Oleh. Afiyah Rasyad
Guru adalah sosok yang sangat berjasa bagi negeri ini. Dari seorang guru, peserta didik bisa memiliki pengetahuan, bahkan mulai dasar calistung dan perkembangan motorik. Pada sosok guru disematkan predikat pahlawan tanpa tanda jasa. Padahal, jasanya besar tiada terkira untuk sebuah perubahan masa depan anak bangsa.
Sungguh, peran guru sangat penting dalam kehidupan. Ia adalah ujung tombak pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Di tangannya, nasib generasi penerus negeri berada, akankah menjadi pemenang atau pecundang. Bagaimana Indonesia di masa depan terlukis pada kualitas para guru saat ini. Guru yang berkualitas akan mencetak generasi emas.
Beberapa hari lalu, peringatan Hari Guru Nasional digelar. Tema “Guru Hebat Indonesia Kuat” begitu manis menabur benih-benih harapan. Sayang berjuta sayang, fakta yang ada justru menunjukkan hal sebaliknya. Beberapa waktu lalu, viral berita tentang guru yang dikriminalisasi lantaran laporan dari wali murid, meski akhirnya divonis bebas (kompas.tv, 25/11/2024). Belum lagi nasib guru yang harus berjuang keras untuk mencerdaskan anak bangsa, tetapi upah tak seberapa.
Berbagai fenomena buruk mewarnai profesi guru. Selain guru yang kian marak dikriminalisasi, justru banyak guru yang menyeburkan diri pada hal-hal tak terpuji. Seorang kepala sekolah di Sumenep diketahui melakukan perbuatan tak seronok terhadap seorang anak perempuan yang diserahkan oleh ibunya sendiri yang juga seorang guru karena tergiur iming-iming motor matic (jatim.inews.id, 3/9/2024). Hal serupa juga terjadi di luar Jawa, di mana guru dan murid melakukan tindakan mesum di sekolah dan berita viral (merdeka.com, 1/10/2024).
Belum lagi masih banyak guru yang melakukan bully terhadap murid-muridnya, baik lisan maupun fisik. Berita-berita mengerikan itu kerap muncul. Jelas, dunia pendidikan saat ini tak baik-baik saja. Harapan guru hebat Indonesia kuat seakan angan-angan belaka.
Faktor Penyebab Slogan “Guru Hebat Indonesia Kuat” Susah Diwujudkan
Berkaitan dengan peringatan Hari Guru Nasional, seluruh elemen masyarakat tentu harus mendukung dan membantu untuk mewujudkannya, terutama negara. Namun sayang, guru hebat yang hendak diwujudkan saat ini ibarat pungguk merindukan bulan. Sebab, peran guru saat ini tidak berjalan dengan baik. Guru saat ini harus menghadapi kehidupan yang karut-marut. Berikut beberapa sebab susahnya mewujudkan slogan “Guru Hebat Indonesia Kuat”:
Pertama, tingkat kesejahteraan guru rendah. Tak dimungkiri, di beberapa media sosial, ada beberapa guru honorer yang menyebutkan gajinya perbulan di bawah Rp500.000. Sementara kebutuhan hidup kian hari kian meningkat. Penerapan sistem ekonomi kapitalisme oleh negara menyebabkan guru harus mengeluarkan banyak biaya untuk hidup. Mulai dari kebutuhan pangan, sandang, tempat tinggal, pendidikan untuk anak, kesehatan keluarga, transportasi, dll. Harga-harga barang kebutuhan pokok terus merangkak naik, sedangkan gaji cenderung tetap. Walhasil, sebagian guru terpaksa melakukan kerja sampingan, misalnya mengojek, mengajar les privat, menjadi petugas SPBU, pekerjaan informal, part time, bahkan mengumpulkan sampah. Dengan impitan ekonomi ini, guru tidak bisa fokus dan optimal dalam mendidik murid-muridnya.
Kedua, kurikulum pendidikan yang gonta-ganti dan menjauhkan peserta didik dari akhlak terpuji. Sudah menjadi rahasia umum, perjalanan kurikulum pendidikan kerap bergonta-ganti sekehendak menteri membuat para guru kebingungan dan sulit dalam beradaptasi dan mengoptimalkan perannya. Selain itu, kurikulum yang ada tidak menjadikan peserta didik berakhlakul kalimat karena kurikulum-kurikulum yang digagas tetap berakidah sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan). Hal ini menyeret para murid tak beradab saat berinteraksi dengan gurunya. Guru pun kelabakan menghadapi tingkah polah para muridnya di tengah adaptasi dengan target kurikulum yang ada.
Ketiga, komersialisasi pendidikan. Pendidikan negeri ini berbiaya tinggi. Meski di sekolah negeri juga pengeluaran. Perlakuan negara terhadap para guru laksana perlakuan seorang pengusaha pada faktor-faktor produksi, sehingga jerih payah guru tak begitu dihargai. Sementara wali murid merasa sudah membayar sehingga bisa menuntut ini itu laksana memilih menu di restoran. Walhasil, guru kerap menerima kriminalisasi.
Keempat, rumitnya administrasi. Administrasi yang tak mudah seperti sertifikasi membuat guru harus memeras otak lebih ekstra demi mengejar sertifikasi. Guru banyak mencurahkan waktu dan perhatian pada urusan administrasi yang rumit. Kondisi ini menjadikan guru keluar dari peran hakikinya sebagai pendidik.
Kelima, sekularisasi pendidikan. Pendidikan di negeri ini seakan terpecah menjadi dua. Ada madrasah ada sekolah umum. Namun demikian, kedua profil sekoalh itu kian jauh dari potret pendidikan yang sesuai dengan syariat Islam. Bahkan saat ini sekolah berbasis Islam pun juga mengalami sekularisasi. Mengingat negara mengadopsi ideologi kapitalisme dengan sekularisme sebagai fondasinya, tak heran jika dunia pendidikan jauh dari napas-napas keislaman. Baik guru atau murid akhirnya juga jauh dari kehidupan Islam. Sehingga banyak di antara guru, lebih-lebih murid, berperilaku amoral dan asusila. Guru kesusahan menjalankan peran dengan baik imbalan dari sekularisasi pendidikan ini.
Tampak jelas bahwa persoalan seputar guru tersebut bersifat sistemis, bukan hanya kasus personal atau individual semata. Maka dari itu, negeri ini juga butuh solusi sistemis untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi guru secara tuntas hingga terwujud guru yang hebat, berkualitas, dan bisa menghasilkan generasi cerdas bertakwa. Dengan demikian Indonesia kuat juga akan terealisasikan.
Dampak ketika Guru Tak Menjalankan Peran dengan Baik
Sebagaimana diketahui, guru adalah ujung tombak perubahan zaman dengan mencerdaskan para generasi bangsa. Namun, apa yang akan terjadi jika guru tak melakukan perannya dengan baik. Tentu saja akan memberikan dampak buruk bagi dunia pendidikan dan generasi. Dampak buruk tersebut antara lain:
1. Kegiatan pembelajaran tidak efektif. Bisa jadi guru hanya akan mentransfer materi saja tanpa peduli apakah para murid memahaminya atau tidak. Sehingga pembelajaran yang ada tidaklah efektif.
2. Motivasi belajar menurun. Saat guru tak berperan dengan baik dan hanya sebatas transfer ilmu, otomatis semangat belajar peserta didik akan menurun. Mereka akan malas mengikuti pembelajaran karena motivasi dan semangat belajar menurun.
3. Hilangnya keteladanan yang baik. Saat guru sebatas menggugurkan kewajiban mengajar tanpa mendidik, maka interaksi dengan para peserta didik akan terbatas. Apalagi saat guru sibuk dengan urusan administrasi. Hal itu akan mengurangi porsi interaksi dan memberikan keteladanan yang baik pada peserta didik.
4. Rusaknya generasi. Saat guru tak menjalankan peran dengan baik dan cuek dengan keadaan peserta didik, maka peserta didik akan makin tak terkontrol perilakunya. Terlebih jika guru juga amoral, maka peserta didik yang menginderanya akan terikut juga. Jika demikian, generasi bangsa akan rusak.
Apabila peran guru tidak dijalankan dengan baik, maka akan timbul berbagai akibat negatif pada peserta didik, lembaga pendidikan, dan masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, penting bagi setiap guru untuk menjalankan perannya dengan baik demi menciptakan pembelajaran yang efektif dan berkualitas, serta mendidik generasi yang berakhlak mulia.
Posisi Strategis Guru dalam Islam
Guru di dalam Islam sangat dihormati dan dimuliakan. Dari tangan ingin para guru, mercusuar peradaban bisa terwujud. Islam memiliki sistem pendidikan yang khas dengan kurikulum berbasis akidah Islam. Sistem pendidikan Islam bertujuan mencetak generasi berkepribadian Islam, pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan syariat Islam. Apa pun disiplin ilmu yang dikaji, generasi harus bersyaksiyah Islam.
Guru memiliki posisi strategis untuk mencerdaskan generasi yang bersyakhsiyah Islam dan generasi pemimpin peradaban mulia. Sistem pendidikan Islam mampu menghasilkan guru yang berkualitas, berkepribadian Islam, memiliki kemampuan terbaik, dan mampu mendidik muridnya dengan baik. Posisi strategis guru ini akan terwujud hanya dengan sistem Islam. Sebab, Islam memiliki mekanisme untuk mewujudkan hal tersebut, antara lain:
Pertama, Islam sangat menghormati dan memuliakan guru. Dari sisi sikap, Islam memerintahkan murid untuk takzim kepada guru dengan menunjukkan akhlak mulia dan adab yang luhur. Bahkan orang tua murid juga wajib takzim kepada guru. Tidak hanya murid dan wali murid, negara juga memuliakan guru dengan memosisikannya sebagai pendidik yang harus dimuliakan. Negara menghargai betul jasa para guru dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada generasi penerus umat dengan memberikan gaji yang tinggi.
Dr. Rudhaifullah Yahya Az-Zahrani di dalam kitab “An-Nafaqat wa Idaratuha fid Daulatil Abbasiyyah” menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid, gaji tahunan rata-rata untuk pendidik umum mencapai 2.000 dinar per tahun. Sedangkan gaji untuk periwayat hadis dan ahli fikih mencapai 4.000 dinar tiap tahunnya. Bahkan Dr. Rudhaifullah Yahya Az-Zahrani menyebutkan bahwa makin tinggi tingkat keilmuan seorang ulama, gajinya makin besar. Imam Al-Waqidi, ulama ahli Al-Qur’an dan hadis paling populer pada masanya,mendapatkan gaji tahunan mencapai 40.000 dinar.
Kedua, menerapkan sistem ekonomi Islam yang menyejahterakan rakyat, termasuk para guru. Sandang, pangan, dan papan tersedia dengan harga terjangkau. Pendidikan, kesehatan, dan keamanan tersedia secara cuma-cuma. Dengan kondisi ekonomi ini, guru bisa fokus dan optimal pada tugasnya mendidik murid. Sebab, para guru akan sangat sejahtera dan kuat finansialnya.
Ketiga, sistem Islam memastikan kualitas guru dengan menetapkan kriteria yang tinggi. Dalam Islam, guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga pendidik generasi umat Islam. Orang yang pantas menjadi guru adalah orang-orang yang bertakwa, berakhlak mulia, memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni, disiplin, profesional, dan memiliki kemampuan mendidik. Negara akan melakukan pretest pada setiap calon guru sebelum mereka dinyatakan layak mengajar.
Rasulullah saw. bersabda, “Jadilah pendidik yang penyantun, ahli fikih, dan ulama. Disebut pendidik apabila seseorang mendidik manusia dengan memberikan ilmu sedikit-sedikit yang lama-lama menjadi banyak.” (HR Bukhari)
Keempat, hal yang tak kalah urgen adalah menerapkan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam yang bertujuan mencetak output orang-orang yang berkepribadian Islam, yakni orang-orang yang bertakwa, sekaligus memiliki kualitas keilmuan yang tinggi, baik dalam tsaqafah Islam maupun sains teknologi. Dengan ini, negara akan memfasilitasi para guru untuk meningkatkan kualitasnya dengan berbagai fasilitas pendidikan, penelitian, pelatihan, diskusi ilmiah, buku, dan sarana prasarana penunjang lainnya secara cuma-cuma sehingga kualitas guru bisa dipertanggungjawabkan.
Seluruh mekanisme ini didukung oleh semua pihak. Sekolah, keluarga, dan negara bersinergi dengan baik. Ketiganya menjalankan peran masing-masing dengan optimal dan bekerja sama mencetak output pendidikan sesuai harapan Islam. Negara akan mendukung peran guru bukan hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga penerapan sistem pergaulan, informasi, media massa, dan lain-lain. Dengan demikian, tidak akan ada kasus orang tua yang lepas tangan terhadap pendidikan anak dan menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah/guru, kemudian ketika ada masalah justru menyalahkan guru. Pun pembinaan intensif pada para guru untuk memelihara ketakwaan juga akan ditegakkan oleh negara sehingga tidak ada guru yang amoral dan asusila. Sehingga, pendidikan kondusif dan berjalan sesuai syariat Islam. Saat dunia pendidikan kondusif, maka guru-guru hebat pun akan bermunculan.