Bacaleg Bekas Napi Korupsi, Pantaskah?

Oleh : Ermawati

Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023. Bacaleg mantan terpidana kasus korupsi itu mencalonkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) 2024 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka berasal dari berbagai partai politik (voaindonesia.com.16/08/2023)

Hal ini membuat riuh Warganet (warga internet), mereka mempersoalkan guna SKCK (Surat keterangan Catatan Kepolisian). Sementara itu sebagaimana diketahui, izin soal narapidana menjadi caleg tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama di Pasal 240 Ayat 1 huruf g. Dalam pasal itu, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR dan DPRD. Tentu ini ambigu dan tak adil terkait guna SKCK.

Mantan narapidana kasus korupsi atau napi koruptor boleh mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2024 berkat putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30 P/HUM/2018. Dalam putusan itu, MA mengabulkan gugatan Lucianty atas larangan eks napi koruptor nyaleg yang diatur Pasal 60 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2018.

Dalam putusan tersebut MA menuliskan sejumlah pandangan saat mencabut larangan itu. Beberapa alasan di antaranya mengaitkan larangan dengan hak asasi manusia (HAM) hingga alasan tumpang tindih peratun. (cnnindonesia.com. 24/08/2023)

Lalu, ada beberapa bekas napi koruptor yang mencalonkan diri sebagai bacaleg . Dulu sempat ada larangan dari KPU, namun kemudian pada tahun 2018 MA membatalkan dengan alasan HAM. Kebolehan ini di satu sisi seolah menunjukkan tidak ada lagi rakyat yang layak mengemban amanah. Di sisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut. Mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Orang baik, tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri. Ditambah lagi, sanksi bagi pelaku korupsi di negeri ini sangat ringan, inilah realita sistem politik demokrasi, sangat ramah pada koruptor.

Kebolehan ini memunculkan kekhawatiran akan resiko terjadinya korupsi kembali, mengingat sistem hukum di Indonesia tidak memberikan sanksi yang berefek jera, hukum bisa dibeli dengan uang dan jabatan mereka. Sistem yang di pakai, tidak akan membuat jera para narapidana ataupun pelaku korupsi. Seharusnya, menjadi wakil umat harus lah orang-orang yang amanah dan taat akan hukum, utamanya hukum Allah Swt.

Islam mensyaratkan wakil umat adalah orang yang beriman dan bertakwa, agar amanah menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat. Dalam Islam, pemimpin (Khalifah) adalah wakil umat dalam kekuasaan dan penerapan syariat Islam. Khalifah tidak akan bisa menjabat kecuali dibaiat oleh umat.

Dalam Islam ada sebutan majlis umat yaitu, majelis yang beranggotakan orang-orang yang mewakili kaum muslim didalam memberikan pendapat sebagai tempat rujukan bagi Khalifah, untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam berbagai urusan. Majelis umat juga, mewakili umat dalam melakukan kontrol atau mengoreksi para pejabat pemerintahan.

Pada masa kekhalifahan, melalui majelis umat. kaum muslim boleh mengontrol atau mengoreksi penguasa. Umat memiliki hak untuk memilih wakil dalam menjalankan musyawarah, umat juga berhak mengangkat wakil untuk menjalankan aktifitas muhasabah (koreksi), ini menunjukan kebolehan untuk membentuk majelis khusus mewakili umat dalam mengontrol dan mengoreksi para penguasa, dan menjalankan musyawarah yang telah ditetapkan Al-Qur’an dan Sunah.

Sistem hukum dalam Islam sangat tegas dan menjerakan, sehingga membuat pelaku kejahatan benar-benar bertobat. Apalagi, dalam Islam sanksi berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus ). Sedangkan lapas dalam Islam tetap akan memanusiakan manusia, di dalamnya layak huni tapi tidak mengistimewakan orang di dalamnya, namun lapas atau penjara berfungsi untuk mencegah agar tidak mengulangi, di dalamnya individu sedang diberi hukuman, tapi kebutuhan dasar tetap terpenuhi.

Keberadaan penjara sebagai sarana untuk melaksanakan sanksi Islam yang tegas. Para pelaku akan merasa jera sehingga tidak mengulangi. Namun, hukum Islam tidak dapat di terapkan tanpa naungan institusi negaranya yakni Khilafah. Hanya dalam sistem inilah, Islam bisa diterapkan secara sempurna.

Wallahua’lam bis shawab

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi