperlukan perjuangan baru untuk membebaskan umat manusia dari penjajahan ideologi kapitalisme-sekularisme, hukum jahiliah, ekonomi kapitalis, budaya, dan segenap tatanan yang tidak islami. Selain itu, kaum muslim wajib berjuang untuk menegakkan tatanan masyarakat dan negara yang benar-benar bertumpu pada prinsip-prinsip tauhid dengan akidah Islam yang lurus dan benar. Tatanan tersebut tidak lain adalah tatanan yang diatur oleh aturan-aturan Allah atau syariat Islam. Inilah kemerdekaan hakiki dalam pandangan Islam.
Maka dari itu, bangsa dan negeri ini beserta penduduknya bisa dikatakan benar-benar meraih kemerdekaan hakiki di saat tunduk sepenuhnya kepada Allah. Tentu dengan menaati seluruh perintah dan larangan-Nya dalam kehidupan individu, masyarakat, maupun negara. Caranya dengan melepaskan diri dari belenggu ideologi dan sistem sekuler yang bertentangan dengan akidah Islam seraya menegakkan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai institusi negara.
Suatu bangsa tak akan pernah merugi jika mengembalikan makna kemerdekaan hakiki ke dalam pandangan Islam. Sebab, misi Islam adalah mengeluarkan manusia dari “kegelapan” menuju “cahaya yang terang benderang.” Tinta emas menorehkan sejarah peradaban Islam yang gemilang. Tidak ada satu negeri pun yang ditaklukkan dan dikuasai Islam berubah lapuk, gelap, usang, sengsara, ataupun dan terbelakang. Saat Eropa masih dalam kegelapan dan marak perbudakan, Islam datang membawa perubahan yang maju, beradab, dan melenyapkan perbudakan.
Dengan demikian, jika bangsa dan negeri ini hendak lepas dari kegelapan dan kezaliman menuju cahaya, kemerdekaan, dan keberkahan, atau jika ingin bebas dari semua permasalahan yang membelit negeri ini menuju suatu kebangkitan dan kemajuan, mau tidak mau, harus kenbali pada kehidupan Islam. Caranya dengan berjuang untuk menerapkan pemikiran/ideologi dan sistem Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahualam.