Anak Laki-laki Jadi Korban Pelecehan, Kok Bisa?

Oleh. Tsaqifa Nafi’a
(Aktivis Dakwah)

Tak pandang bulu. Kini, anak lelaki juga rentan menjadi korban pelecehan seksual. Sebanyak 171 kasus dalam 11 bulan terakhir. Misalnya, terjadi di Jawa Barat, dua korban berusia 11 dan 7 tahun yang diduga dilecehkan sebanyak 5 kali oleh AF (44) yang tinggal tak jauh dari rumah korban. AF dijerat pasal 82 juncto 76 B Undang Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, khususnya perbuatan cabul terhadap anak. Ia terancam pidana 15 tahun penjara.

Kasus yang dialami kedua korban di Kota Bandung menambah jumlah deretan kasus kekerasan yang dialami anak. Khususnya laki-laki di Jawa Barat. Dalam kurun waktu Januari hingga November 2024, terjadi 485 kasus kekerasan terhadap anak lelaki di Jabar. Berdasarkan data kementerian perlindungan perempuan dan anak.

Lebih rinci lagi, sebesar 35 persen atau 171 kasus di antaranya merupakan kekerasan seksual laki-laki. Ironisnya, hampir 50 persen kasus kekerasan terhadap anak, termasuk pelecehan. Hal itu terjadi di sekitar lingkungan rumah tangga. Total ada 216 kasus di rumah tangga dengan jumlah korban 235 anak. Mayoritas pelaku kekerasan yang merupakan kerabat terdekat mencapai 207 orang dan tetangga sebanyak 39 orang. Mayoritas pelaku adalah laki-laki yang mencapai 254 orang.

Untuk mengatasi masalah ini, Pemprov Jabar melakukan program Jabar Cekas (diambil dari bahasa Sunda yang berarti tegas atau jelas). Program ini biasanya dilaksanakan dalam sosialisasi di kantor kecamatan dan desa setempat. Adapun wujud nyatanya antara lain, mengampanyekan pentingnya semua pihak berani bicara, melaporkan, menolak, dan melawan kasus kekerasan. Terdapat juga program Motivator Ketahanan Keluarga (Motekar) yang diberikan rumah aman bagi korban kekerasan. Mereka juga mendapatkan layanan psikolog dan kesehatan gratis.

Namun, dari solusi yang sudah diberikan, kekerasan seksual masih tidak kunjung selesai. Tentu saja karena dibiarkannya faktor-faktor penyebab maraknya predator anak merajalela. Seperti rendahnya moral, nyatanya sekolah tidak bisa melaksanakan perannya sebagai pendidik anak. Di sisi lain, banyak tayangan-tayangan televisi dan konten-konten media sosial yang tidak mendidik dan berperan besar untuk mempengaruhi pola pikir seseorang. Kondisi ini juga terjadi karena lemahnya keimanan individu. Mereka belum memahami bahwa segala sesuatu terikat oleh syara’, sehingga mereka tidak takut untuk melakukan kejahatan.

Negara juga dirasa minim dalam menjaga anak dalam berbagai aspeknya. Apalagi negara menerapkannya pendidikan berasas sekuler. Sistem ini memutus pola pikir dan pola sikap yang berasaskan agama Islam. Sekolah berlangsung sudah tidak tepat pada dasar dan tujuannya. Karena kalau memang sudah berperan baik, tidak mungkin aktivitas pelecehan tersebut bisa kian marak hingga hari ini. Ditambah sistem sanksi yang tidak menjerakan.

Dilihat dari segala sisi, problem ini sudah bersifat sistemis. Oleh karena itu, tidak bisa hanya diselesaikan dengan solusi yang diambl dari masalah cabangnya, yaitu dari tempat terjadinya kekerasan, tetapi harus dari seluruh aspek, seperti individu, peran keluarga, kontrol masyarakat, dan lain sebagainya.

Dalam Islam, negara berekwajiban untuk menjaga generasi. Tugas negara adalah memberikan jaminan untuk menyejahterakan rakyat. Dengan menjain kualitas hidup dan lingkungan yang baik dan juga keselamatan generasi dari berbagai bahaya, termasuk berbagai macam kekerasan dan ancaman kekerasan. Islam memiliki 3 pilar perlindungan terhadap rakyat termasuk anak. Mulai dari ketakwaan individu, peran keluarga, kontrol masyarakat, hingga penegakan sistem sanksi yang tegas oleh negarayang tegas dan menjerakan. Semua itu akan terwujud dengan penerapan semua sistem kehidupan berdasarkan sistem Islam secara kaffah. Takbir! Wallahualam bisawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi