Tuntas Berantas Korupsi Ilusi Negara Demokrasi

Meivita Ummu Ammar
Aktivis dakwah Ideologis

Presiden RI Joko Widodo telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pemberhentian sementara Firli Bahuri dari jabatan Ketua KPK. Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi termasuk pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Proses hukum atas kasus tersebut sedang berjalan di Polda Metro Jaya (CNNIndonesia, 27/11/2023).

Ditetapkannya Firli sebagai tersangka merupakan kabar mengejutkan bahkan menjadi sorotan media internasional. Sebelumnya, Firli sebagai ketua KPK menyatakan bahwa lembaga antirasuah tersebut telah menangkap sebanyak 1.600 koruptor dalam kurun waktu 20 tahun terakhir yakni sejak 2003-2023. Nyatanya, selain Firli ada empat pimpinan yang berstatus tersangka, yaitu Bibit Samad Riyanto, Chandra Hamzah, Bambang Widjojanto, dan Abraham Samad. Meskipun mereka menyandang status tersebut, publik masih menaruh harapan pada lembaga tersebut dengan membela mereka dan menyebutnya sebagai pahlawan kemudian menganggap kasus yang menjerat mereka hanyalah rekayasa.

Jika ditelisik lebih jauh, banyaknya pihak yang terlibat kasus korupsi menjadi salah satu bukti bobroknya sistem yang diterapkan di negara tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa masalah yang terjadi tidak dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang lama, justru menyeret ketua lembaga antirasuah dalam dugaan kasus korupsi. Keberadaan lembaga tersebut tidak mampu mencegah semakin bertambahnya pelaku korupsi. Sistem kapitalis demokrasi menjadi lahan yang subur untuk tumbuhnya praktik korupsi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tingginya biaya kontentasi dalam sistem demokrasi adalah penyebab maraknya kasus korupsi. Akibatnya, dominasi kepentingan oligarki semakin menjadi-jadi. Selain itu, adanya keserakahan, rusaknya integritas abdi negara dan penguasa, toleransi atas keburukan dan lemahnya iman makin memudahkan korupsi berkembang di berbagai lini.

Sistem demokrasi mendorong para koruptor untuk terus bermain kotor tanpa pandang bulu. Hal ini wajar terjadi, sebab pada hakikatnya demokrasi meletakkan kedaulatan pada tangan manusia, padahal seharusnya ada pada Asy-Syari’. Sebagaimana sifat asli manusia, makin mereka berkuasa, mereka akan menampakkan kerakusan dan keserakahannya. Timbangan yang dipakai untuk menetapkan kebijakan adalah hawa nafsunya.

Demokrasi juga didukung oleh kapitalisme yang mengesampingkan agama, menjadikan aspek manfaat sebagai tujuan utamanya. Menjadi hal yang wajar jika demokrasi selalu berkaitan dengan para oligarki. Pemegang kebijakan dan oligarki saling menguntungkan untuk kepentingan pribadi. Mereka yang rakus dengan kekuasaan tentu butuh modal untuk meraih kemenangan dalam pesta demokrasi. Sedangkan para oligarki butuh regulasi agar dapat melancarkan dan melanggengkan usaha mereka. Maka demokrasi memberi ruang lebar bagi pemain untuk curang. Terlebih, sanksi yang ada tidak menunjukkan taring sehingga membuat pelaku jera. Beginilah sistem demokrasi yang hanya akan menjadi ilusi untuk memberantas korupsi.

Sungguh sangat berbeda dengan sistem Islam yang merupakan solusi atas seluruh problematika kehidupan. Terdapat lima keunggulan sistem politik Islam dibandingkan dengan demokrasi sehingga menjadi sebuah keniscayaan bahwa sistem politik Islam dapat mewujudkan penguasa yang bersih dan amanah.

Pertama, sistem kapitalisme demokrasi menjadikan sekularisme sebagai landasannya. Islam menempatkan akidah Islam sebagai dasar politik. Akidah Islam akan melahirkan ketakwaan individu sehingga mampu mengontrol dan menjadi pengawas pejabat serta para politisi. Ini merupakan pencegahan pertama dalam tindak korupsi.

Kedua, demokrasi berbelit dan membutuhkan biaya tinggi dalam mencapai kepemimpinan. Sistem politik Islam sederhana. Kepemimpinan Islam bersifat tunggal, pengangkatan dan pencopotan pejabat negara dilakukan oleh khalifah sehingga mencegah para cukong politik terlibat dalam kebijakan.

Ketiga, politisi dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan dalam sistem demokrasi sangat tergantung pada parpol dan koalisi. Islam tidak tergantung dan tidak tersandera oleh parpol. Dalam Islam, seseorang yang terpilih menjadi pejabat, maka dirinya telah terlepas dari parpol yang menaunginya.

Keempat, sistem politik demokrasi membagi kekuasaan sehingga akan menimbulkan celah konflik kelembagaan. Struktur dalam sistem Islam semuanya berada dalam satu kepemimpinan khalifah sehingga dapat menghindari faktor minimnya atau ketiadaan peran pemimpin.

Kelima, hukum sanksi sistem demokrasi tidak memberikan efek jera. Sebaliknya, sanksi dalam Islam memberikan efek jera. Hukum sanksi bagi koruptor adalah takzir, artinya diserahkan kepada ijtihad khalifah dan hakim. Sebagai contoh, pada masa Umar bin Abdul Aziz, beliau sebagai khalifah menetapkan sanksi bagi koruptor adalah cambuk dan dipenjara dalam waktu yang sangat lama (Mushannaf Ibn Abi Syaibah). Betapa sempurnanya Islam sebagai sebuah sistem kehidupan dengan tegas mengharamkan korupsi dan memberikan sanksi yang menjerakan bagi pelakunya.

Islam juga memiliki berbagai mekanisme untuk mencegah korupsi, yang utama adalah membangun individu berkepribadian Islam sebagai tameng awal. Harapan untuk tuntas memberantas korupsi dalam sistem kapitalisme demokrasi hanyalah ilusi yang tak akan pernah terwujud. Karena sejatinya sistem inilah yang melanggengkan praktik korupsi. Langkah untuk menghilangkan korupsi bukan sekadar merevisi UU KPK, melainkan dengan membuang jauh-jauh sistem politik demokrasi dan menghadirkan sistem politik Islam, yaitu sistem Khilafah Islamiyah. Khilafah akan menjadikan akidah Islam sebagai landasannya dan khalifah (pemimpinnya) akan menyusun UU selaras dengan pandangan Islam. Islam yang membawa rahmat akan dirasakan oleh seluruh alam.

Wallahu a’lam bishshawab.

 

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi