Oleh. Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Hasil penelitian Serikat Pekerja Kampus atau SPK mengungkap mayoritas dosen menerima gaji bersih kurang dari Rp3 juta pada kuartal pertama 2023. Termasuk dosen yang telah mengabdi selama lebih dari enam tahun (Tempo.co, 2/5/2024).
Di bangsaonline.com (3/3/2024), disampaikan pula bahwa dosen muda cuma dapat gaji Rp2.460.600. Untuk gaji pertama 80%. Berarti dosen muda hanya dapat Rp2.048.480. Slip gaji itu diungkap seorang “dosen asisten ahli.” Lalu dosen lain juga meng-upload slip gajinya, termasuk tunjangan dan lainnya. Ternyata take home pay-nya mentok pada angka Rp3.504.000.
Sejumlah dosen lain pun ikut membagikan slip gaji mereka dengan tagar #JanganJadiDosen yang sudah digunakan lebih dari 7.000 kali. Bahkan, seorang dosen dari universitas swasta hanya menerima Rp1,2 juta setelah potongan (bbc.com, 25/4/2024).
Miris. Posisi mahaguru di pendidikan tinggi tak semulia kedudukannya bila dilihat dari gaji yang didapatkan. Menurut Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, gaji dosen PNS dimulai dari golongan pangkat III sampai IV. Nominal gajinya minimal Rp2,7 juta—Rp6,3 juta. Sayangnya, angka ini hanya berlaku bagi dosen perguruan tinggi negeri (PTN). Bagi dosen PT swasta (PTS), jumlahnya berbeda, tergantung besar kecilnya PTS dan sumber daya di PT yang bersangkutan. Jika sebuah PTS besar, Maka gaji dosennya pun besar. Namun jika sebaliknya, gaji hanya di bawah Rp2 juta. Alhasil, sama-sama berstatus dosen, tetapi gaji tidak sama padahal beban tugasnya tidak berbeda.
Namun, bagi dosen PTN pun meski gajinya mungkin lebih tinggi dari dosen PTS, mereka tetap berhadapan dengan situasi ekonomi yang makin sulit makin membelit, belum lagi biaya pendidikan anak-anaknya, serta kebutuhan yang makin bertambah. Tentunya kondisi ini membebani pikiran para dosen. Alih-alih fokus, mereka diricuhkan dengan ketidaksejahteraan sistemis yang dipersembahkan negerinya.
Kapitalisme Tak Memuliakan Para Pendidik
Sungguh, bukan hanya Tridharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian) yang mengikat para dosen, namun selain itu mereka pun masih harus melakukan professional service untuk proyek-proyek di kampusnya. Para dosen juga sering menjalankan jam kerja melampaui batas. Sayangnya, kondisi ini justru dinormalisasi dengan istilah “pengabdian kepada institusi” (Tempo.co, 6/5/2024).
Sayang beribu sayang, pengabdian tak sebanding dengan penghargaan yang diberikan. Bahkan, cenderung tak dihargai lebih dominan. Bayangkan, dengan gaji yang lebih kecil dari pegawai BUMN lainnya, membuat mereka harus berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan gaji ala kadarnya. Mau tidak mau mereka mengaruskan dirinya mencari penghidupan di tempat lain untuk menambah pemasukan dari proyek-proyek yang nilainya bisa jadi lebih besar daripada gaji seorang dosen. Pekerjaan sampingan itu pada akhirnya lebih difokuskan dibandingkan dengan ikatan Tridharma Perguruan Tinggi.
Tragisnya untuk mendapatkan kenaikan gaji atau mendapatkan tunjangan, para dosen harus mengeluarkan effort luar biasa. Mereka harus mengucurkan peluh ekstra untuk setiap tugas supaya bisa naik jabatan dan mendapat sertifikasi, belum lagi diwajibkan menghasilkan jurnal internasional berindeks Scopus agar keberadaannya diakui. Padahal biaya untuk melakukan penelitian dan memasukkan jurnal terbilang mahal. Tidak semua dosen bisa berkesempatan mendapat hibah.
Belum lagi biaya pendidikan S2 dan S3 sangat mahal, dan tidak semua dosen bisa mendapatkan beasiswa. Namun pada akhirnya, para dosen hanya dihargai dengan ucapan “pengabdi masyarakat.” Menyedihkan!
Sungguh, kondisi ini memperlihatkan bahwa negara gagal menjamin kesejahteraan para dosen. Penerapan kapitalisme dengan sekularisme sebagai asasnya telah membuat negara hilang empati untuk memuliakan para pendidik. Di sistem ini, dosen hanya dipandang sekadar profesi. Segala sesuatu hanya dilihat secara materi. Pemilik ilmu tidak lagi dipandang sebagai orang yang perlu dimuliakan dan dihormati. Yang dijunjung tinggi hanya yang punya kedudukan dan bergelimang cuan.
Negara gagal menghargai profesi mulia dosen. Materialisme dengan liberalisme ekonomi telah memiskinkan negara hilangnya pendapatan negara dari pos pengelolaan SDA yang masuk ke kantong para kapitalis. Pendapatan utama negara yang hanya mengandalkan pajak tidaklah cukup untuk mengapresiasi para dosen. Negara tak ber’uang’ jika peruntukkannya untuk para dosen. Memilukan!
Kemuliaan Hanya Didapatkan dari Islam
Bercermin dari masa kekhalifahan Abbasiyah, memuliakan orang berilmu sangat luar biasa. Gaji pengajar kala itu mencapai 1.000 dinar/tahun. Khalifah juga memberikan gaji dua kali lipat bagi pengajar Al-Qur’an. Bahkan, ketika pengajar atau ilmuwan menghasilkan buku, mereka akan mendapatkan penghargaan sesuai berat buku tersebut (dalam dinar). Ini bukti nyata bahwa Islam sangat menghargai ilmu dan memuliakan orang yang berilmu.
Sebagai sistem kehidupan yang sempurna dan paripurna, Islam sangat meninggikan derajat lmu, terlebih kepada para pemilik ilmu, kedudukan mereka sangat tinggi dalam Islam. Bahkan, Islam mengatur adab seorang murid kepada gurunya. Memuliakan kedudukan para guru.
Dalam Islam, dosen bukanlah hanya sebatas pekerjaan, melainkan berperan sebagai pencetak generasi pemimpin sehingga posisi merdeka sangat dimuliakan dan wajib dihormati. Untuk posisi ini Islam mewajibkan negara memberikan penghargaan yang layak. Sebagai gambaran, pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab, misalnya, guru digaji hingga 15 dinar/bulan (1 dinar = 4,25 gram emas) per bulan. Mengacu harga emas saat ini (Mei 2024, ed.), yakni 1 gram emas adalah Rp1,308 juta, maka gaji guru Rp83,385 juta per bulan. Barakallaah, dengan nominal tersebut para pengajar (termasuk setingkat dosen) tidak perlu lagi mencari pekerjaan sampingan, apalagi Khilafah telah mencukupi semua kebutuhan pokok rakyatnya, alhasil para dosen bisa fokus mendidik sekaligus mengembangkan ilmunya, juga melaksanakan amanah mulianya mencetak generasi cemerlang pada masanya dan masa yang akan datang.
Bukan hal yang mustahil dalam sistem Islam untuk menggaji para pengajar sebesar itu, karena Islam punya konsep rigid dalam mengelola keuangan, yakni melalui baitul mal. Pemasukan baitul mal yang berasal dari jizyah, fai, kharaj, ganimah, dan pengelolaan seluruh SDA yang dikelola negara untuk mengurusi kebutuhan pokok rakyatnya, termasuk gaji para pendidiknya, sangatlah cukup menjadikan dosen hidup sejahtera.
Demikianlah dengan kondisi seperti itu tentunya negara pun aman karena para calon pemimpin bangsa akan dididik dengan sungguh-sungguh. Mereka menjadi pembelajar yang berkepribadian Islam, dengan pola pikir dan sikap Islami. Pada saatnya, mereka pun akan mempraktikkan ilmunya bukan hanya sekadar mencari cuan namun supaya ilmunya bermanfaat dan maslahat bagi masyarakat. Semua itu hanya bisa terlaksana jika Islam kaffah benar-benar diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Wallaahu a’lam bisshawaab.