Oleh. Dhevyna Wahyu Tri Wardani
(Muslim Ideologis)
Dikutip dari KOMPAS.com (12/10/2024), Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga, kebijakan pemberian tunjangan perumahan anggota DPR periode 2024-2029 tidak memiliki perencanaan. Seira Tamara peneliti ICW mengatakan, “Total pemborosan anggaran oleh anggota DPR untuk tunjangan perumahan berkisar dari Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun dalam jangka waktu 5 tahun ke depan.
Seira Tamara juga menduga kepentingan tersebut tidak memiliki perencanaan. “Sehingga patut dituduh pemberian tunjangan ini hanya untuk memperkaya anggota DPR tanpa memikirkan kepentingan publik,” kata Seira Tamara dalam keterangan tertulis Sabtu (12/10/2024).
Apakah benar dengan adanya berbagai fasilitas dan tunjangan bagi para dewan atas dasar kepentingan rakyat? pasalnya memang tujuan awal dalam pemberian tunjangan bagi DPR ini adalah agar mempermudah kinerja DPR dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Namun, apa kabar kinerja DPR saat ini? Sudahkah optimal demi rakyat? Faktanya dengan adanya tunjangan yang tidak memakan dana sedikit tersebut. Tidak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat bahkan dengan adanya tunjangan tersebut malah menyebabkan pemborosan terhadap anggaran negara.
Dengan mudahnya, negara memberikan fasilitas yang diterima oleh para anggota dewan dengan cara mentransfer ke rekening masing-masing tanpa memperketat pengawasan terhadap pemakaian. Dana tersebut bersumber dari anggaran negara. Di dalam anggaran tersebut terdapat anggaran-anggaran milik rakyat, bukan hanya untuk kepentingan wakil rakyat saja.
Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa pemerintah hanya mementingkan fasilitas bagi wakil rakyatnnya saja daripada rakyat. Dapat dilihat faktanya, wakil rakyat dengan mudah mendapat tunjangan rumah yang terbilang mewah. Mirisnya, rakyat sekarang justru sulit memiliki rumah bahkan tidak punya rumah.
Perihal Tapera misalnya, beban iuran yang ditanggung oleh para pekerja, salah satu upaya mereka agar mereka memiliki rumah. Namun, faktanya juga hal tersebut pun dipersulit oleh pemerintah saat ini dan tidak bisa menjamin pekerja tersebut punya rumah dan para anggota dewan malah menambah sulit tekanan hidup meraka dengan adanya Keputusan Keputusan yang tidak ada kaitanya dengan kepentingan rakyat.
Kutipan jargon “Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin,” tak dapat dihindari lagi. Kata tersebut nyata adanya dalam sistem sekuler kapitalis saat ini. Gambarannya pekerja biasa seperti buruh, pedagang asongan, penjual koran. Apakah mereka mampu untuk membeli rumah?
Buruh misalnya dengan gaji UMR 2,5 sampai 3 juta rupiah per bulan. Rp2.500.000 x 12 bulan jadi Rp30.000.000. Kemudian Rp30.000.000 dikali 5 tahun menjadi Rp150.000.000. Dalam waktu 5 tahun, rakyat hanya bisa menggumpulkan Rp150 juta dari jerih payahnya. Itu pun belum dikurangi dengan biaya-biaya kebutuhan sehari-hari yang kian hari makin mencekik seperti biaya pendidikan, biaya kesehatan, biaya listrik dan air, pajak, dan lain lain. Apakah mereka perlu tidak makan 5 tahun demi mendapatkan rumah?
Apakah dengan uang Rp150 juta bisa membeli rumah yang sebanding dengan perumahan DPR? Oh, tentu tidak. Kurang lebih Rp150 juta pun itu yang didapatkan oleh para pekerja tetap seperti buruh perusahaan dalam kurun waktu kurang lebih 5 tahun. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak berpenghasilan tetap seperti pedangang kaki lima, pedagang koran, tukang becak. Mampukah mereka membeli rumah? Untuk makan saja belum mampu.
Dibandingkan dengan para DPR yang mendapatkan tunjangan rumah dinas dalam para DPR yang mendapatkan tunjangan rumah dinas dalam periode 5 tahun yang memkan anggaran negara sebesar 1.36 triliun sampai 2,06 triliun hanya untuk perumahan yang mereka dapatkan tanpa jerih payah apapun . perbandingan yang miris dan ironis. Inikah yang disebut sejahtera?
Disebutkan juga dalam BBC.com (05/10/2024), pemberian tunjangan perumahan kepada anggota DPR yang baru mencapai 50 juta untuk satu orang perbulannya. Dalam sistem sekuler kapitalis hal ini wajar terjadi sebeb keuntungan adalah tujuan dasar mereka, dan karna sistem yang memisahkan agama dari kehidupan inilah yang menyeybabkan mereka tidak memahami akan hal kemashlahatan umat.
Berbeda dalam sistem Islam kekhilafahan. Di dalam Islam, hal macam ini tak akan mungkin terjadi sebab di dalam Islam kekuasaan tidak akan dipisahkan dari aturan Allah. Majelis ummah di dalam Islam berbeda dengan sistem demokrasi dalam hal fungsi dan perannya.
Majelis ummah di dalam sistem kekhilafahan adalah orang-orang yang mewakili kaum muslim dalam menyampaikan pendapat, sebagai bahan pertimbangan bagi khalifah. Anggota majelis ummat harus benar benar mewakili umat yang menggunakan dasar iman dan memikirkan bagaimana cara agar wewenangnya tersebut memberikan kebaikan baginya dan bagi rakyat yang tidak berakhir pada penyesalan didunia atau bahkan di akhirat.
Dalam Islam, wewenang bukan hanya duduk dalam tahta kekuasaan semata namun, bagaimana kekuasaan itu digunakan dalam menjaga, menerapakan, dan mendakwahkan islam serta tanggung jawabnya daam mengurusi rakyat dengan hukum Islam. Karena segala amanah akan dipertanggung jawabkan di akhirat.
Menjaga amanah adalah suatu hal yang penting, salah satunya adalah amanah menjadi wakil rakyat. Al-Qur’an menegaskan firman-Nya, “Hai orang orang yang beriman janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, juga janganlah kalian mengkhianati amanah yang dipercayakan kepada kalian sedang kalian tahu.” (QS. Al-Anfal: 27)
Apalagi di dalam Islam, harta dan kepemilikan juga diatur, tidak seperti sistem kapitalis yang berorientasi pada keuntungan sehingga hanya menguntungkan segelintir orang, padahal harta tersebut adalah kepemilikan publik atau rakyat, berbeda dengan Islam yang berorientasi kepada akhirat. Maka jelas bahwa hanya dengan diterapkannya sistem Islam, mampu mendatangakan kebaikan, kesejahteraan, keadilan, dan keberkahan di muka bumi ini.Wallahualam bisawab.