Dilema Pariwisata dan Kehalalan Produk

Oleh. Heni Agustina
(Kontributor MazayaPost.com)

Di tengah berkembangnya industri pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pelaku industri pariwisata yang diwakili oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) serta Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DIY, menyatakan dukungan terhadap penguatan aturan legalisasi penjualan minuman keras (miras). Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono, menegaskan bahwa meskipun minuman beralkohol memiliki peran penting dalam menarik wisatawan asing, peredarannya harus diatur secara ketat oleh pemerintah.

Deddy menilai bahwa keberadaan miras adalah bagian integral dari pelayanan kepada wisatawan asing, terutama mengingat bahwa bagi banyak wisatawan, mengonsumsi minuman beralkohol adalah bagian dari kebudayaan mereka.
Bagi wisatawan asing, minuman keras adalah sebuah kebutuhan. Sebagaimana kebutuhan kita terhadap air mineral ungkapnya. Namun, ia juga menekankan bahwa peredaran miras harus diatur dengan ketat untuk menghindari potensi dampak negatif terhadap masyarakat lokal.

Pernyataan Deddy menjadi sorotan dalam konteks maraknya penjualan miras ilegal yang berpotensi merusak citra pariwisata dan membahayakan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah daerah untuk menindak tegas penjual miras yang tidak mematuhi aturan yang sudah ditetapkan. Dalam konteks organisasi, Deddy menjelaskan bahwa anggota PHRI yang boleh menjual minuman beralkohol adalah hotel bintang tiga ke atas, yang harus memenuhi semua persyaratan dan regulasi, termasuk izin dan bea cukai. Dengan cara ini, diharapkan bahwa penjualan miras dapat dilakukan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Peran GIPI dalam Memastikan Perizinan
Sikap yang sama juga diungkapkan oleh Ketua GIPI DIY, Bobby Ardyanto, yang menekankan pentingnya pemerintah dalam menegakkan aturan perizinan untuk bisnis minuman beralkohol. Menurutnya, perizinan tempat penjualan miras perlu menjadi perhatian utama agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat. “Bagaimana rekomendasi tentang lokalisir dari lokus-lokus ataupun area yang diperbolehkan untuk melakukan bisnis minuman beralkohol ini, sehingga menjadi satu hal yang penting dan diperhatikan,” ujarnya.
Dengan menekankan pentingnya lokasi yang tepat untuk penjualan miras, Bobby mengharapkan agar bisnis ini tidak hanya menguntungkan tetapi juga tidak berdampak negatif pada komunitas lokal. Ini menunjukkan bahwa ada kesadaran kolektif di antara pelaku industri untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan sosial.

Isu Sertifikasi Halal dalam Konteks Pariwisata

Namun, di tengah pembicaraan tentang miras, isu sertifikasi halal juga menjadi topik penting yang perlu diperhatikan. Dalam konteks ini, banyak produk yang dianggap aman karena zat yang digunakan adalah halal, tetapi namanya mengandung unsur yang tidak halal. Hal ini menciptakan kerancuan yang berpotensi membahayakan, terutama bagi konsumen Muslim yang mengutamakan kehalalan dalam setiap aspek konsumsi.

Sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme sering kali dipandang sebagai ladang bisnis. Banyak perusahaan mungkin mengabaikan aspek nama produk dan hanya fokus pada zat yang digunakan. Ini bisa menimbulkan kesalahpahaman di kalangan konsumen. Pertanyaannya, sejauh mana negara berperan dalam memastikan kehalalan produk yang beredar di masyarakat?

Pandangan Hukum Islam

Dari perspektif hukum Islam, miras termasuk dalam kategori barang haram yang dilarang untuk dikonsumsi. Dalam Al-Qur’an, terdapat sejumlah ayat yang jelas menyatakan larangan terhadap minuman keras, seperti dalam Surah Al-Ma’idah (5:90) yang menekankan bahwa minuman beralkohol adalah “kotor” dan “perbuatan setan.” Oleh karena itu, negara yang berpegang pada prinsip-prinsip Islam wajib melindungi rakyatnya dari produk yang dianggap haram.

Selain itu, dalam konteks sertifikasi halal, hukum Islam memiliki panduan yang jelas mengenai kehalalan suatu produk. Negara harus berfungsi sebagai pelindung masyarakat dengan memastikan bahwa barang yang beredar memenuhi standar kehalalan. Kegagalan dalam melaksanakan hal ini bisa menyebabkan kebingungan dan kesalahan di kalangan konsumen, yang berimplikasi pada praktik keagamaan mereka.

Peran Negara dalam Sertifikasi Halal

Untuk bisa menjalankan hukum hukum Islam, setidaknya kita membutuhkan tiga pilar penting. Pertama adalah ketakwaan individu. Negara berkewajiban untuk memberikan edukasi kepada masyarakat. Negara wajib menanamkan keyakinan bahwa setiap perbuatan manusia selama hidupnya kelak akan dihisab, maka wajib untuk menyelaraskan setiap perbuatan dengan hukum syarak. Sehingga, akidah menjadi dorongan bagi individu untuk melakukan perbuatan atau meninggalkannya.

Kedua adalah kontrol masyarakat. Dalam Islam, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mengontrol kebijakan kebijakan yang dikeluarkan oleh negara. Masyarakat juga secara aktif melakukan amar makruf nahi munkar. Semuanya dilandasi dengan akidah Islam. Adapun ketiga adalah peran negara yang memiliki tanggungjawab sebagai rain. Yaitu perisai bagi umat ini dari segala hal yang membahayakan atau mengancam umat.

Maka dari itu, negara wajib menjamin kehalalan barang yang dikonsumsi. Sehingga sertifikasi halal harus menjadi layanan yang diberikan oleh pemerintah dengan biaya yang terjangkau atau bahkan gratis. Negara harus memastikan bahwa semua makanan dan minuman yang dikonsumsi masyarakat memenuhi standar kehalalan.

Para qadi hisbah yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan, perlu rutin memeriksa pasar, tempat pemotongan hewan, dan pabrik untuk memastikan bahwa produk yang beredar tidak hanya halal, tetapi juga berkualitas. Pengawasan ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap produk yang mereka konsumsi.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi