Buat Apa Pertandingan, Jika Kekalahan Memicu Kericuhan?

Oleh. Lilik Yani
(Muslimah Peduli Peradaban)

Jika kekalahan membuat kemarahan, permusuhan, bahkan menghilangkan nyawa yang sangat berharga, lantas untuk apa diadakan pertandingan? Apalagi pertandingan olahraga yang harusnya bertujuan meraih kesehatan jiwa raga. Menjunjung keadilan, kejujuran, dan lapang dada. Jika fakta terjadi sebaliknya, sikap terbaik apa yang harus dilakukan?

Dilansir dari kompas.com, Persebaya Surabaya turut berdukacita atas kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, yang menewaskan 127 orang. Kerusuhan itu terjadi usai pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya pada pekan ke-11 Liga 1 2022-2023, Sabtu (1/10/2022) malam WIB.

Adanya Bibit Kebencian Sejak Awal

Meski sudah ada bibit permusuhan antara kedua kubu, tetapi akhirnya tetaplah bertemu antara Arema FC dan Persebaya Surabaya. Hingga suasana tak mendukung untuk bisa aman dan nyaman dalam menikmati pertandingan.

Suporter Persebaya tidak boleh datang memberi dukungan pemain andalannya. Jika ketahuan ada yang berani nekat masuk, bisa habis dihajar massa. Sebegitunya kebencian pada lawan. Jadilah pertandingan seolah milik tuan rumah. Semua suporter yang hadir hanyalah pendukung Arema FC.

Seharusnya aman jika semua suporter hanya milik tuan rumah. Mereka euforia bersama karena tak ada musuh suporter lawan. Meski begitu, kebencian pada pemain masih menggigit. Buktinya pemain masuk lapangan harus dikawal naik kendaraan yang aman. Mengapa harus demikian?

Jika dengan pemain juga ada kebencian, mengapa harus diadakan pertandingan? Jika mau dianggap pemenang maka pertandingan harus diadakan sesuai aturan. Menjunjung kejujuran, sportif di segala bidang. Mana ada pemenang jika tak ada pertandingan?

Sungguh, ada kejanggalan jika ingin jadi pemenang, tapi tak mau bertanding. Atau bertanding, tapi dilarang membawa suporter atau pemain tak boleh masuk di lapangan pertandingan. Apakah mau disebut pemenang tanpa lawan?

Ketika bertanding, haruslah ditegakkan asas sportivitas oleh semua yang berkecimpung di dalamnya. Wasit yang mengatur pertandingan harus adil. Pemain harus bermain cantik, tidak saling menjatuhkan. Penonton harus sportif tak boleh emosi dan menonjolkan egoisme, menganggap team yang didukung paling baik dan harus dimenangkan.

Sebuah ketidakadilan jika sampai melarang suporter lawan untuk hadir mendukung. Namun, kenyataan demikian. Bagaimana hasilnya? Meski secara mental seharusnya Arema FC menang karena mendapat dukungan luar biasa. Ternyata yang terjadi, Arema FC kalah dengan skor 2-3. Ini menjadi kali pertama Persebaya Surabaya memenangkan pertandingan atas Arema FC di kandang Singo Edan setelah berjalan 23 tahun.

Kekalahan itulah yang menyulut amarah suporter yang hadir di Stadion Kanjuruhan, Malang untuk berhamburan turun ke arena lapangan. Berdasarkan laporan jurnalis kompas.com, para suporter Arema FC tak henti mengungkapkan rasa kecewa sejak tim kesayangannya tertinggal hingga dipastikan menelan kekalahan.

Suasana penuh kecewa itu kemudian memuncak setelah peluit panjang dibunyikan. Tak lama setelah para pemain masuk ke ruang ganti, sejumlah oknum suporter yang hadir di Stadion Kanjuruhan, Malang, berhamburan turun ke area lapangan.

Penembakan Gas Air Mata Menyalahi Prosedur

Kerusuhan tak terelakkan hingga gerombolan suporter Arema FC mendapat peringatan gas air mata oleh aparat keamanan. Masalahnya, tembakan gas air mata tidak hanya diarahkan di lapangan untuk mengurai massa, tetapi juga ditembakkan ke arah sejumlah tribun di Stadion Kanjuruhan.

Tembakan gas air mata inilah yang diduga kuat menjadi pemicu tewasnya ratusan orang pada tragedi tersebut. Hal tersebut sempat memancing perdebatan tentang aturan resmi FIFA sebagai Federasi Sepak Bola Internasional mengenai penggunaan gas air mata di dalam stadion.

Merujuk kepada pasal 19 poin B dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations, pemakaian gas air mata di dalam stadion untuk mengontrol massa adalah sesuatu yang dilarang. “No firearms or ‘crowd control gas’ shall be carried or used (senjata api atau ‘gas pengendali massa’ tidak boleh dibawa atau digunakan),” demikian bunyi aturan tersebut (kompas.com, 3/10/2022).

Aturan FIFA tersebut menegaskan bahwa gas air mata yang dibawa oleh aparat saat pertandingan telah menyalahi prosedur apalagi sampai ditembakkan dalam tribun di stadion. Semestinya sejak awal kepolisian tidak membekali anggotanya dengan gas air mata. Penembakan gas air mata dengan alasan sudah sesuai prosedur pun tidak bisa diterima. Sebab, penanganan orang-orang yang sedang mengadakan demo tidak bisa disamakan dengan penanganan orang-orang yang berada dalam stadion. Artinya, sejak awal ada niat dari kepolisian untuk mengesampingkan aturan dari FIFA yang melarang penggunaan gas air mata dalam konteks melakukan keamanan dalam gelaran pertandingan sepak bola.

Kemungkinan ini dilakukan atas ketidakpahaman aparat terhadap aturan FIFA atau kelalaian. Sampai saat ini, belum ada konfirmasi dari aparat kepolisian terkait alasan membekali anggotanya dengan gas air mata dalam mengawal pertandingan sepak bola di stadion Kanjuruhan.

Bagaimana Islam Menyikapi Tragedi yang Menimbulkan Banyak Korban itu?

Jika pemimpin sistem sekuler berkomitmen menegakkan HAM, tetapi justru dinodai oleh perilaku rezim sendiri yang represif terhadap masyarakat. Berdalih menjaga keamanan masyarakat, ternyata merebut hak hidup rakyat.

Hal ini disebabkan karena sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Rakyat hanyalah dibutuhkan suaranya dalam pemilu. Setelah terpilih maka rakyat diabaikan. Janji-janji tak dipenuhi. Rakyat hidup dalam kondisi terzalimi.

Berbeda dengan sistem Islam yang mengutamakan kesejahteraan umat. Pemimpin Islam akan meriayah umatnya semaksimal mungkin. Syariat Islam diterapkan salah satunya untuk menjaga jiwa manusia.

Menurut Islam, jangankan membunuh, menimpakan bahaya dan kesusahan pada sesama manusia saja diharamkan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Siapa saja yang membahayakan orang lain, Allah akan menimpakan bahaya kepada dirinya. Siapa saja yang menyusahkan (menyulitkan) orang lain, Allah akan menimpakan kesusahan (kesulitan) pada dirinya.” (HR Al-Hakim)

Hadis ini berlaku umum, apakah menimpakan bahaya kecil atau besar, mengancam jiwa ataukah tidak, semua diharamkan Allah Swt. Apalagi jika pelakunya adalah penguasa yang menimpakan kerusakan dan bahaya bagi masyarakat.

Islam dengan seperangkat aturan lengkapnya akan menjalankan mekanisme untuk mencegah penyimpangan kekuasaan penguasa. Hal ini tidak dimiliki oleh sistem sekuler yang berlaku sekarang.

Pemimpin Islam akan dibaiat atas dasar kerelaan dan pilihan umat. Ini adalah langkah awal untuk mencegah naiknya penguasa zalim yang akan menyengsarakan umat.

Negara wajib membangun kesadaran politik pada masyarakat. Sebab, lemahnya kesadaran politik masyarakat akan memperbesar potensi terjadinya penyimpangan oleh penguasa. Adanya partai politik yang sibuk membina umat dan mengoreksi penguasa jika ada kesalahan penerapan atau kebijakan dalam memimpin.

Jika terjadi pelanggaran penerapan, ada mahkamah mazhalim yang akan menengahi perselisihan antara rakyat dan penguasa secara adil dan sesuai aturan yang berlaku. Demikianlah penjagaan Islam agar pemimpin tidak sewenang-wenang atau bersikap zalim pada rakyat yang seharusnya diayomi agar hidup sejahtera dan aman.

Untuk itulah, seharusnya urusan pertandingan sepak bola yang seyogianya difungsikan untuk olahraga, menyehatkan jiwa raga, tidak akan terpicu dengan kerusuhan atau perselisihan. Bukankah menang kalah adalah hal biasa dalam pertandingan? Mengapa harus terjadi kemarahan ketika klub idaman yang didukungnya kalah? Sebaliknya, apakah akan mendapat bagian hadiah jika mengalami kemenangan. Semua hanyalah karena fanatisme belaka.

Tragedi kerusuhan yang mengakibatkan hilangnya ratusan nyawa, tidak akan terjadi ketika fanatisme tidak mengakar dalam jiwa dan aparat menjalankan tugas sesuai aturan yang ditetapkan. Berharap tragedi memilukan ini tidak terulang lagi di pertandingan apa pun, maka perlu adanya kesadaran semua pihak bahwa kalah menang dalam pertandingan adalah hal biasa. Tanpa perlu ada fanatisme kelompok karena semua masyarakat berhak menikmati permainan. Itulah sikap terbaik muslim yang memiliki kesadaran menerapkan aturan Allah di setiap aktivitas kehidupan.

Wallahu a’lam.

Surabaya, 8 Oktober 2022

Dibaca

 75 total views,  2 views today

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi