Demontrasi Mahasiswa dan Arah Perubahan Hakiki

Oleh. N.S. Rahayu (Pengamat Sosial)

Setelah sekian lamanya mahasiswa diam atas semua ketimpangan yang terjadi di negeri tercinta Indonesia, akhirnya pada tanggal 11 April 2022, mereka menggelar aksi demonstrasi di Istana Negara, Jakarta. Mahasiswa BEM Seluruh Indonesia (SI) bergerak dengan membawa 6 tuntutan.

Ada sekitar 1.000 mahasiswa turun ke jalan dengan Koordinator Pusat BEM SI, Kaharudin. Dia mengatakan ada 6 tuntutan yang disuarakan pada aksi. Tuntutan yang pertama menuntut pak Joko Widodo (Jokowi) bersikap tegas menolak dan memberikan sikap terhadap penundaan Pemili 2024 (masa jabatan tiga periode), karena mengkhianati konstitusi (Okezone.com, 10/4/2022).

Jumat (8/4/2022), ribuan mahasiswa telah melakukan aksi di Gedung DPRD Kota Tasikmalaya. Aksi mahasiswa itu merupakan bentuk respons kepada pemerintah yang dinilai tak bisa mengatasi masalah di negeri ini (Republika.co.id, 8/4/2022).

Masih ada beberapa tuntutan lagi yang dikemukakan oleh mahasiswa, termasuk di dalamnya menyorot revisi kebijakan IKN yang menyedot dana besar, sementara kondisi masyarakat masih terpuruk ekonominya. Hal itu menunjukkan peran negara makin jauh dari pengurusan masyarakat, abai terhadap kebutuhan hidup yang penting, malah mengejar proyek IKN yang belum dibutuhkan.

Berharap Ada Perubahan

Mahasiswa menganggap persoalan di negeri ini sudah tidak lagi sejalan dengan undang-undang dan aspirasi masyarakat. Malah banyak melahirkan kebijakan proelit dan oligarki, serta mengabaikan suara-suara rakyat. Sehingga, mereka turun ke jalan, berdemontrasi menuntut perubahan menuju Indonesia lebih baik.

Angin segar yang membawa secercah harapan umat. Ini perlu kita berikan apresiasi positif akan hidupnya para agen-agen perubahan. Namun, perubahan itu haruslah perubahan berbasis idologi Islam dalam merespons persoalan sehingga bebas dari berbagai kepentingan yang melanggengkan kezaliman.

Jangan sampai semangat demonstrasi digembosi kepentingan-kepentingan politik. Bukan mustahil, demonstrasi yang hadir sebagai wujud kesadaran mahasiswa akan perannya sebagai agen perubahan. Di sisi lain, bukan tidak mungkin pula, elite partai menunggangi demonstrasi kali ini.

Poin tuntutan pertama mahasiswa adalah agar Jokowi tidak melanggar konstitusi dengan menjabat lebih dari dua periode. Karena alasan penundaan pemilu dengan alasan pandemi dan pemulihan ekonomi, dianggap tidak relewan dan sarat kepentingan kekuasaan. Oleh karenanya, dengan tegas mahasiswa menolaknya.

Meski Jokowi berulang kali mengatakan secara implisit bahwa dirinya sudah tidak mau jadi presiden lagi, kenyataannya belum keluar secara eksplisit bahwa dirinya memang menolak tiga periode. Apalagi jajaran pembantunya (menteri) malah menjadi yang terdepan dalam mewacanakan soal ini. Menteri Luhut, misalnya, tegas mengatakan bahwa dirinya memiliki big data tentang mayoritas penduduk Indonesia yang menginginkan Jokowi naik di periode selanjutnya.

Sehingga wajar, banyak pihak yang menganggap poin tuntutan ini seperti sedang diboncengi kepentingan oposisi. Bagaimanapun partai opisisi sudah mengerahkan segala upayanya untuk bisa meraih kekuasaan sehingga pemilu 2024 mutlak harus ada. Oleh sebab itu, potensi keterlibatan partai dalam aksi ini tentu besar.

Demokrasi meniscayakan campur tangan para pemilik modal dalam pemilu, karena harga kontestasi yang begitu mahal. Lahirlah politik transaksional jual beli kebijakan, serta mengantarkan makin kuatnya oligarki (kekuasaan yang di setir oleh segelintir penguasa modal). Demokrasi pula yang menjadikan pemimpin tidak bisa dan enggan menerapkan syariat Islam, sebab demokrasi lahir dari sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan dan negara).

Arah perubahan demontrasi seharusnya bukan sekaxdar tuntutan pada jumlah periode masa jabatan atau menolak penundaan pemilu. Karena berulang kali demonstrasi yang terjadi, tidak bisa membawa ke arah perubahan yang real, selama sistem demokrasi masih menjadi pijakan. Jadi, yang seharusnya ditolak adalah penerapan demokrasi yang telah jelas menjadi akar permasalahan bangsa dan bertentangan dengan Islam.

Arah Perubahan Hakiki

Sudah saatnya mahasiswa bangkit dalam pemikiran dan menyerukan perubahan yang mendasar, yaitu menolak penerapan demokrasi untuk waktu lebih lama lagi. Demokrasi hanya mengantarkan para penguasa tidak pernah memenuhi janji-janji manisnya saat kampanye. Dan meninggalkan rakyat usai kepentingannya tercapai.

“Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” (QS Al Isra: 37)

Perubahan yang mampu mengubah keadaan menjadi baik, haruslah sampai pada akar masalah sesungguhnya, yaitu penerapan demokrasi sekuler. Sekularisme sebagai penyebab agama terlempar dari kehidupan manusia dan bernegara harus dibuang beserta sistem pemerintahan yang menancapkannya, yaitu demokrasi. Mahasiswa juga harus menuntut penerapan ideologi Islam beserta sistem pemerintahannya, yaitu Khilafah. Ini karena hanya ideologi Islam satu-satunya ideologi sahih yang terbukti mampu menyejahterakan rakyatnya.

Jangan mau ditunggangi kepentingan politik yang melanggengkan sistem demokrasi. Jika hanya berganti rezim tanpa berganti sistemnya. Ibarat keluar mulut harimau dan masuk mulut buaya, sama-sama menderita.

Untuk mencapai perubahan, maka harus menyatukan shaf umat, mahasiswa bersama rakyat harus menolak demokrasi dan menggantinya dengan sistem Islam agar kehidupan kembali berkah .

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96)

Wallahu a’lam bishawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi