Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Ummat)
Duhai, pelik nian persoalan kehidupan yang melanda rakyat. Siapa yang tak mengenal slogan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat?” Slogan itu amatlah manis didengar, tetapi sepertinya slogan itu beracun saat diterapkan. Betapa tidak, kondisi umat manusia dewasa ini amatlah menderita di bawah bayang-bayang slogan yang selalu dibanggakan tersebut.
Hipokrisi Demokrasi
Slogan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” merupakan slogan pamungkas demokrasi. Dengan slogan itu, demokrasi hadir dan diterima oleh rakyat. Namun, sepertinya ada yang salah dengan pemilihan aturan di negeri ini. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) sekaligus Ketua Dewan Pakar KAHMI Mahfud MD menilai kondisi demokrasi di Indonesia saat ini sedang tak sehat dan tak dalam kondisi yang baik (18/9/2022).
Sejatinya, mengambil sistem demokrasi bertengger di atas altar tahta pemerintahan itu merupakan kesalahan tersendiri. Sebab, sistem demokrasi berpotensi menimbulkan kecurangan dan kepincangan dalam tatanan pemerintahan dan kinerjanya. Atmosfer suara terbanyak justru menodai kepercayaan rakyat dengan membuat aturan sendiri. Sebagaimana jargon “Vox Populi Vox Dei” alias suara rakyat adalah suara Tuhan menjadi senjata untuk memproduksi aturan ataupun produk hukum yang diterapkan.
Suara terbanyak hanyalah dimanfaatkan untuk memenuhi kepuasan bahkan pesanan kebijakan para pemilik modal. Dimana modal itu telah mengantar punggawa negeri ke kursi kekuasaan. Biaya pemilihan dan mahar politik yang tinggi mendorong para penguasa menggandeng para pemilik modal, dalam hal ini pengusaha. Sehingga, kepemimpinan dalam demokrasi penuh hipokrisi. Tak akan tercipta kondisi yang bersih bagi pejabat dan penguasa dari pencitraan, bahkan tindak kriminal lainnya.
Kepemimpinan dalam sistem demokrasi akan diraih dengan jalan politik uang. Sebab, jumlah nominal yang diterima rakyat akan menjadi faktor pendorong ke mana suara rakyat berlabuh. Apalagi pemimpin itu dikenal dermawan dengan segala sumbangannya di berbagai lembaga sosial ataupun langsung pada rakyat. Pemanis berupa materi itulah yang menjadi magnet suara rakyat. Sungguh, sistem demokrasi berselimut hipokrisi.
Adapun kedudukan pemilik modal (korporasi) sangatlah vital dalam walimah politik lima tahunan. Bantuan modal dari para pengusaha itulah yang membuat penguasa eksis. Sehingga, kompensasinya adalah menu pesanan kebijakan ada di tangan korporasi. Jika demikian realitanya, jelas slogan “dari, oleh, dan untuk rakyat” seakan menjadi lips service semata. Korporasilah yang paling menikmati hasilnya, sementara rakyat dapat getahnya.
Pernyataan Mahfud MD yang menyatakan bahwa kondisi demokrasi di negeri ini sedang tidak baik-baik saja sebenarnya tepat. Bahkan, jika para penguasa dan pejabat mau berpikir sedikit mendalam akan mendapati hipokrisi. Bahwasanya demokrasi telah cacat dan rusak sejak lahirnya. Maka,
Islam is the Only Solution
Porsi aturan Allah dalam sistem demokrasi bisa dikatakan nihil. Sebab, “Vox Populi Vox Dei” menjadi urat nadi sistem pemerintahan demokrasi. Sehingga, hal inu menjadikan manusia jauh dari fitrah. Hal ini jelas bertolak belakang dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam paradigma ideologi Islam, Allah Swt. sebagai Pencipta dan Pengatur kehidupan manusia dan alam semesta menjadi sandaran utama. Tolok ukur baik dan buruk perbuatan manusia ditentukan oleh Allah. Sehingga, setiap pemimpin muslim wajib taat pada Allah dengan mengambil dan menerapkan Islam secara kaffah sebagai aturan dalam pemerintahan dan segala aspek kehidupan. Dalam sistem pemerintahan Islam, manusia tidak akan membuat hukum sendiri sebab manusia itu lemah, terbatas, dan butuh pada yang lain.
Pemimpin dalam sistem Islam akan senantiasa amanah dalam riayah syuunil ummah (memelihara urusan umat). Para pemimpin akan melaksanakan tugasnya dengan menghadirkan ruh di dalamnya, yakni kesadaran hubungannya dengan Allah. Islam agama sempurna dalam kehidupan mulai dari sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem pendidikan dan sebagainya yang semuanya berlandaskan akidah Islam. Setiap permasalahan umat, maka Islam memiliki solusi untuk menyelesaikannya.
Adapun pemilu dalam Islam tidaklah berbiaya mahal bahkan gratis. Para amil (selevel bupati), wali (selevel gubernur), dan para penguasa lainnya diangkat dan diberhentikan oleh khalifah sesuai pandangan syara’. Sementara khalifah diseleksi dan dipilih oleh qodhi mazalim sesuai syarat in’iqod, diberhentikan pun oleh qodhi mazalim. Pengangkatan dan pemberhentian khalifah tidaklah dipungut biaya sepeser pun.
Khalifah dan penguasa lainnya memiliki tugas utama untuk melayani rakyat. Beliau semua tidak digaji, hanya diberi tunjangan yang mampu memenuhi kebutuhan pokok, sekunder, dan tersier beliau, termasuk keluarga yang ada dalam tanggung jawab beliau.
Kalkulasi harta pejabat sebelum dan setelah menjabat juga akan dilakukan oleh khalifah agar meraih berkah. Apabila ada tambahan harta yang mencolok dan tak sesuai dengan kinerja ataupun penghasilan utamanya, maka tambahan harta akan diambil negara dan dimasukkan dalam baitulmal. Sebagaimana hal itu pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Khalifah akan betul-betul memperhatikan kesejahteraan dan keadilan untuk rakyat. Para khalifah justru khawatir rakyatnya sengsara dan menderita. Sebab, kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban. Sebagai contoh, Khalifah Umar memanggul gandum dan daging dari baitulmakmur (sejenis gudang sembako negara). Beliau membawanya ke rumah seorang ibu dan kedua anaknya yang sedang merebus batu. Khalifah Umar takut akan khianat atas amanah beliau. Bahkan saat itu, beliau memasakkan sendiri makanan tersebut.
Demikianlah Islam merupakan agama sekaligus ideologi kehidupan. Sumber hukum hanya berasal dari Al-Qur’an, as-sunnah, ijma’ sahabat, dan qiyas syar’i. Sehingga peluang adanya kerusakan sangatlah kecil. Sudah saatnya kaum muslim dan penguasa muslim tidak tertipu oleh slogan-slogan buatan manusia. Sudah saatnya kaum muslim menerapkan Islam kaffah agar tak berada dalam bayang-bayang slogan semu.
Wallahu a’lam.