Oleh. Aulia Rafika Sari
Baru-baru ini,kita digaduhkan dengan kabar para koruptor yang bebas bersyarat. Sebanyak 23 mantan narapidana koruptor yang merupakan para pejabat itu bebas bersyarat karena dianggap berkelakuan baik selama menjalani masa tahanannya. Sebagai apresiasi terhadap sikap para koruptor itu, pengadilan memberikan remisi atau pengurangan masa tahanan.
ICW menyebut pemberian remisi bagi para koruptor itu semakin menunjukkan kejahatan korupsi adalah kejahatan biasa. “Ada pemberian remisi yang itu tentu dari akal sehat kita sebagai masyarakat melihat bahwa korupsi sebenarnya merupakan kejahatan yang serius, kejahatan kerah putih, kejahatan karena jabatan, itu kemudian dianggap sebagai sebuah kejahatan yang biasa,” kata Koordinator ICW Adnan Topan Husodo di kanal YouTube Populi Center (detik.com, 7/9/2022).
Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan setuju terkait wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntut para terdakwa kasus korupsi dengan pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat.
“Memang hak-hak tertentu di Pasal 35 KUHP sudah limitatif ya, tetapi Pasal 18 UU Tipikor itu bukan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 KUHP, sehingga Pasal 18 UU tipikor bisa diartikan bahwa pencabutan hak-hak tertentu yang diberikan pemerintah salah satunya hak remisi dan hak pembebasan bersyarat,” tutur Zaenur (beritasatu.com, 11/9/2022).
Publik kini tengah menyoroti soal eks napi korupsi atau koruptor yang ternyata masih bisa menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR, DPRD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Ini makin menegaskan bahwa sistem demokrasi sangat ramah terhadap koruptor dan memberi banyak kesempatan agar koruptor tetap memiliki kedudukan tinggi di mata publik.
Mantan koruptor tersebut turut diwajibkan melampirkan salinan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Tidak hanya itu, mereka diwajibkan melampirkan surat dari pemimpin redaksi media massa tingkat lokal atau nasional yang mengungkap calon dimaksud sudah terbuka dan jujur mengumumkan ke publik sebagai eks terpidana bukti pernyataan atau pengumuman yang ditayangkan di media massa lokal atau nasional,” bunyi ketentuan tersebut (beritasatu.com, 28/8/2022).
Dalam sistem Islam, kesadaran akan pentingnya ridha Sang Khaliq adalah perkara utama. Kesadaran ini pula yang membuat para pejabat bisa menjaga sikap wara’ dan menjadikannya sebagai tameng dari segala harta haram. Kesadaran adanya pengawasan Allah dalam setiap aktivitas manusia membuat para pejabat begitu berhati-hati menjalankan amanah. Kekuasaan bukanlah ladang untuk meraup harta. Sebaliknya, amanah adalah tempat untuk menuai pahala. Ini karena amanah untuk mengurus rakyat dan merealisasikan kemaslahatan bukanlah perkara mudah.
Inilah realisasi keimanan hingga jabatan dapat berbuah surga. Selain sikap wara’, para pejabat dalam sistem Islam juga tidak boleh menerima suap dan hadiah. Suap biasanya diberikan sebagai imbalan atas keputusan atau jasa terkait suatu kepentingan yang semestinya tanpa imbalan. Kalau saat ini, begitu mudah kita menemukan budaya suap dan korupsi. Jargon “Ada fulus, urusan mulus. Tidak ada fulus, urusan mampus” menandakan saking sulitnya pelayanan jika tanpa pelicin berupa imbalan. Padahal, Rasulullah saw. berkata, “Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” (HR Abu Dawud)
Tentu saja bukan perkara mustahil manusia terjebak dalam godaan setan untuk korupsi. Untuk itu, Islam memberikan sejumlah sanksi yang berefek jera sesuai hasil ijtihad Khalifah. Bisa berbentuk publikasi tindak korupsi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati sesuai pertimbangan harta yang dikorupsi. Dalam melakukan penyelidikan, khalifah melakukan penghitungan harta para pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada penambahan harta, negara akan melakukan verifikasi untuk mengetahui penambahan harta itu bersifat syar’i atau tidak. Dengan demikian, seluruh elemen negara berperan aktif dalam upaya pencegahan korupsi.
Wallahu a’lam bisawab.