Dispensasi Tikus Berdasi dalam Sistem Demokrasi

Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Umat)

Amboi, sepertinya negeri ini menjadi surga koruptor. Berbagai kejadian aneh bin ajaib terjadi, beberapa koruptor kelas kakap suka menghilang entah ke mana. Upaya penelusuran dan pencarian menjumpai kegagalan yang berulang. Sebut saja kasus Harun Masiku yang hinggi kini tak menjumpai titik terang. Masih banyak lagi kasus korupsi berantai yang tak muncul ke permukaan.

Akar Masalah Korupsi

Banyaknya harta duniawi menjadi tujuan hidup masyarakat di sistem demokrasi. Asas manfaat yang dipelihara ideologi kapitalisme dalam sistem pemerintahan demokrasi, menjadikan rakyat dan penguasa berburu materi demi memenuhi kantong-kantong pribadi. Maka, jabagan yang seharusnya berkiblat pada pelayanan publik, teralihkan pada untung rugi.

Dalam sistem demokrasi, jalan meraih kekuasaan membutuhkan banyak biaya. Mulai mahar politik, dana kampanye, hingga suap menyuap demi sebuah suara mewarnai pemilihan. Tentu saja uang Rp100 ribu tidak ada artinya dalam pemilihan ini. Maka dari itu, banyak calon penguasa ataupun pejabat melakukan kongkalikong dengan para pengusaha demi memuluskan tujuannya meraih kursi kekuasaan atau jabatan.

Jelas hal ini membuat para calon yang terpilih memiliki pandangan untuk meraih keuntungan di atas singgasananya. Siapa pun yang terpilih dengan jalan pemilihan di alam demokrasi, maka mengembalikan modal pemilihan, meriah keuntungan pribadi dan partai adalah tujuan utama. Maka, jalan apa pun akan ditempuh demi mewujudkan tujuannya. Salah satu jalan terkeren versi mereka adalah menggelapkan uang yang bukan haknya. Aktivitas itu biasa disebut korupsi.

Sejak reformasi, korupsi menggurita ke mana suka. Mulai pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, bahkan institusi terendah terbiasa dengan kasus suap dan korupsi. Demam korupsi menjadi tren. Banyak pejabat yang berakhir dibui karena ulahnya yang serakah dan tak amanah. Jelas, sistem demokrasi yang mendorong mereka melakukan mereka korupsi.

Ada KPK yang tegak untuk memberantas korupsi. Alih-alih memberantas korupsi, fakta yang ada justru korupsi kian subur. Justru negara seakan memperlakukan para napi koruptor dengan istimewa. Meski sudah memakai rompi orange, mereka masih bisa berhaha-hihi dengan siapa saja. Justru, saat ini KPK seakan tak mampu meredam wabah korupsi.

Sementara sanksi yang diberlakukan tak mampu membuat koruptor jera dan tak mampu membendung yang lain untuk melaksanakan aksi serupa. Hukuman yang diberikan cenderung ringan tanpa bebasn. Hal itu tampak saat ada dispensasi dan remisi bagi napi tikus berdasi. Diberitakan bahwa sebanyak 23 narapidana koruptor telah bebas dari penjara pada hari Selasa (6/9/2022). Para napi ini menerima program pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Merdeka.co. 7/9/22).

Maka jelas, akar masalah korupsi bukan semata pada pejabat atau penguasa yang serakah. Namun, biaya walimah politik yang tak murah membuat kasus korupsi terus bertambah. Sementara hukum yang diberikan seakan salah kaprah.

Islam Melarang Aktivitas Korupsi

Sistem demokrasi yang terlahir dari ideologi kapitalisme memiliki akidah sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Maka, tak heran jika korupsi terus bertebaran karena mereka tak peduli halal dan haram. Hal itu jelas berbeda dengan sistem Islam. Islam adalah agama yang sempurna dan ideologi yang mengatur segala aspek kehidupan, terutama sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah yang menerpakan syariat Islam secara kaffah.

Pemilihan dalam Islam tidaklah berbiaya mahal, malah tak ada biaya. Sehingga, peluang korupsi sangat kecil. Selain itu, Islam mengharamkan aktivitas korupsi dan sejenisnya, seperti suap, mahar politik, upeti partai, politik balas budi, dll. Jelas, hal ini akan menjadi alarm bagi rakyat. Islam mewajibkan negara menjaga suadana keimanan, menanamkan akidah Islam pada seluruh lapisan masyarakat. Sehingga, masyarakat akan senantiasa berhati-hati dalam melangkah. Konsekuensi keimanan akan menuntunnya ke jalan yang benar.

Islam memiliki mekanisme upah yang jelas, transparan, dan menyejahterakan pejabat. Sehingga, celah korupsi tak akan tampak. Para pejabat dan penguasa akan senantiasa takut memakan harta ghulul. Sebagaimana sabda Nabu saw.:

“Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Hakim)

Pejabat atau penguasa akan senantiasa dipantau harta sebelum dan setelah menjabat. Apabila ada penambahan harta dengan jalan yang batil, seperti korupsi, maka Khilafah akan menjatuhkan ta’zir, bisa berupa denda, penjara, dan lainnya sesuau pandangan khalifah. Sanksinya tidak main-main, tak akan ada pelepasan napi koruptor sebelum mereka bertobat dengan tobatan nasuha.

Dengan demikian, hanya Islam aturan sakral yang mampu menyelesaikan persoaln kehidupan, termasuk kasus korupsi. Sudah saatnya semua elemen umat berjuang melanjutkan kembali kehidupan Islam

Wallahu a’lam bishawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi