Oleh. Hesti Nur Laili
Jika kita menyusuri Provinsi Riau baik melalui jalur darat maupun melihat dari udara, pemandangan kebun sawit terhampar luas di mana-mana dengan luas mencapai jutaan hektar lahan sawit. Tak hanya sawit, bahkan hasil tambang minyak bumi pun tak kalah melimpah di provinsi yang berjulukan Negeri Bertuah itu. Sungguh kita akan dibuat terperangah dengan kekayaan alam yang dimiliki oleh Riau.
Hanya saja, menjadi sebuah ironi ketika sebuah fakta dijabarkan melalui data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2021, yakni Provinsi Riau justru memiliki jalanan yang rusak peringkat pertama se-Indonesia.
Adapun total panjang jalanan rusak yang ada di provinsi ini sebanyak 1.073,5 km dan terbagi menjadi dua kategori menurut data BPS yakni kategori yang hanya rusak saja sepanjang 441 km serta golongan rusak parah sepanjang 633 km (Riauonline.co.id, 24/4/2023).
Tentu saja banyaknya kerusakan jalan di provinsi Riau menunjang tingginya angka kecelakaan tunggal yang dialami para pengendara roda dua di jalanan yang penuh lubang tersebut. Penerangan jalan yang tak merata ditambah dengan rusaknya jalan, menyebabkan warga banyak sekali mengalami kecelakaan tunggal. Baik kecelakaan ringan yang hanya menimbulkan luka-luka saja, maupun kecelakaan berat yang mengakibatkan korbannya meninggal dunia.
Seperti kesaksian salah seorang warga Kota Pekanbaru yang mengatakan bahwa di Jalan Parit Indah atau Jalan Datuk Setia Maharaja, Kecamatan Bukit Raya, kerap kali terjadi kecelakaan tunggal akibat banyaknya lubang-lubang di jalan hingga mengakibatkan para pengendara motor jatuh terperosok ke dalam lubang tersebut (Riaupos.co, 19/04/2023).
Banyaknya jalanan rusak di provinsi ini yang senada dengan tingginya angka kecelakaan akibat dari jalanan rusak tersebut, seolah berbanding terbalik dengan kekayaan yang dimiliki oleh tanah Riau. Kemanakah larinya semua hasil dari kekayaan tersebut?
Di sisi lain, terkuak fakta bahwa beberapa pejabat di provinsi ini beberapa kali membuat heboh dan menjadi sorotan masyarakat lantaran terciduk melakukan fleksing atau pamer kekayaan di sosial media. Salah satunya yang booming dan menjadi sorotan netizen Indonesia beberapa waktu lalu adalah kasus pamer kekayaan yang dilakukan oleh anak dan istri dari Sekda Riau SF Hariyanto di media sosial (Liputan6.com, 12/4/2023).
Buntut dari kasus tersebut, beberapa pejabat kemudian mendapat panggilan KPK terkait dugaan korupsi pembangunan flyover di Pekanbaru. Keduanya adalah Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Setdaprov Riau, Rahmad Rahmadiyanto, dan Kepala UPT Jalan dan Jembatan Wilayah IV, Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Perumahan Kawasan Pemukiman Pertanahan (PUPR-PKPP) Riau, Yunannaris (Cakaplah.com, 3/6/2023).
Memandang ketimpangan ketiga fakta tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem demokrasi yang banyak dibangga-banggakan oleh banyak kalangan ternyata berbuah kerusakan di mana-mana, termasuk salah satunya adalah berlomba-lombanya para pejabat untuk mencari keuntungan pribadi dengan menambah pundi-pundi kekayaan dengan menjadi seorang pejabat di negeri ini.
Kekayaan alam bisa dengan mudah dimiliki oleh swasta dan asing, sementara hasil dari kerja sama tersebut tak kunjung turun untuk kesejahteraan rakyat kecuali hanya sedikit saja. Itu pun masih ditambah dengan pungutan pajak secara paksa kepada rakyat dari segala aspek yang lagi-lagi ironinya pendidikan dan kesehatan masih saja mahal. Bahkan jalan dan jembatan yang digembar-gemborkan sebagai keberhasilan infrastruktur pun juga tak dapat dinikmati masyarakat secara gratis seperti jalan tol yang wajib bayar.
Jalanan yang bagus hanya di wilayah-wilayah tertentu yang ada hubungannya dengan destinasi atau pusat kota. Sementara daerah pinggiran harus pasrah menerima keadaan kondisi jalanan yang rusak. Alokasi dana trilyunan hasil dari kekayaan alam Indonesia serta pungutan pajak dari rakyat pun hanya berfokus pada pembangunan di kota-kota besar saja. Namun, kota-kota kecil di luar pulau Jawa menjadi tertinggal secara infrastrukturnya. Itu juga belum ditambah dengan berapa rupiah yang masuk ke kantong pribadi pejabat.
Slogan demokrasi yang berbunyi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” seolah hanya omong kosong, yang nyatanya sedikit pun tidak terbukti. Seperti yang kita rasakan, dana besar hasil dari kekayaan alam maupun pungutan pajak seolah menguap entah kemana. Padahal, ada hak rakyat di dalam dana itu untuk kesejahteraan mereka, termasuk juga terjaminnya keamanan dalam berkendara di jalanan.
Sayangnya, jalanan yang rusak seolah menjadi angin lalu bagi para pejabat itu untuk berupaya memperbaikinya. Bahkan beberapa waktu lalu di Provinsi Lampung, seorang warga terancam penjara dan keluarganya mendapatkan teror serta intimidasi akibat kritikannya di media sosial tentang kondisi jalanan yang rusak di Lampung.
Warga tersebut adalah Bima Yudho Saputro, seorang tiktoker asal Lampung yang membuat kritikan di salah satu kontennya terkait keadaan mengapa Provinsi Lampung tidak maju-maju, yang salah satu penyebabnya adalah karena memiliki banyak jalan yang rusak (Kompas.com, 13/4/2023).
Coba lihat? Betapa mengerikannya konsekuensi yang didapatkan rakyat apabila berupaya melakukan protes terkait keadaan di negara ini. Di satu sisi, kekayaan alam yang dimiliki oleh Riau, namun di sisi lain rakyat seolah tak mendapatkan apa pun bahkan sekadar kenyamanan dalam berkendara di jalanan.
Hal ini tidak lain sebab dari rusaknya sistem demokrasi. Kekayaan alam suatu negeri dengan mudah bisa dimiliki oleh perorangan, swasta bahkan asing. Jika pun itu milik negara, rakyat tak boleh mengelolanya kecuali diserahkan kepada asing yang tentunya keuntungan besar bagi negara lain.
Selain itu, hukum yang murah dan dapat dibeli para koruptor, hingga membuat mereka mudah lolos dari hukuman bahkan memiliki fasilitas pribadi dengan penjara mewah bila harus terpaksa dihukum penjara, menjadikan para maling uang rakyat ini tak memiliki rasa jera sedikit pun. Apalagi undang-undang di Indonesia membolehkan para mantan koruptor untuk menjabat atau mencalonkan diri menjadi pejabat publik meski backgroundnya sangat buruk.
Keadaan inilah yang menjadi fakta yang memprihatinkan akibat dari rusaknya sistem demokrasi kapitalis dan berbanding terbalik dengan bagaimana sistem Islam diterapkan di zaman dahulu.
Sejarah mencatat bagaimana di masa kekhilafahan Khalifah Umar bin Khattab, bagaimana beliau memiliki ketakutan luar biasa jika ada hewan atau keledai yang terperosok ke dalam lubang akibat jalanan rusak di Irak. Sehingga jangankan manusia, bahkan jika hewan yang jatuh akibat jalanan yang rusak di masa ia memimpin saja, begitu sangat membuatnya ketakutan bagaimana pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah sebagai seorang pemimpin.
Di masa kekhilafahan Umayyah dan Abbasiyah pun pemerintah memberikan fasilitas banyaknya pondokan gratis yang dilengkap dengan persediaan air, makanan dan tempat tinggal untuk memudahkan perjalanan para musafir. Pada masa kekhilafahan Utsmani, transportasi kereta api diberikan gratis untuk rakyat.
Hal ini tidak lepas dari aturan pelarangan kepemilikan kekayaan alam suatu negeri oleh perorangan, dan hanya pemerintahlah yang bertanggung jawab mengelola, karena semua kekayaan tersebut milik negara. Adapun hasil dari kekayaan tersebut dialokasikan ke berbagai sektor untuk menunjang kesejahteraan rakyat. Selain itu, hukum benar-benar ditegakkan seadil-adilnya serta tidak dapat dibeli dengan apa pun dan oleh siapa pun. Hukum potong tangan menjadi efek jera bagi pencuri sebagai ciri bahwa pelaku pernah melakukan pencurian.
Inilah yang seharusnya terjadi. Rakyat dinaungi, disejahterakan, dimudahkan dan diberikan rasa aman untuk menjalani hidup yang termasuk di dalamnya kemudahan ketika rakyat melakukan perjalanan baik berupa jalanan yang bagus serta transportasi yang gratis. Karena sejatinya pemerintah atau negara yang seharusnya menghidupi rakyat, bukan rakyat yang menghidupi negara.
Seperti sabda Rasulullah saw., yang artinya: “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka” (HR. Ibnu Majah dan Abu Nuaim)
Serta dalam riwayat lain, Rasulullah saw. juga bersabda, “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari)
Jalanan merupakan sebuah infrastruktur yang secara pandangan sistem Islam dan sistem sekularisme memiliki dua pandangan yang berbeda. Sistem sekularisme memandang infrastruktur sebagai sarana untuk dikelola menjadi bagian penting dalam dunia industri dan penyedia jasa layanan publik saja. Sehingga tak heran, bagusnya jalan tol dan jembatan tak lepas dari mesin pemasukan dana bagi pemerintah.
Berbeda dengan pandangan sistem Islam, infrastruktur dinilai sebagai kebutuhan masyarakat yang penting dan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah untuk memberikan yang terbaik sehingga terjaga dari kerusakan.
Itulah yang seharusnya pemerintah perhatikan secara serius bahwa tingginya angka kecelakaan tunggal akibat banyaknya kerusakan jalanan adalah sepenuhnya tanggung jawab pemerintah. Namun sayangnya, di zaman sekarang, kekuasaan seolah dianggap sebagai sarana untuk mewujudkan keinginan pribadi semata. Mengenyahkan segala tanggung jawab sebagai seorang pemimpin. Sungguh, menjadi seorang pemimpin itu berat. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Jabatan itu pada permulaannya penyesalan, pertengahannya kesengsaraan dan akhirnya adalah azab pada hari kiamat.” (HR. Ath-Thabrani)