Oleh. Rosalita
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah, “Negara kita adalah negara hukum”. Hal ini pasti menciptakan persepsi masing-masing mengenai relevansi antara negara dengan hukum. Istilah dari negara hukum berasal dari bahasa Belanda yaitu rechtsstaat atau dalam bahasa Inggris bermakna the state according to law.
Sederhananya, negara hukum berarti memiliki makna negara yang menganut asas hukum yang memiliki kedaulatannya. Konsep negara hukum di Indonesia telah diterapkan sejak Indonesia memproklamasikan dirinya. Dalam Penjelasan Umum UUD 1945 butir I tentang Sistem Pemerintahan, dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka.
Konsep negara hukum pada dasarnya, negara hukum memiliki konsep the rule of law yang berarti negara dalam menjalankan fungsinya harus berdasarkan asas hukum. Maka, setiap anggota atau yang termasuk dalam warga negara, harus taat dan mengakui supremasi hukum itu sendiri. Namun, konsep dari negara hukum tidak hanya terbatas pada hal tersebut.
Negara kita memang negara hukum, tetapi hukum yang tumpul ke atas tajam ke bawah. Umat Islam saat ini dalam keadaan menderita, sakit, dan lemah. Belum lagi masalah internal yang dihadapi oleh masing-masing kaum muslim di negeri kita, masalah kezaliman penguasa, suap, pencurian, perampokan, tersebarnya berbagai macam penyakit menular, dan sebagainya.
Semua penyakit ini menambah umat Islam yang telah sakit menjadi semakin parah sakitnya. Itulah akibat karena tidak ditegakkannya hukum Allah. Negara justru menerapkan sistem kapitalisme yang hanya memikirkan duniawi.
Dalam buku “Islam, Politik, dan Spiritual,” K.H. Hafidz Abdurrahman, M.A. mengatakan bahwa Islam mengajarkan kedaulatan di tangan syarak, bukan di tangan manusia, umat atau yang lain. Konsekuensi dari pandangan tersebut adalah:
Pertama, bahwa yang menjadi pengendali dan penguasa adalah hukum syara’, bukan akal atau manusia. Ini berarti semua masalah akan dikembalikan kepada hukum syarak. Oleh karena itu, tidak ada satupun masalah yang terlepas dari hukum Syara’.
Kedua, bahwa siapa pun akan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum syarak, baik penguasa maupun rakyatnya. Karena itu, tidak ada seorang pun yang mempunyai hak immunity (kekebalan tubuh) dalam negara Islam.
Ketiga, bahwa ketaatan pada penguasa terikat dengan ketentuan hukum syarak, dan bukan ketaatan mutlak pada penguasa. Karena rakyat hanya diwajibkan untuk taat kepada penguasa jika dia melaksanakan hukum syarak, sebagaimana yang dinyatakan oleh nash:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, Rasul-Nya, serta orang-orang yang menjadi pemimpin di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu urusan, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An-Nisa’ 59)
“Tidak ada (kewajiban) taat dalam melakukan kemaksiatan kepada Yang Maha Pencipta (Allah).” (HR. Ahmad)
“Mendengarkan dan menaati adalah kewajiban orang Islam, baik dalam masalah yang disukai ataupun tidak, selagi tidak diperintahkan untuk melakukan maksiat. Jika diperintahkan untuk melakukan maksiat, maka ada tidak kewajiban untuk mendengarkan (perintah) dan menaatinya.” (HR. Bukhari)
Dalil-dalil di atas, menjelaskan bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak, sedangkan ketaatan kepada penguasa tergantung pada ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Jadi, bagaimana ketika hukum syarak tidak ditegakkan oleh pemerintah kita, tentu kehancuranlah yang akan terjadi. Sangat jelas bahwa hukum Allah sudah mengatur semua aspek kehidupan, baik dalam negeri maupun luar negeri, baik dari ekonomi, politik, sosial, dan sistem pendidikan Islam, semua sudah diatur sedemikian baik dan terperinci dalam hukum syarak