Amerika selalu penuh kontroversi. Negara kapital yang menjunjung hak asasi manusia (HAM) telah banyak menghilangkan nyawa. Sangat sering terjadi penembakan di AS, bahkan penembakan massal seperti yang terjadi baru-baru ini. Kabat duka itu datang dari Buffalo, AS.
Ada seorang pemuda kulit putih berusia 18 tahun yang nekat melakukan aksi penembakan massal. Pemuda tersebut menembak mati 10 orang dari total 13 korban yang sedang berbelanja pada Sabtu petang waktu setempat. Berita yang lebih memilukan, bahwasanya pemuda itu menggunakan helm dan perlengkapan taktis yang dilengkapi kamera. Dengan kamera itulah, ia melakukan live streaming aksi brutalnya (15/5).
AS, sang negara kapital menjadi tempat paling nyaman bagi penembak massal. Antirasisme yang dielu-elukan nyatanya hanyalah di bibir saja. Warga AS masih cenderung rasis dan bar-bar terhadap siapa pun yang dianggap berbeda. Seakan khusumat menjalar dan terus tumbuh dari generasi ke generasi. Adanya indikasi rasis muncul karena ditemukan korban berkulit hitam dan si pelaku merapalkan lontaran rasis selama penembakan. Kebrutalan dalam penembakan massal tersebut diduga karena rasisme.
Pemuda yang seharusnya melakukan sebuah hal positif untuk perubahan, justru tersulut dendam perbedaan di negera kapital yang menjunjung kebebasan. Meski presiden AS telah melakukan belasungkawa, nyawa korban penembakan massal tak lantas kembali seperti sedia kala. Belum tentu juga, aksi penembakan dan pembunuhan lainnya akan hilang dengan adanya belasungkawa sang presiden.
Segala tindak kriminal justru tumbuh subur saat aturan berasal dari manusia yang penuh alpa dan cela. Amerika sebagai negara adidaya tampil dengan arogansi dan kesombongan menerapkan aturan kapitalisme di negaranya. Bahkan, AS menyebarkan ideologi kapitalisme yang rusak dan merusak ke seluruh dunia. Justru hal itu yang membuat kerusakan tiada berkesudahan. Saatnya manusia sadar akan hakikat hidupnya agar tak memandang sebelah mata kepada siapa pun yang berbeda ras dan agama.
Afiyah Rasyad