Banjir Impor Menjelang Lebaran, Akankah Jadi Solusi?

Oleh. Ari Rismawati
(Aktivis Muslimah Purwakarta)

Impor barang-barang konsumsi melonjak menjelang masa Ramadan dan Idulfitri 2024. Kenaikannya terjadi secara bulanan atau month to month (MTM) maupun tahunan atau Year on Year (YOY).

Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, Nilai Impor barang konsumsi per February 2024 sebesar US$ 1,86 miliar atau naik 5,11% di banding januari 2023. Sedangkan di banding Februari 2024 yang senilai US$1,36 miliar naik 36,49%. Secara bulanan nilai impor barang konsumsi naik US$ 90,5 juta atau naik 5,11%, kata Amelia saat konferensi pers di kantornya (CBNC Indonesia, 15/3/2024).

Melihat fakta Impor barang konsumsi di negeri yang subur akan sumber daya alam tentu bukanlah hal biasa. Jika kita memperhatikan kondisi tersebut pasti ada sesuatu hal yang salah dalam sistem yang di terapkan di dalamnya.

Kebijakan penambahan impor barang konsumsi yang di lakukan pemerintah adalah Respon Inflasi yang terjadi, Memasuki bulan Ramadhan bahkan dari beberapa bulan sebelumnya. Hampir seluruh harga komoditas pangan seperti beras, gula konsumsi, daging, telur, ayam, bawang merah, bawang putih, naik tajam. Misal harga beras yang melonjak tajam dalam dua bulan terakhir masih bertahan pada harga yang tinggi sepanjang awal Maret tahun ini.

Kondisi ini tentu tidak menggembirakan banyak masyarakat yang sangat sensitive terhadap kenaikan harga barang konsumsi, kenaikan harga-harga tersebut tidak didukung oleh peningkatan dari sisi pendapatan masyarakat. Nilai tukar petani, indikator yang membandingkan pendapatan dan pengeluaran petani, hanya surplus 2,3 persen pada bulan Februari. Padahal harga beras eceran naik 5,3 persen, artinya kenaikan tersebut tidak banyak yang mereka nikmati.

Dari sini penguasa berupaya menurunkan harga barang yang naik dengan cara menambah jumlah impor barang konsumsi. Namun, hal ini bukanlah solusi konkret untuk masyarakat. Nyatanya masyarakat masih merasakan harga kebutuhan yang mahal di pasaran yang tidak sesuai dengan pendapatan.

Kebijakan impor yang di lakukan malah memberikan keuntungan yang besar bagi para pengusaha dari berbagai impor pangan tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2018 lalu, menurut keterangan menteri pertanian kala itu, mafia bawang putih bisa mendapatkan keuntungan Rp19 triliun per tahun. Sementara pada tahun 2021, menurut perhitunga ekonom Drajad Wibowo, keuntungan impor beras tahun itu mencapai sekitar Rp5 triliun. Kongkalikong tersebut membuat konsumen harus membayar harga yang lebih mahal.

Di sisi lain, nasib petani domestik terus dianaktirikan. Biaya produksi terus meningkat akibat harga BBM yang mahal, pupuk yang langka dan mahal, serta fasilitas yang tidak mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah sehingga banyak juga di antara mereka mengalihfungsikan lahan pertanian yang mereka miliki, dan menjualnya kepada para pengusaha property dan pengusaha-pengusaha besar yang mengalihfungsikan lahan pertanian tersebut dengan hal lain.

Butuh solusi dari segala kebijakan yang hampir selalu mengutungkan oligarki. Harus ada Langkah konkret untuk mewujudkan ketahanan pangan, di antaranya:

Pertama, ekstensifikasi lahan dengan membuka lahan baru dan menghidupkan lahan mati.

Kedua, intensifikasi pertanian dengan metode pertanian terbaru.

Ketiga optimalisasi produk dengan penggunaan benih terbaik, alat pertanian tercanggih dan tentu pupuk yang baik dan memadai, serta sarana pertanian yang terbaik.

Keempat, membangun infrastruktur untuk mendukung pertanian, misalnya terkait dengan penyediaan air untuk irigasi yang berguna untuk pertanian.

Kelima, memberi bantuan bagi para petani baik berupa lahan, benih, alat produksi, edukasi teknik pertanian, dan ini hal yang sangat penting untuk di lakukan.

Keenam, melarang dan mencegah adanya intervensi asing dalam pengaturan pangan dalam negeri.

Langkah-langkah ini hanya bisa terwujud jika negara bertindak sebagai pelayan rakyat, pelindung, dan penjaga mereka sebagaimana diamanahkan Allah Swt. untuk menerapkan sistem Islam, bukan yang lain. Wallahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi