Oleh. Rini Hapsa
Keputusan pemerintah yang akhirnya membuka kembali pintu ekspor pasir laut kini menuai polemik. Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut menjadi bukti sah dibolehkannya pasir laut untuk di ekspor kembali yang sejak pada tahun 2003 aktifitas ini dilarang.
Apakah yang sebenarnya menjadi alasan negara membuka kembali keran ekpor pasir laut setelah 20 tahun tertutup rapat? Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif memberikan tanggapan. Arifin membeberkan alasan negara membuka keran ekspor pasir laut, yaitu untuk menjaga alur pelayaran dan nilai ekonomi dari sedimen yang mengendap. Singkatnya, daripada mengendap, lebih baik dijual.
Seolah satu suara, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, juga ikut bersuara menanggapi masalah ini. Menurut Luhut, hal ini dilakukan untuk pendalaman dasar laut sehingga perlu dilakukan pengerukan. Menurut luhut “ini untuk kesehatan laut juga!”. Membantah jika aturan ini akan merusak lingkungan, Luhut justru menyampaikan manfaat besar lainnya dengan hadirnya proyek besar berupa reklamasi Rempang di Batam, Kepulauan Riau, untuk digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga surya (cnbcindonesia.com, 2/6/2023).
Banyak yang menilai, dibukanya Kembali ekspor pasir akan menimbulkan dampak yang besar ketimbang manfaat. Kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir akan nampak nyata menyapa. Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI, Parid Ridwanuddin, menyebut PP Nomor 26 tahun 2023 sebagai “gerakan mundur“ dalam komitmen Indonesia untuk melestarikan ekosistem laut.
Dalam laporan bulan April 2022, Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) mengungkapkan bahwa penggunaan sumber daya pasir meningkat tiga kali lipat dalam 20 tahun terakhir. Angkanya setara dengan 50 miliar metrik ton diekstrasi per tahunnya. Menurut catatan WALHI sampai 2040, ada lebih dari 3,5 juta hektare rencana negara membangun reklamasi pantai. Selain itu, ia mengatakan bahwa pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu, Kepulauan Riau, dan kepulauan lainnya terancam tenggelam akibat aktivitas pengerukan pasir tersebut (kompas.com, 1/6/2023) .
Seolah mengulang mimpi buruk nelayan yang tinggal maupun bergantung hidup dengan perairan laut. Dengan terbitnya PP ini artinya aktivitas penambangan pasir akan masif dilakukan terus menerus beserta dengan dampak buruk yang mengikut.
Jika mengingat fakta lama terkait ekspor pasir laut, Singapura adalah negara yang paling banyak mendapat limpahan pasir kiriman dari Indonesia dengan tujuan untuk menguruk daratan Negeri Singa. Tepatnya sejak tahun 1972 hingga tahun 2022, kepulauan Riau menjadi penyumbang terbesar hasil kerukan pasir dengan volume sekitar 250 juta meter kubik per tahun. Tentu saja Indonesia mendapatkan hasil besar dari penjualan ini dengan mematok harga pasir 1,3 dollar Singapura per meter kubik.
Namun, kerugian yang didapatkan sungguh mengiris hati. Daratan Pulau Nipah yang masih masuk wilayah Kota Batam nyaris tenggelam karena abrasi. Rusaknya ekosistem kian masif terjadi. Kerugian lainnya, hilangnya mata pencaharian masyarakat menjadi sebuah mimpi buruk yang terus menyelimuti.
Melihat fakta ini, dapat kita menarik kesimpulan bahwa negara yang zalim adalah negara lebih mengutamakan kepentingan kapitalis, kaum pemilik modal, mementingkan kepentingan ekonomi semu dan memalingkan wajah akan dampak besar terhadap lingkungan. Sistem kapitalisme akan membolehkan semua pemilik modal, pengusaha asing aseng untuk mengeruk sumber daya alam, memperkaya diri mereka dengan mengeksploitasi segala hal termasuk dalam hal ini mengeruk pasir laut secara bebas.
Sungguh miris melihat fakta ini, bukankah sebuah aturan yang diberlakukan di suatu negara haruslah mementingkan kesejahteraan rakyatnya? Negara pun seakan tak bisa berbuat apa-apa. Negara hanya sebagai regulator, pembuat aturan, agar pihak tertentu dapat terus diuntungkan.
Negara akan terus tutup mata dengan kerusakan lingkungan, abrasi, tenggelamnya pulau, rusaknya ekosistem, dan dampak buruk lainnya. Ini terbukti dengan masifnya berbagai macam aktivitas penambangan yang dilakukan dibeberapa provinsi di Indonesia yang terus digerus hasilnya dan meninggalkan dampak pencemaran lingkungan yang besar. Sebagai agama yang sempurna, Islam telah mengatur pemanfaatan SDA. Rasulullah saw. bersabda:
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam hadis ini, Islam memandang bahwa manusia berserikat dalam air, padang rumput dan api. Dan bahwa ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu dengan maksud agar pemanfaatan lebih dirasakan oleh semua umat manusia. Pengelolaan air yang dimaksud dalam hadis di atas yaitu mencakup laut, danau dan semua yang ada di dalamnya adalah kepemilikan umum. Dimanfaatkan untuk kepentingan umum.
Jika melihat aturan ekspor pasir laut, semuanya hanya mementingkan kepentingan beberapa pihak saja tidak secara umum. Misalnya penjualan hasil kerusakan pasir laut yang seolah-olah negara mendapat keuntungan besar, tetapi di balik itu si pemilik kepentinganlah yang paling diuntungkan. Mereka dengan secara bebas mengeruk pasir dan menjualnya ke negara yang membutuhkan. Sementara pengerukan yang terjadi di Kepulaun Riau yang mengalami kerusakan lingkungan yang besar dan membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkannya.
Maka di sini jelas, bahwasanya kegiatan ekspor pasir sudah sepatutnya kita halau, karena islam telah jelas menggolongkannya sebagai SDA milik umum, artinya harus dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Islam pun telah mengatur segala kebijakan dan keputusan yang diterbitkan oleh suatu negara haruslah mementingkan kesejahteraan rakyatnya bukan sebaliknya. Bukan malah menciptakan aturan karena pesanan dari pihak oligarki yang menguntungkan mereka.
Penerapan Islam adalah satu-satunya solusi untuk memberikan sebuah perlindungan dan rasa aman bagi lingkungan, alam, biota, terlebih kepada kehidupan manusia. Maka untuk mewujudkannya tidak lain hanyalah dengan keluar dari belenggu rezim yang materialistis ini. Masyarakat sudah cukup perih merasakan penderitaan yang tidak berkesudahan. Aturan ini akan terlaksana jika negara mengambil Islam sebagai landasannya dan yang menjadikan rida Allah sebagai tujuan terakhirnya.
Wallahua’lam.