Amanah Pemimpin Jadi Rebutan, Tidak Takutkah?

Oleh. Lilik Yani

“Siapa yang mau jadi pemimpin?” Jika pertanyaan itu disampaikan kepada sahabat Rasulullah saw., maka akan berebut menolak. Bagaimana jika disampaikan pada umat Rasulullah saw. zaman sekarang? Sebelum ditanya, sudah berebut unjuk diri. Sungguh, betapa percaya dirinya umat saat ini. Berani memegang amanah sebagai pemimpin. Sadarkah mereka jika Allah akan meminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya?

Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 diprediksi diikuti oleh tiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Tiga nama yang diramal bakal maju sebagai calon RI-1 yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan.

“Saya tetap haqqul yaqin Pilpres 2024 akan diikuti 3 pasang capres cawapres,” kata Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama Ari Junaedi kepada Kompas.com, Selasa (28/2/2023).

Pesta demokrasi akan digelar kembali tahun 2024. Masih tahun depan, tapi gaungnya sudah terasa sejak lama. Bahkan sekarang makin terasa kencang karena sudah pengajuan nama capres dan cawapres yang akan dipilih.

Jika cara yang ditempuh jujur, masih bagus. Kenyataan yang terjadi saling berebut masa, berebut suara rakyat. Bahkan bisa dibilang suara rakyat sangat berharga ketika pesta demokrasi digelar.

Jauh hari sudah banyak melakukan pendekatan. Bahkan calon yang diusung akan dipilih yang memiliki kantong masa banyak. Jadi ada peluang besar suara yang akan masuk. Artinya, akan banyak yang memilih calon pemimpin yang diajukan. Jadi peluang menang lebih besar.

Apa ada jaminan menang meskipun punya kantong massa besar? Secara logika, iya. Tetapi masalahnya, apakah musuh tinggal diam? Tidak. Musuh akan mencari strategi dengan menawarkan sumbangan seragam pengajian, diajak wisata religi, bahkan banyak juga yang melakukan serangan fajar. Maksudnya? Diberikan angpao agar memilih kandidat pemimpin yang diajukan.

Seperti itukah pemimpin yang akan kita pilih untuk memimpin negeri ini? Bisakah mereka diandalkan membawa kita le jalan Allah jika cara meraih posisi pemimpin seperti itu? Banyak kecurangan yang terjadi dibalik sistem demokrasi.

Belum lagi nanti setelah selesai pemilihan umum. Akan heboh ketika laporan penghitungan. Ada saja kecurangan yang terjadi. Seolah tak rela jika kemenangan di pihak lawan. Terkadang akan dimanipulasi bagaimana caranya agar kandidat pemimpin yang dicalonkan tetap menang meskipun kalah suara. Lantas buat apa pemilu dengan asas bebas memilih, jika kenyataan memaksakan kehendak? Yang menang bisa jadi kalah. Yang kalah bisa dinaikkan jadi pemenangnya.

Tak bisa dibayangkan ketika mereka sudah terpilih jadi pemimpin. Apa yang akan dikerjakan kecuali bagaimana caranya agar bisa balik modal? Segala peluang akan diambil agar bisa segera kembali modal yang dikeluarkan sebelum terpilih menjadi seorang pemimpin.

Sistem demokrasi itu mahal, biaya tinggi sekali, namun hasilnya tak sesuai harapan. Jauh panggang dari api istilahnya. Lantas apa yang bisa diandalkan dari pemimpin yang proses meraihnya dengan banyak kebohongan?

Praktik suap di sana-sini demi merebut tampuk pimpinan yang diimpikan. Sebuah posisi tertinggi yang membuat terpesona semua orang. Hampir semua calon pemimpin melakukan tindak kecurangan meski awalnya bagus imannya. Sungguh pemimpin dalam sistem demokrasi bisa mengubah orang yang imannya baik jadi berubah karena terkontaminase dengan sistem yang berlaku saat ini.

Bagaimana Kepemimpinan di Zaman Rasul dan Sahabat?

Ketika Rasulullah saw. meninggal, sahabat menunda pemakaman jenazah Rasulullah sebelum ada pengganti kepemimpinan. Sahabat Umar menunjuk Abu Bakar. Sahabat Abu Bakar menunjuk Sahabat Umar yang lebih pantas sebagai khalifah, pemimpin pengganti Rasulullah saw.

Semasa hidupnya, Rasulullah Muhammad saw. tidak pernah menitipkan pesan dan menunjuk siapa kelak yang akan menjadi pengganti dan penerus atas kepemimpinannya. Sehingga sepeninggal beliau, terjadilah beberapa perselisihan ketika proses pengangkatan khalifah khususnya antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.

Kaum Anshar menawarkan Saad bin Ubadah sebagai khalifah dari golongan mereka, dan Abu Bakar menawarkan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah. Abu Bakar menegaskan bahwa kaum Muhajirin telah diistimewakan oleh Allah Swt. karena pada permulaan Islam mereka telah mengakui Muhammad sebagai Nabi dan tetap bersamanya dalam situasi apa pun, sehingga pantaslah khalifah muncul dari kaum Muhajirin.

Umar bin Khattab menolak usulan dari Abu Bakar. Umar mengatakan bahwa Abu Bakar yang pantas menjadi khalifah dari kaum Muhajirin. Setelah melalui musyawarah, disepakati bahwa Abu Bakar yang pantas menjadi khalifah.

Adapun alasan kesepakatan tersebut karena Abu Bakar adalah:
1. Orang pertama orang yang mengakui peristiwa Isra’ Mikraj.
2. Orang yang menemani Nabi Muhammad saw. berhijrah ke.
3. Orang yang sangat gigih dalam melindungi orang yang memeluk agama Islam, dan
4. Imam salat sebagai penggati Nabi Muhammad ketika sedang sakit.

Setelah sepakat, Umar bin Khattab menjabat tangan Abu Bakar dan menyatakakan baiatnya kepada Abu Bakar. Lalu diikuti oleh Sa’ad bin Ubadah dan Umat Islam seluruhnya. Abu Bakar menamai dirinya sebagai khalifaturrasul atau sebagai pengganti Rasul.

Bagaimana Islam memandang Umat Sekarang Berebut jadi Pemimpin?

Jika sahabat Rasulullah ditunjuk untuk menjadi pemimpin akan berebut menolak. Sebaliknya, umat Rasulullah saat ini di era demokrasi, justru berebut menjadi pemimpin. Hal ini bertentangan dengan ayat Al-Qur’an, kalamullah yang menjadi pedoman hidup manusia hingga akhir zaman.

اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ وَالۡجِبَالِ فَاَبَيۡنَ اَنۡ يَّحۡمِلۡنَهَا وَاَشۡفَقۡنَ مِنۡهَا وَ حَمَلَهَا الۡاِنۡسَانُؕ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوۡمًا جَهُوۡلًا

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zhalim dan sangat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)

Allah menjelaskan bahwa salah satu wujud takwa adalah menjaga amanah. Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat, yakni tugas-tugas keagamaan, kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul tanggung jawab amanat itu dan mereka khawatir tidak akan mampu melaksanakannya, lalu Kami menawarkan amanat itu kepada manusia, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.

Sungguh, manusia itu sangat zalim karena menyatakan sanggup memikul amanat tetapi secara sengaja menyia-nyiakannya, dan sangat bodoh karena menerima amanat tetapi sering lengah dan lupa menjalankan atau memenuhinya.

“Amanat” kalau diartikan secara sempit adalah kewajiban-kewajiban agama. Namun secara luas, ia bisa dipahami sebagai segala sesuatu yang diserahkan kepada seseorang untuk dipelihara dan ditunaikan dengan sebaik-baiknya serta berusaha maksimal untuk tidak menyia-nyiakannya. Apa pun bentuk amanat itu, ia harus dipertanggungjawabkan oleh penerima kepada pemberi amanat.

Sesungguhnya Allah telah menawarkan tugas-tugas keagamaan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Karena ketiganya tidak mempunyai persiapan untuk menerima amanat yang berat itu, maka semuanya enggan untuk memikul amanat yang ditawarkan Allah itu.

Kemudian amanat untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan itu ditawarkan kepada manusia dan mereka menerimanya dengan konsekuensi barang siapa yang melaksanakan itu akan diberi pahala dan dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya, barang siapa yang mengkhianatinya akan disiksa dan dimasukkan ke dalam api neraka.

Walaupun bentuk badannya lebih kecil dibandingkan dengan ketiga makhluk yang lain (langit, bumi, dan gunung-gunung), manusia berani menerima amanat tersebut karena manusia mempunyai potensi. Tetapi, karena pada diri manusia terdapat ambisi dan syahwat yang sering mengelabui mata dan menutup pandangan hatinya, Allah menyifatinya dengan amat zalim dan bodoh karena kurang memikirkan akibat-akibat dari penerimaan amanat itu.

Sebenarnya, ketika manusia menerima amanah dan menjalankan amanah dengan baik, maka pahalanya adalah surga. Namun, karena manusia mengabaikan amanah, tidak meriyah apa yang diamanahkan dengan baik, karena nafsu dan ambisi yang tak terkendali. Maka yang mereka dapat adalah dosa demi dosa hingga mengantar ke neraka.

Apalagi ketika sebuah negeri menganut sistem kapitalis demokrasi. Ambisi tak terkendali untuk menjadi pemimpin negeri, tapi tak diimbangi dengan ketaatan menjalankan kepemimpinan yang sesuai aturan hukum syara, jadi akibatnya kena azab Allah dan dosa.

Jika manusia mau tunduk taat aturan Allah, kemudian menjalankan kepemimpinan sesuai aturan Allah maka mereka akan menjadi pemimpin bijaksana yang dihormati karena menjalankan amanah dengan baik.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Dibaca

 11 total views,  2 views today

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi