Oleh. Ainun Afifah
(Kontributor MazayaPost.com)
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Salah satu diantaranya adalah hutan. Indonesia memiliki hutan terluas ketiga di dunia. Luas hutan Indonesia sekitar 99 juta hektar yang terbentang dari Indonesia bagian barat hingga bagian timur Indonesia.
Akan tetapi, nasib hutan Indonesia kian tahun kian mengenaskan. Wilayahnya makin berkurang karena laju deforestasi yang massif. Mengutip dari databoks.katadata.co.id (19/01/2024), Indonesia merupakan negara kedua di dunia yang paling banyak kehilangan hutan primer tropis (humid tropical primary forest) dalam dua dekade terakhir. Hal ini tercatat dalam laporan Global Forest Review dari World Resources Institute.
Dampak Deforestasi
Masifnya deforestasi di Indonesia karena banyaknya hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan dan area konsesi tambang atau faktor komersial lainnya. Hal ini kemudian berdampak negatif, bukan hanya terhadap kesulitan hidup rakyat tetapi juga bencana ekologis. Banyaknya peristiwa bencana, terutama bencana hidrometeorologi, sebelumnya sudah diperingatkan oleh Walhi. Lembaga ini mencatat dalam delapan tahun terakhir (2015—2021) intensitas kejadian bencana terus meningkat yang didominasi oleh bencana hidrometeorologi. Bencana hidrometeorologi terjadi karena hilangnya fungsi ekologi hutan akibat deforestasi.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 3.056 peristiwa bencana alam di Indonesia selama periode 1 Januari—3 Oktober 2023. Mayoritas bencana alam tersebut berupa banjir, yaitu 893 kejadian, diikuti cuaca ekstrem (861), karhutla (687), tanah longsor (449), kekeringan (116), gelombang pasang/abrasi (24), gempa bumi (24), serta erupsi gunung api (2). Seluruh bencana itu membuat 5,35 juta orang menderita dan mengungsi, 5.555 orang luka-luka, 204 orang meninggal dunia, dan 10 orang hilang, serta mengakibatkan 25.116 rumah mengalami kerusakan dan puluhan fasilitas umum.
AMAN juga mencatat telah terjadi 687 kasus kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat. Sektor dominan yang memicu kriminalisasi Masyarakat Adat adalah konflik kawasan hutan (42%), pertambangan (13%), perkebunan (11%), infrastruktur (10%), dan kebakaran lahan (2%). Selain itu, keanekaragaman hayati terancam dan satwa mengalami krisis tempat tinggal.
Kapitalisme Pangkal Persoalan
Pangkal persoalan deforestasi yang massif adalah keserakahan sistem kapitalisme. Demi keuntungan materi, produksi sawit digenjot tanpa batas hingga “memakan” kawasan hutan. Demi mengeksploitasi kekayaan alam berupa tambang, hutan pun dikeruk habis-habisan.
Parahnya lagi adalah pemerintah menjadi pelayan bagi korporasi, memenuhi permintaan mereka dengan mempermulus perijinan dan administratif juga membuat kebijakan yang memudahkan bisnis mereka. Hubungan pengusaha dan penguasa inilah yang melahirkan politik oligarki. Pemerintah bahkan menumbal rakyatnya demi kepentingan korporasi.
Kekayaan alam yang seharusnya milik umum dikuasai oleh segelintir korporasi, sementara rakyat tetap dikungkung nestapa kemiskinan. Bahkan, disaat bencana ekologis terjadi dalam skala yang massif, tidak ada perlindungan yang berarti bagi rakyat yang menjadi korban. Tidak ada upaya sistematis negara untuk menjawab akar persoalan bencana ekologis.
Solusi Fundamental
Begitulah penguasa dalam sistem demokrasi kapitalisme, mereka menjadi boneka yang dikendalikan oleh segelintir pemodal. Kekuasaan dalam sistem ini hanya sebatas meraup pundi-pundi materi. Pemerintah telah abai dalam menjaga hutan yang menjadi amanah kekuasaan mereka. Terlebih, penguasa justru menyerahkan hutan beserta kekayaan di dalamnya pada korporasi kapitalis.
Sangat jauh dari konsep kekuasaan dalam Islam. Kekuasaan di dalam Islam adalah untuk menjalankan syariat sesuai Al-Qur’an dan Sunah. Syariat Islam mewajibkan seorang pemimpin menjadi pelindung (junnah) dan pelayan bagi rakyatnya. Setiap kebijakan yang dibuat untuk kemaslahatan umat. Termasuk mengelola hutan yang memiliki potensi yang besar bagi rakyat.
Dalam Islam, hutan adalah kepemilikan umum yang berarti negara wajib mengelola agar terjaga kelestariannya dan tetap dapat membawa manfaat untuk umat. Islam memiliki seperangkat aturan dalam mengelola hutan tentu dalam bingkai negara yang disebut Khilafah, di antaranya:
Mengembalikan posisi hutan sesuai posisi kepemilikannya. Khilafah akan memetakan hutan yang terkategori kepemilikan umum, yaitu hutan produksi yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan dan ekonomi. Tentu dengan selalu memperhatikan kelestarian alam. Yang juga termasuk kepemilikan umum adalah hutan wisata.
Sementara hutan lindung dan suaka alam termasuk kepemilikan negara yang terlarang bagi siapa pun untuk mengambil manfaat darinya. Justru, Negara Khilafah akan melakukan upaya-upaya untuk melindungi tumbuhan, hewan, sumber air, dan ekosistem yang ada sehingga lestari.
Penambangan, baik oleh negara maupun rakyat, harus memperhatikan kelestarian lingkungan, bukan hanya optimalisasi produksi.
Pengawasan yang serius terhadap kawasan hutan. Khilafah akan mendayagunakan semua sumber daya untuk pengawasan hutan, termasuk mengerahkan alat-alat yang canggih untuk mendeteksi pembalakan liar, pembakaran hutan, dan berbagai kegiatan ilegal lainnya. Polisi hutan akan direkrut dalam jumlah yang mencukupi, fasilitas yang memadai, dan kesejahteraan yang layak sehingga bisa berfungsi optimal.
Menghukum pelaku kejahatan terkait hutan, baik pelaku pembalakan liar, pembakar hutan, pemburu satwa dilindungi, penadah, dan lain-lain. Termasuk menghukum aparat negara yang melakukan kongkalikong dengan para pelaku tindakan kriminal tersebut.
Penutup
Demikianlah kita butuh Islam yang mampu memberikan kesejahteraan bagi umat dengan menjaga dan melindungi hutan. Bukan negara ala kapitalisme seperti hari ini yang abai terhadap rakyat terlebih kelestarian lingkungan. Wallahu a’lam.