Oleh. Lilis Yunita Sari
(Aktivis Dakwah)
Budaya demonstrasi telah mewabah dari level atas hingga bawah. Makin hari, makin memilukan. Alih-alih menyampaikan aspirasi tanpa kerusuhan, nyatanya jauh dari aturan. Para demonstran tak lagi nampak menyampaikan aspirasi dengan tenang, melainkan dengan cara menyerang.
Fenomena beberapa hari yang lalu, menyebar berita gambaran mirisnya akhlak generasi, yang bertepatan di kota Pamekasan, Madura. Aksi demonstrasi dilakukan oleh massa yang berjumlah kisaran ratusan, tergabung dari berbagai daerah di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Aksi ini terjadi lantaran mereka menolak kedatangan Ustadz Hanan Attaki untuk mengisi acara pengajian di Masjid Muttaqin, Desa Laden, Kecamatan Pamekasan (Kanalindonesia.com, 12/02/2023).
Acara pengajian Ustadz Hanan Attaki yang tidak dihendaki oleh massa, tetap berlangsung dan disiarkan secara live streaming di salah satu channel Youtube. Untuk mengantisipasi kefatalan keributan yang tidak diinginkan, petugas gabungan yang terdiri dari unsur TNI-Polri tampak memperketat keamanan agar situasi dan kondisi lokasi kembali kondusif. Karena para demonstran, terlibat aksi saling dorong dengan pihak keamanan kepolisian Mapolres Pamekasan (Kanalindonesia.com, 12/02/2023).
Melihat kejadian ini, sungguh sangat mengiris hati. Tampak jelas amoral masyarakat hari ini. Mereka menolak perbedaan yang ada, dan cenderung hanya membenarkan golongan mereka (fanatisme golongan). Hal inilah yang kemudian mengakibatkan perpecahan sesama saudara. Selain itu, akhlak tidak tampak lagi pada diri masyarakat dalam menghadapi segala perbedaan yang ada. Mereka cenderung menggunakan otot dari pada otak.
Kehidupan hari ini menunjukkan bahwa akidah masyarakat atau generasi sangat jauh dari ajaran-ajaran Islam. Di mana pemahaman terhadap syariat Allah, berupa hablum minannas (hubungan kepada manusia), nihil. Yang pada akhirnya, menyebabkan kepribadian masyarakat bertentangan dengan apa yang diajarkan dalam Islam.
Hal ini tidak mengherankan dalam sebuah negara yang berideologi kapitalis dengan asas sekuler. Karena, masyarakat dengan sengaja dijauhkan dari ajaran Islam dan syariat-Nya. Masyarakat tidak kenal dengan hakikat kebenaran agamanya, dan mereka hanya disibukkan dengan apa-apa yang membawa manfaat pada dirinya. Termasuk dalam memasuki sebuah organisasi/golongan. Yang dicari hanya keuntungan, termasuk kekuasaan.
Padahal, di dalam Islam, perbedaan merupakan sebuah keniscayaan. Bukan sesuatu yang tercela. Perbedaan yang ada selama bukan dalam ranah aqidah, maka sah-sah saja. Termasuk perbedaan dalam perkara kelompok/jama’ah. Yang terpenting, jama’ah tersebut berjalan atas dasar yang shohih, yakni Islam.
Rasulullah, sebagai teladan terbaik umat manusia sudah seharusnya menjadi panutan. Meneladani adalah bagian dari ketaatan. Selain memiliki akhlak mulia, banyak aspek kehidupan beliau yang bisa dijadikan cermin. Termasuk dalam ranah menyikapi perbedaan yang ada. Rasulullah tidak pernah mencela sahabat ketika mereka ada perbedaan pendapat, selama tidak mengotori aqidah, maka pasti hal itu merupakan sebuah kebolehan.
Ashobiyah/fanatik merupakan pemahaman yang tidak dibenarkan di dalam Islam. Karena pemahaman seperti ini akan memecah belah ummat. Setiap kelompok/jama’ah selama berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah maka tidak layak diperangi. Dan negara wajib menjaga keberlangsungan jama’ah ini.
Negara yang berasaskan Islam, tentu senantiasa menjaga kerukunan warga daulah yang ada di dalamnya. Khalifah dalam Daulah Islam tidak akan membiarkan umat terpecah belah hanya karena perbedaan pergerakan yang mereka yakini kebenarannya. Maka satu-satunya solusi hanya ada dalam Daulah Islam, khalifah yang bisa menerapkan aturan Islam secara kaffah.