Balada Sepakbola Seharga Seratus Lebih Nyawa

Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Ummat)

Duhai, awal Oktober penuh duka. Lebih dari seratus suporter Aremania meregang nyawa di stadion sepakbola. Memang bukan kali ini saja kerusuhan menyapa, tetapi seratus lebih nyawa telah tiada. Miris, betapa harga bola seharga seratus lebih nyawa.

Bolamania Berduka

Dunia sepak bola Indonesia kembali berduka. Duka yang begitu mendalam dan menggemparkan dunia. Dikutip dari detik.com, data per Minggu (2/10/2022) pagi, setidaknya 130 orang tewas dan 180 lainnya mengalami luka-luka dalam tragedi yang merupakan kericuhan terbesar di Stadion Kanjuruhan sejak tahun 2005, ketika Arema mengalahkan Persija Jakarta. Banyak tokoh, praktisi, klub sepakbola, baik klub dalam negeri maupun luar negeri, bahkan masyarakat umum turut menyampaikan bela sungkawa.

Tragedi Kanjuruhan ini semakin menambah potret buram fanatisme sebuah perkumpulan. Selain itu, arogansi aparat semakim terpampang nyata ketika menangani sebuah peristiwa kelalain salah satu pihak. Euforia sepakbola biasanya cenderung mendorong suporter membabi buta dalam mendukung idolanya. Bolamania kini tengah berduka.

Spekulasi Tragedi Kanjuruhan, antara Fanatisme Kebablasan dan Kecerobohan Aparat Keamanan

Seratus tiga puluh orang berdasarkan data yang dikansir detik.com (2/10/2022) bukanlah jumlah yang sedikit. Apabila ditelaah lebih dalam, kerusuhan yang terjadi merupakan kerusuhan internal. Pasalnya, suporter pihak lawan tidak diizinkan hadir untuk menyaksikan klub tuan rumah. Fanatisme suporter seringkali menyeret mereka pada tindakan anarkis dan berbagai energi negatif lainnya dalam menghadapi keadaan buruk, misal kekalahan.

Fanatisme kerap menjadi ajang eksistensi diri dengan keberanian yang kebablasan. Bahkan, terkadang suporter akan berani melampiaskan kekecewaan saat idolanya kalah pada sang bintang lapangan itu sendiri karena merasa dirugikan dari segi wakgu dan biaya (tiket ataupun transportasi). Lebih parahnya lagi, jika suporter itu terseret pada gelombang taruhan.

Tragedi kelam Kanjuruhan juga kian menampakkan kecerobohan aparat keamanan. Berbagai video beredar di grup aplikasi bergambar telpon hijau. Video tersebut menampakkan aparat berseragam menembakkan gas air mata pada para penonton tanpa berpikir panjang. Mereka tidak melihat bahwasanya penonton itu tidak semua laki-laki yang sudah dewasa. Suporter yang hadir terdiri dari laki-laki dan perempuan, muda dan tua, bahkan anak-anak dan balita.

Serangan gas air mata tentu saja mengomando siapa pun yang di sana untuk segera keluar. Nahasnya, tidak semua pintu terbuka. Walhasil, banyak di antara korban yang tergencet, terinjak, sesak napas, terdorong, dan lain-lain. Padahal, secara aturan, gas air mata dan senjata api tidak diperkenankan dalam kompetisi sepakbola.

Bahkan, dalam video yang beredar, ada aparat berseragam yang menendang penuh arogan pada suporter di area lapangan. Tampak sangat tidak manusiawi. Betapa mirisnya jika hal itu benar-benar terjadi. Ke mana empati aparat keamanan yang harusnya melindungi dan mengayomi?

Islam Menghargai Waktu dan Nyawa

Masyhur bahwasanya Islam sangat menghargai satu nyawa kaum muslim. Rasulullah saw. bersabda:

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan Al-Albani)

Permusuhan sesama muslim, seperti apa pun bentuknya tidak diperbolehkan. Terlebih ashobiah atau fanatisme. Islam mengharamkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

“Bukan dari golongan kami siapa saja yang menyerukan ‘ashabiyyah (fanatisme golongan). Bukan dari golongan kami siapa saja yang berperang atas dasar ‘ashabiyyah. Bukan dari golongan kami siapa saja yang mati di atas ‘ashabiyyah.” (HR Abu Dawud)

Betapa mirisnya jika kemudian ada baku hantam antara aparat keamanan dan suporter. Apalagi sampai menghadirkan korban nyawa. Betapa harga bola seharha seratus nyawa lebih ini kelak akan besar pertanggungjawabannya di hadapan Allah. Seharusnya negara mengevaluasi olahraga semacam sepakbola, jangan sampai emndatangkan kericuhan apalagi korban jiwa. Negara dalam Islam akan didorong untuk melindungi tiap warganya meski melakukan aktivitas mubah, yakni olahraga. Negara akan mengedukasi terkait visi misi olahraga dengan menyadarkan tiap rakyat akan ruh (kesadaran hubungan dengan Allah) dalam setiap aktivitasnya.

Negara yang menerapkan syariat Islam akan menjaga suasana keimanan sehingga rakyat akan menjauhi aktivitas kesia-siaan. Sebagaimana sabda Nabi saw.:

“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR At-Tirmidzi)

Turnamen dalam Islam tidak ada unsur fanatisme karena akan membawa pada kerugian. Negara akan membuat mekanisme turnamen tetap dalam koridor syar’i, misal kriteria penonton harus terpisah total, waktu pelaksanaan tidaklah malam, tengah malam, atau dini hari, seragam olahraga harus menutup aurat, memperhatikan waktu salat, dll.

Aparat keamanan akan terus memberikan edukasi dan mengadakan sosialisasi secara berkala agar rakyat menjaga sportivitas dan patuh protokol olahraga. Dengan demikian, stabilitas keamanan olahraha akan tetap terjaga. Fasilitas keamanan benar-benar diwujudkan oleh negara sebagai pemelihata urusan rakyat. Sehingga, waktu dan nyawa rakyat tidaklah hilang sia-sia. Sungguh, Islam benar-benar menjaga waktu dan nyawa.

Wallahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi