Muhammad Ayyubi ( Mufakkirun Siyasiyyun Community )
Pernakah anda berpapasan di jalan dengan rombongan kampanye?
Atau pernakah anda melihat dan menyaksikan kampanye yang digelar di suatu lapangan atau gedung publik?
Apa yang anda lihat seragam di seluruh Indonesia. Yup. Joget-joget dengan iringan musik dangdut yang menghentak layaknya kita sedang berada di ruangan diskotik.
Ditambah goyangan para biduan berpakaian seksi diselingi goyangan goyangan nakal menggoda.
Kalaupun ada orasi, itu hanya selingan yang kadang kadang tidak bermutu. Apalagi jika dibumbui dengan janji janji kosong setiap calon.
Entah mau ini dan itu, buka ini buka itu, atau gratis ini dan itu pokoknya peserta tertawa gembira dan senang dengan musik yanh ada.
Siapa pun calonnya apakah religius, nasionalis ataupun sekularis cara kampanye pasti sama, semua digiring pada satu satu kesamaan pola. Yakni aroma hura hura dan hedonisme.
Paling tidak fenomena seperti ini merefleksikan tiga hal dalam praktik politik Indonesia.
Pertama , nilai-nilai sekulerisme kuat mencengkram dalam perpolitikan kita. Sehingga siapa pun yang terjun di dalam nya tidak bisa menghindari cara cara penuh kemaksiyatan tersebut. Apakah dia Kyai atau ulama, apalagi jika memang dia sekuler sejati.
Calon yang tidak mengikuti arus sekuler seperti bisa dipastikan akan kalah sejak awal. Misal dia menggunakan cara dialog, diskusi, seminar, adu gagasan, pengajian, shalawat atau ceramah ilmiah. Auto sepi kampanyenya, dianggap eksklusif, jualan agama atau tuduhan tuduhan lainnya yang membuat panas telinga.
Kedua , model kampanye dengan joget dan hura hura seperti ini menandakan bahwa kualitas pemilih yang malas berpikir, miskin dan IQ rendah.
Sekumpulan orang lapar dan bodoh sangat mudah digerakkan dengan iming iming uang atau janji janji tidak masuk akal. Memanfaatkan emosi psikologi massa pemilih seperti ini diombang ambingkan keadaan persis seperti buih di lautan.
Akan bisa diprediksi calon seperti apa yang akan muncul jika para pemilihnya seperti itu. Akan lahir pemimpin setipe dengan pemilihnya, yakni malas berpikir dan pragmatis.
Ketiga , kampanye dengan cara hura hura seperti ini berbiaya tinggi, pengerahan massa, sewa sound system, mobil, spanduk, konsumsi, kaos, atribut partai, sewa keamanan, sewa lapangan, sewa biduan dan tim dan akomodasi jurkam nasional semua itu tidak gratis. Dengan sekali kampanye bisa ratusan juta. Bagaimana jika sepuluh kali digelar? Maka tidak heran jika rata rata calon gubernur dalam pemcalonan habis Rp. 100 miliar.
Dengan biaya kampanye yang semahal itu praktis yang bisa menjadi kepala daerah hanyalah orang orang yang berduit atau orang orang yang dibandari oleh oligarki untuk maju dalam pilkada.
Dengan begitu, kepala daerah yang terpilih adalah orang orang yang pasti akan melayani oligarki.
Walhasil, kampanye model hura hura dan hedonisme adalah ciri khas sekulerisme yang jauh dari ajaran Islam. Mengajak pemilih nya untuk dosa berjamaah tanpa sadar, naudzu billah[]