Ada Apa dengan Trifting ?

Oleh. Puji Yuli

Apa itu trifting, ya? Mungkin sebagian dari kita ada yang belum mengenal tentang istilah trifting. Istilah trifting ini merupakan kegiatan membeli barang bekas terutama pakaian dengan tujuan untuk berhemat membeli pakaian yang baru.

Saat ini, masyarakat banyak yang membeli pakaian bekas alias trifting untuk memenuhi kebutuhan pokok terkait sandang atau pakaian di tengah kesulitan ekonomi. Apalagi nanti mau menjelang Idulfitri, tentunya masyarakat akan melakukan trifting untuk bisa merayakan Idulfitri meskipun dengan pakaian bekas. Bukan sengaja, lebih karena keterbatasan ekonomi yang menyebabkan tidak mampu untuk membeli pakaian baru dan bermerk.

Makanya, banyaknya bisnis trifting ini dilakukan karena melihat banyaknya minat masyarakat yang melakukan trifting. Karena itu, makin marak impor pakaian bekas yang sebenarnya sudah terjadi sejak lama.

Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan masyarakat akan suplay pakaian untuk memenuhi kebutuhan terkait sandang. Di sisi lain juga menunjukkan potret kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat yang hanya mampu membeli pakaian dengan harga murah.

Sedangkan bisnis penjualan baju bekas impor telah lama merebak di kota Bandung, Jawa Barat. Padahal, diketahui bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah melarang peredaran baju bekas alias trifting yang berpotensi bisa menganggu industri tekstil.

Saat dikonfirmasi, Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Ibrahim Tompo mengatakan, pihaknya akan ikut mengawasi peredaran baju bekas import tersebut. Hingga kini polisi masih menunggu laporan resmi untuk penyelidikan. Ibrahim mengakui bisnis peredaran baju bekas impor punya regulasinya sendiri. Sehingga menurutnya, bisnis yang dilarang Jokowi ini sulit untuk diproses secara hukum (detik.com, 21/03/2023).

Maka, aneh jika sekarang dipersoalkan, bahkan oleh Presiden, ditambah seruan itu dilakukan setelah industri tekstil mati. Apalagi dengan alasan menganggu UMKM, karena pada umumnya UMKM hanya memperpanjang rantai produksi.

Berbagai kondisi tersebut menunjukkan bahwa sejatinya tidak ada upaya untuk menyelesaikan persoalan sesuai dengan akar masalah. Pun juga tingginya garis kemiskinan. Yang nampak nyata justru pencitraan dan kebijakan membela pengusaha. Inilah sejatinya wajah buram kapitalisme yang berasakan sekularisme.

Berbeda dengan pemimpin dalam Islam. Para pemimpin akan membela dan mengutamakan kepentingan masyarakat dan menjamin kesejahteraannya.

Dalam Islam, pemimpin itu seperti pengembala yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Selain itu, adanya kepemilikan umum berupa barang-barang tambang, digunakan untuk sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sehingga masyarakat bisa memenuhi kebutuhan pokoknya terkait sandang maupun pangan juga papan. Dengan Islamlah masyarakat bisa sejahtera, karena Islam menjadi rahmat bagi semesta.

Wallahu a’lam bis shawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi