271 T, Bak Fenomena Gunung Es

Oleh. Beta Arin Setyo Utami. S.Pd.
(Tutor Rumah Belajar Anugrah Ilmu)

Dikutip dari detik.com (03/04/2024), tata niaga timah di Indonesia menuai sorotan setelah Kejaksaan Agung menguak kasus korupsi tata niaga di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Dirut PT Timah Tbk Achmad Dani Virsal buka suara soal taksiran kerugian lingkungan dalam kasus korupsi tata niaga timah, yang mencapai Rp 271 triliun.

Menurutnya, perhitungan itu memang wewenang ahlinya. Angka tersebut merupakan kerugian kerusakan lingkungan dalam kawasan hutan dan nonkawasan hutan, yang dihitung langsung ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo. Beliau menghitung kerugian yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di Bangka Belitung itu merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014, tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

Kasus tersebut menjerat sekitar 16 tersangka, juga termasuk suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis, hingga Helena Lim. Helena Lim, seorang perempuan crazy rich Pantai Indah Kapuk yang dikenal kerap mempertontonkan gaya hidup super mewah di media sosial. Disusul Harvey Moeis, suami artis ternama Sandra Dewi yang juga dikenal tajir melintir dan selalu digambarkan sebagai malaikat penolong yang begitu ringan tangan membantu banyak orang. Mereka berdua diduga sudah lama melakukan praktik korupsi dan pencucian uang di PT TINS, yakni sejak tahun 2015 hingga 2022. Namun, peran mereka diduga hanya sebagai operator lapang, sedangkan otak utamanya adalah seorang mafia besar berinisial RBS.

RBS inilah yang diduga berperan mendirikan dan mendanai perusahaan-perusahaan yang digunakan sebagai alat untuk melakukan korupsi tambang timah di PT TINS. Modusnya adalah mendorong perusahaan-perusahaan tersebut melakukan kerja sama pengelolaan lahan PT Timah Tbk di Bangka Belitung seluas 170,36 ribu hektar dan menyewa jasa peleburan timah ke PT TINS.

Perusahaan-perusahaan swasta ini sendiri mengelola pertambangan secara ilegal alias melakukan pencurian di bawah akomodasi pihak berwenang, lalu hasilnya dijual kembali kepada PT Timah Tbk. dengan harga lebih mahal. Hal inilah yang menyebabkan kerugian besar bagi negara, padahal kerugiannya bukan kerugian secara ekonomi saja, melainkan juga kerugian secara ekologi atau lingkungan yang efeknya jangka panjang. Terlebih atas arahan RBS, Harvey Moeis pun meminta perusahaan-perusahaan tadi mengeluarkan dana pertanggungjawaban lingkungan alias dana CSR yang kemudian dikelola perusahaan milik Helena Lim.

Tentu saja, dana-dana CSR ini tidak sepenuhnya digunakan untuk kegiatan sosial. Diduga kuat dana tersebut digunakan untuk menarik keuntungan pribadi sekaligus untuk menyuap para pejabat dan para pejabat PT TINS beserta pihak berwenang lainnya sehingga praktik curang ini bisa sekian lama berlangsung aman.

Menjamurnya, tindakan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa permasalahan ini adalah permasalahan sistemik. Sistem demokrasi sekuler kapitalis menjadikan tindakan korupsi bak fenomewa gunung es, kasus yang berhasil terungkap dan mencuat di publik hanya sebagian kecil, di mana tindakan korupsi yang sebenarnya terjadi di lapangan jumlahnya begitu banyak dan mengerikan. Indonesia menjadi sasaran empuk bagi para oligarki untuk menguasai semua aset publik secara berjemaah.

Canggihnya, mereka membangun simbiosis mutualisme dengan para pemegang kekuasaan, sehingga wajar pasal karet sarat hasrat bertaburan demi memuluskan jalan penguasa dan pengusaha untuk meraup pundi-pundi rupiah dengan nilai yang fantastis. Gaya hidup hedonis dan budaya flexing atau pamer kekayaan menjadi warna tokoh-tokoh publik hari ini. Diperparah dengan lemahnya hukum di Indonesia. Banyak koruptor yang melenggang dengan bebas karena bisa membeli hukum.

Adapun koruptor yang tertangkap dan dipenjara, hukumannya tidak mengandung efek jera, di dalam penjara mendapat banyak fasilitas mewah bak hotel, bahkan mereka juga mudah mendapat grasi. Tidak ada bagi para koruptor penyesalan sedikitpun, apalagi sadar diri, evaluasi dan tobat. Alhasil, selama sistem demokrasi sekuler kapitalis tetap bercokol maka selama itu tindakan korupsi bak fenomena gunung es, akan tetap ada, banyak bahkan menjamur menyasar semua lapisan masyarakat dari semua bidang kehidupan.

Oleh karenanya, sistem rusak dan merusak ini harus diganti dengan sistem yang baik dan menyelamatkan, yakni sistem Islam. Jika sistem demokrasi kapitalis tegak atas dasar paham sekuler, kepentingan dan keuntungan, maka apapun yang menghalangi tercapainya tujuan materi, akan ia hempaskan sekalipun harus menghempaskan aturan agama dan menggantinya dengan aturan perundang-undangan yang bebas. Sedangkan sistem Islam tegak atas dasar akidah Islam, halal haram menjadi yang pertama dan utama, niscaya menghempas segala kepentingan apalagi kemaksiatan.

Islam mengoptimalkan peran negara yang saleh, kontrol masyarakat untuk senantiasa melakukan muhasabah juga amar makruf nahi mungkar dan melahirkan individu-individu yang bertakwa yang dibina dengan pembinaan Islam ideologis. Sehingga kasus kejahatan dan kemaksiatan akan betul-betul bisa diminimalisir, bukan menjadi fenomena yang menjamur. Bukan juga bak fenomena gunung es, membiarkan kasus-kasus besar dan menindak beberapa kasus kecil sekedar sebagai formalitas.

Jika tetap terjadi tindakan korupsi, maka negara Khilafah akan mengaudit harta kekayaan pejabat dan pegawainya sebelum menjabat dan setelah menjabat. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, pejabat tersebut harus membuktikan asal kenaikan hartanya. Jika tidak mampu membuktikan, harta tersebut akan disita negara. Adapun pelakunya akan mendapatkan hukuman, baik berupa pemberhentian dari jabatan maupun sanksi yang menjerakan. Sanksi korupsi terkategori takzir, yaitu sanksi yang ditetapkan oleh khalifah atau qodi. Sanksi tersebut harus adil dan membuat jera pelaku, bisa berupa penjara, pengasingan, atau bahkan hukuman mati. Selain itu, pelaku korupsi akan disiarkan kepada publik melalui media massa sehingga menjadi sanksi sosial dan sekaligus mencegah orang lain berbuat hal yang serupa. Demikian solusi yang akan diterapkan jika sistem Islam menjadi dasar dari segala dasar pengaturan kehidupan. Sistem Islam yang akan menjamin bahwa tidak akan ada fenomena kemaksiatan yang menjamur di masyarakat, termasuk tindakan korupsi. Wallahu a’lam bissawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi