Biaya Haji Naik, Rakyat Kian Tercekik

Oleh. Nur Syamsiah Tahir
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi AMK)

Naik-naik ke puncak gunung
Tinggi sungguh tinggi sekali
Kini biaya haji kian melambung
Hati kami kian menjadi tersakiti

Sebait pantun di atas kiranya bisa mewakili kondisi masyarakat di negeri ini. Apa pasal? Pasalnya adalah saat pemerintah Arab Saudi memberikan kuota yang banyak untuk jemaah haji Indonesia dan telah menurunkan biaya asuransinya, justru pemerintah RI melalui Menteri Agama mengusulkan kenaikan biaya penyelenggaraan ibadah haji 2023.

Dilansir oleh CNN.Indonesia pada Jum’at (20/1/2023), Pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) yang harus dibayarkan oleh calon jemaah haji jadi sebesar Rp69.000.000, 00.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR di Kompleks MPR/DPR, Senayan Jakarta, Kamis (19/1), menyampaikan bahwa tahun ini pemerintah mengusulkan rata-rata BPIH per jemaah sebesar Rp98.893.909,00. Artinya ini naik sekitar Rp514.000,00 dengan komposisi Bipih Rp69.193.733, 00 dan nilai manfaat sebesar Rp29.700.175 juta atau 30 persen.

Ini berarti biaya haji tahun 2023 melonjak hampir dua kali lipat dari tahun lalu. Saat itu, biaya haji hanya sebesar Rp39,8 juta. Ongkos ini juga lebih tinggi dibandingkan tahun 2018 sampai tahun 2020 lalu yang ditetapkan hanya Rp35.000.000,00.

Kebijakan ini diambil dengan alasan untuk menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan, tegas Yaqut. Padahal, sebelumnya Indonesia telah menerima kuota haji 2023 sebesar 221 ribu. Adapun rinciannya adalah jemaah haji reguler sebanyak 203.320 orang yang terdiri dari jemaah reguler murni 201.527 orang. Sedangkan, pendamping haji daerah sebanyak 1.543 dan 250 pembimbing.

Kebijakan atas kenaikan biaya haji ini tentu menimbulkan pertanyaan. Bagaimana komitmen negara dalam memudahkan ibadah rakyatnya yang mayoritas muslim. Apalagi di tengah kesulitan ekonomi, negara seharusnya memfasilitasi rakyat agar lebih mudah beribadah bukan menaikkan dan mempersulit. Kenaikan biaya ini justru membuat rakyat tercekik. Kenaikan ini juga memunculkan dugaan adanya aroma kapitalisasi dalam ibadah. Pemangku kebijakan mencari celah bagi keuntungan dari pembiayaan haji rakyat.

Kenyataan ini pun wajar terjadi di negeri ini karena sebagai pengemban kapitalis sekuler pasti akan mengekor pada induk semangnya. Akhirnya, pemangku kebijakan di negeri ini akan melakukan apa pun asal mendatangkan manfaat. Sebaliknya akan meninggalkan jika menimbulkan kerugian, tanpa mempertimbangkan apakah kebijakan itu memudahkan bagi rakyat yang dipimpinnya ataukah sebaliknya. Sudut pandangnya hanyalah keuntungan semata.

Dengan kebijakan tersebut, dipastikan rakyat kian tercekik. Belum lagi mereka harus bersabar dalam antrean panjang sampai puluhan tahun. Ketika tiba gilirannya, usia pun tak lagi memenuhi syarat bagi keberangkatan atau bahkan mundur karena uzur. Astaghfirullah Al Adhiim. Inilah akibat yang dilahirkan dari kebijakan ala kapitalis sekuler.

Padahal sejatinya, ibadah haji memiliki makna politis dan syiar agama. Pada saat kaum muslim berkumpul untuk wukuf di Arafah. Fakta itu menunjukkan bahwa kaum muslimin di seluruh dunia berada dalam satu ikatan yaitu akidah Islam. Merujuk pada kitab suci yang sama yaitu Al-Qur’an dan kiblat yang sama yaitu baitullah. Tidak ada perbedaan kelas dan strata. Tidak ada perbedaan warna kulit, ras, dan suku. Mereka menyerukan seruan yang sama yaitu kalimat thayyibah. Kaum muslim berkumpul di satu tempat untuk melakukan ibadah yang sama dan ini menunjukkan kehebatan Islam dalam menyatukan pemeluknya.

Oleh karena itu, sistem Islam akan mempermudah rakyat dalam menjalankan ibadah haji. Negara juga akan memberikan fasilitas terbaik untuk para tamu Allah. Itu semua dilakukan karena ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Untuk itu, perbaikan fasilitas, sarana, dan prasarana terus dilakukan, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw., masa Khulafaur Rasyidin, hingga masa kejayaan Islam dulu.

Upaya untuk memberikan kenyamanan para jemaah haji terus ditingkatkan oleh para penguasa Islam, seperti yang dilakukan oleh Harun Ar-Rasyid dari Dinasti Abbasiyah. Beliau adalah patron terbesar bagi para ulama, termasuk di Masjid al-Haram. Zubaydah binti Ja’far, istri beliau membangun infrastruktur untuk para jemaah haji.

Di antaranya, membangun jalan sepanjang 900 mil dari Kufah hingga Makkah yang disebut Darb Zubaydah (Jalan Zubaydah). Jalan ini dibangun pada 780 M dan menjadi rute paling awal yang dibuat khusus untuk para peziarah. Kemudian, menambahkan sembilan tempat pemberhentian pada jarak-jarak tertentu. Ini dilakukan karena kepedulian yang besar terhadap para jemaah miskin yang menempuh perjalanan haji dengan berjalan kaki. Totalnya, ada 54 tempat pemberhentian untuk beristirahat. Tempat pemberhentian itu dilengkapi kolam (sumber air), tempat berteduh, dan kadang-kadang sebuah masjid kecil.

Zubaydah juga membangun serangkaian sumur dan saluran air sepanjang rute haji dari Lembah Nu’man ke Makkah. Sumur ‘Ayn Zubaydah ini dibangun dengan perkiraan biaya 54 juta dirham. Hal ini dilakukan karena saat itu ia menyaksikan nasib para peziarah miskin yang harus membayar satu dirham untuk sebotol air kecil.

Demikian selanjutnya, perbaikan dan pembenahan dilakukan oleh penguasa Islam. Apalagi saat kekuasaan Islam demikian meluas, para peziarah pun semakin bertambah. Para jamaah berkumpul di ibukota Suriah, Mesir, dan Irak untuk pergi ke Makkah dalam sebuah kelompok atau karavan yang terdiri dari puluhan ribu jemaah.

Penguasa Islam terus melakukan perbaikan dalam penanganan urusan haji, sehingga para jemaah bisa melaksanakan dengan penuh kenyamanan, khusyuk, dan tenang. Kalau pun dibutuhkan biaya dalam hal administrasi, akomodasi dan transportasi maka tidak akan serumit dan semahal saat ini. Karena manajemen dalam Islam itu harus memenuhi tiga hal, yaitu:
Pertama, kesederhanaan aturan, artinya dengan aturan yang sederhana akan memberikan kemudahan dan kepraktisan. Kedua, kecepatan dalam pelayanan transaksi, dengan begitu akan mempermudah orang yang memiliki keperluan. Ketiga, pekerjaan itu ditangani oleh orang yang mampu dan profesional.

Dengan manajemen seperti ini, tidak akan ada rakyat yang terhambat bahkan tercekik karena masalah pembiayaan dan rumitnya administrasi. Alhasil, hanya dengan sistem Islamlah permasalahan haji akan terselesaikan dengan tuntas. Jadi, tunggu apa lagi? Yuk, kita berjuang untuk melanjutkan kehidupan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sistem Islam.

Wallahu a’lam bissawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi