Ekonomi Pulih dengan Pajak, Mungkinkah?

Oleh. Vivi Nurwida (Aktivis Dakwah)

Dilansir dari kontan.co.id, 15/11/2022, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan akan terus fokus mengoptimalkan pemungutan pajak sampai dengan akhir tahun 2022 nanti. Pemerintah optimistis penerimaan pajak tahun 2022 akan melebihi target yang ditetapkan sebesar Rp 1.485 triliun pada Peraturan Presiden (Perpres) 98/2022.

Berbagai macam pajak yang ditarik dari rakyat. Mungkinkah dapat memulihkan ekonomi atau justru sebaliknya, menambah beban rakyat?

Pajak: Menambah Beban Rakyat
Dalam upaya pengoptimalan pungutan pajak, pemerintah telah menyusun beberapa strategi, diantaranya adalah menaikan tarif beberapa jenis pajak. Kenaikan tersebut di antaranya adalah PPN, PPh, dan Cukai Rokok.

Pemerintah per 1 April 2022, melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) melakukan reformasi perpajakan dengan menyesuaikan tarif PPN dari 10 menjadi 11 persen.

Selain itu, dalam UU HPP juga terdapat lapisan atau bracket baru untuk pajak penghasilan (PPh) sehingga totalnya menjadi 5 lapisan yaitu: Rp0-Rp 60 juta tarif PPh 5%, Rp60 juta-Rp250 juta tarif PPh 15%, Rp250 juta-Rp500 juta tarif PPh 25%, Rp500 juta-Rp5 miliar tarif PPh 30%, Rp5 miliar ke atas, tarif pajaknya 35%.

Di tengah keterpurukan yang dialami oleh rakyat karena PHK massal, penghapusan subsidi, kenaikan bahan pokok, BBM, TDL, dan sebagainya, pemerintah justru menambah beban dengan pengoptimalan pemungutan pajak. Tentu hal ini akan semakin menambah beban penderitaan yang dirasakan rakyat.

Pemerintah bagaikan drakula yang kehausan darah, kalang kabut menggunakan pajak untuk bisa menghisap darah rakyatnya. Ngerinya, pajak menyentuh hampir semua lini kehidupan. Bukan hanya prosentasenya yang naik, lebih dari itu, objek pajak juga semakin banyak.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, pajak memiliki 2 fungsi, yaitu: fungsi budgetair (sumber keuangan negara) dan fungsi regularend (pengatur). Fungsi-fungsi tersebut sangatlah vital bagi pengemban sistem ekonomi ini. Oleh karena itu, penerimaan pajak merupakan suatu hal yang sangat penting bagi negara. Masyarakat akan terus dihantui bayang-bayang pajak dalam kehidupannya, baik kaya atau miskin.

Meskipun kritik disampaikan banyak kalangan, ditambah banyaknya rakyat yang menjerit akibat pajak, tidak serta merta membuat pemerintah menurunkan pajak, apalagi menghapusnya. Bahkan, berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kewajiban membayar pajak, di antaranya dengan melakukan kegiatan sosialisasi atau edukasi, menelurkan jargon “Warga Bijak, Taat Pajak?” perbaikan layanan pajak, meningkatkan jumlah tenaga pemeriksa pajak, dan sebagainya.

Ekonomi Pulih Bukan dengan Pajak
Kita bisa menyaksikan bahwa negeri ini adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam. Sudah seharusnya, potensi yang luar biasa ini berdampak positif bagi rakyat. Tapi, faktanya hari ini SDA justru dikuasai oleh swasta asing. Keran investasi terbuka lebar karena kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah yang mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya. Jikalau negara mampu mengelola kekayaan ini dengan baik, pastilah tidak akan ada pemalakan pajak atas nama pemulihan ekonomi.

Tentu fakta yang terjadi pada sistem ekonomi kapitalis ini sangat bertolak belakang dari sistem ekonomi Islam. Yang mana syariat Allah mengatur bahwa SDA adalah kepemilikan umum yang tidak boleh diperjual belikan atau dikuasai oleh swasta(asing). SDA akan dimanfaatkan dengan baik lagi optimal untuk kesejahteraan rakyat.

Pajak di dalam Islam atau dikenal dengan istilah dharibah, bukanlah suatu yang dibayarkan secara terus menerus. Pajak hanya ditarik dari orang-orang kaya dari kalangan kaum muslim, yang mempunyai kelebihan harta, dan sudah terpenuhi kebutuhan primer dan sekundernya dengan layak. Sifatnya pun hanya sementara, dalam keadaan genting dan ketika Baitul Mal dalam keadaan kosong, bukan pada setiap keadaan. Besarnya pun disesuaikan dengan kebutuhan, tidak boleh ditarik melebihi kebutuhan Baitul Mal dalam membiayai pengeluaran yang bersifat wajib/menimbulkan dharar jika tidak segera ditunaikan.

Pajak tidak dipungut atas orang-orang kafir. Pajak juga tidak boleh diambil dari orang-orang miskin sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
“Dan siapa saja yang tidak memiliki kelebihan harta, maka pajak tidak diambil dari yang bersangkutan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw: Sebaik-baiknya shadaqah adalah yang berasal dari orang-orang kaya.” (HR. Bukhari melalui jalur Abu Hurairah)

Di dalam Islam, pajak bukan untuk menghalangi orang kaya apalagi untuk menambah pendapatan negara. Pajak juga tidak boleh dipungut dari rakyat selama di dalam Baitul Mal masih tersedia dana untuk membiayai urusan Negara dan rakyat. Selain itu, Khilafah juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan pokok publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan cepat, dan cuma-cuma.

Sudah jelas pajak dalam sistem Kapitalisme tidak akan mampu memulihkan perekonomian rakyat, sudah saatnya kita mencampakkan sistem batil ini. Hanya dengan sistem ekonomi Islam rakyat bisa merasakan kesejahteraan, keadilan dan keberkahan. Sistem ekonomi ini hanya bisa diterapkan ketika sistem politik yang diterapkan juga sistem politik Islam, yang dengannya Islam akan diterapkan di segala aspek kehidupan.

Wallahu a’lam bi ash-shawab

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi