Oleh. Fitriyah Permata
(Pengamat Kebijakan Politik)
Minyak goreng saat ini menjadi barang yang sedang banyak dicari dan diperbincangkan. Setelah harga melambung tinggi bak roket, lalu turun meluncur bak terjun payung. Masyarakat dibuat bingung dan panik oleh situasi tersebut. Alhasil ketika ada minyak murah, masyarakat langsung panik memborong minyak.
Sebenarnya dari data luas lahan kelapa sawit di Indonesia, dari tahun ke tahun hampir selalu mengalami kenaikan jumlah lahan. Dari data BPS tahun 2019, lahan sawit negeri ini seluas 14,6 juta hektare, sedangkan tahun 2021 lahan sawit bertambah luasnya menjadi 16,38 hektare. Artinya, bahan baku sawit semakin bertambah. Jika bahan baku sawit bertambah, maka jumlah produksi bisa makin banyak, ketersediaan barang makin banyak dan harga bisa makin murah. Namun, lahan sawit yang luasnya 16,38 hektare itu sebagian besar dikuasai oleh segelintir konglomerat saja, seperti dilansir dari kompas.com (20/12/2020).
Selain mereka menguasai lahan sawit, mereka juga menguasai proses produksi minyak hingga distribusinya. Jadi dari hulu ke hilir, bisnis minyak goreng ini dikuasai oleh segelintir konglomerat. Bahkan baru-baru ini, terdapat investor asing yang mulai memiliki lahan sawit di Indonesia. Karena, proses dari hulu ke hilir dikuasai oleh orang yang sama, maka kemungkinan besar terjadinya monopoli dagang. Tidak heran jika kenaikan harga minyak tembus angka Rp20 ribu/liter diduga karena ada kartel minyak (sindonews.com, 31/01/2022).
Hampir sebulan masyarakat merasakan getir harga minyak goreng yang meroket. Hingga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus adanya praktik kartel minyak. KPPU sebuah independen yang dibentuk untuk mengawasi persaingan usaha. Karena temuan adanya praktek kartel itulah, lalu pemerintah mulai bergerak dan menetapkan harga dasar minyak.
Namun bayangkan saja, berapa keuntungan yang sudah diraup para produsen minyak goreng saat kenaikan harga fantastis kemarin. Per liter naik sekitar 5000 rupiah, jika dalam 1 hari laku 1 juta liter, maka perhari meraup keuntungan Rp5 milyar, jika dikalikan 20 hari, maka sudah berapa banyak keuntungan yang diraup?
Jadi, harga minyak yang saat ini berlaku adalah harga yang seharusnya, bukan promo harga murah. Kalau kita sedikit mau mengamati perkembangan politik negeri ini, maka kita harusnya tahu bagaimana kondisi seharusnya. Jika harga mulai 1 Februari 2022 akan ditetapkan kembali pada harga 11.500 untuk minyak curah, dan 13.500 untuk minyak kemasan, ya itulah yang seharusnya. Bukan hal istimewa.
Tidak usah heran dalam sistem kapitalisme, praktik pengendalian harga yang tidak stabil sering terjadi di berbagai barang, terutama bahan pokok. Karena, bisnis tersebut dikuasai oleh segelintir pengusaha, sehingga mereka bisa dengan leluasa mengatur kapan harga naik dan turun. Terbukti meski biaya produksi pertanian naik, namun petani tak bisa berkutik jika gudang penampung beras hanya memberi harga rendah, bahkan terkadang lebih rendah dari biaya produksi yang dikeluarkan petani.
Disinilah, kenapa Islam tidak membolehkan adanya praktik monopoli. Tidak boleh ada penguasaan usaha dari hulu ke hilir oleh beberapa orang saja. Negara harus hadir untuk memastikan usaha ini bisa merata. Kita harusnya merasakan betul bagaimana peran pemerintah itu sangat mempengaruhi kehidupan seluruh masyarakat.
Wallahu a’lam bishowab.