Muhammad Ayyubi ( Direktur Mufakkirun Siyasiyyun Community )
Ada pameo ‘bocor diatas genting, airnya merembes ke bawah’. Artinya apa saja yang dilakukan oleh pemimpin maka pengaruhnya akan dilihat rakyatnya baik berupa kebaikan atau keburukan.
Maka dari itulah jika baik pemimpin sejahtera seluruh rakyatnya, sebaliknya jika buruk pemimpin maka sengsara seluruh rakyatnya.
Apa yang kita lihat hari ini berupa problematika negara yang tidak pernah hilang berupa korupsi, abuse of power, kedzaliman, nepotisme, penindasan termasuk politik dinasti dilakukan secara sistematis di level atas.
Hasilnya, problem yang sama dirasakan oleh seluruh rakyatnya di negeri ini. Baik di level propinsi, kabupaten dan kota.
Fenomena Negara adalah aku yang dalam Bahasa Prancis (L’État, c’est moi) tampak menggejala dan menggurita di dalam pemerintahan kita saat ini.
L’État, c’est moi adalah sebuah kutipan apokrifa yang sering kali dikaitkan dengan Raja Louis XIV dari Prancis yang dinyatakan pernah diucapkan pada tanggal 13 April 1655 di depan anggota Parlemen Paris.
Kita lihat faktanya dimana presiden dengan kehendaknya memaksakan perubahan undang undang di tengah tengah masyarakat.
Tahun 2017 Pembubaran ormas meskipun bertentangan dengan undang undang tetapi tetap dilakuakan dengan alasan tidak masuk akal.
Sebelumnya kasus pemberian bail out kepada Bank Century sebanyak Rp. 6,7 triliun oleh Pemerintah padahal tidak alasan yang dibenarkan oleh undang undang ketika itu.
Yang paling terbaru adalah perubahan undang undang oleh MK tentang batas usia minimal pencalonan presiden dan wakil presiden dirubah demi meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden.
Ekspor pasir laut ke Singapura yang sejatinya melanggar Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut dilakukan secara semena-mena oleh Pemerintah.
Segala perubahan undang undang sekehendak kepala negara seolah telah menjadikan presiden layaknya raja yang tidak pernah salah dan raja adalah hukum itu sendiri.
Seolah gayung bersambut, dalam sambutan pengukuhannya sebagai ketua umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia mengatakan ” Kita harus lebih paten lagi. Soalnya, Raja Jawa ini kalau kita main-main, celaka kita. Saya mau kasih tahu saja, jangan coba-coba main-main barang ini. Waduh, ini ngeri-ngeri sedap barang ini,” pada 21 Agustus 2024.
Oleh karena kerusakan demi kerusakan dilakukan oleh pemerintah yang lebih tinggi posisinya maka penyakit itu menular kepada pemerintahan yang ada di bawahnya.
Pilkada pilkada yang digelar 27 November 2024 akan bisa dipastikan melahirkan raja raja lokal dengan kekuasaan sesukan hati mereka.
Raja-raja lokal tersebut akan meniru raja diatasnya. Karena merasa apa yang mereka lakukan ada contoh di atasnya. Perkara hukum bisa dikondisikan dengan bekingan di belakangnya.
Wajah pemimpin yang lahir dari proses politik demokrasi yang mahal ini akan meniscayakan pemimpin pemimpin oportunistik yang memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri, keluarga dan partainya.
Proyek proyek pembangunan di daerah akan mengalir ke keluarga dan pendukungnya, anak dan istri akan melanjutkan kekausaanya, intimidasi dan ancaman akan ditujukan kepada penentangnya dan suap dan jual beli jabatan akan menjadi pekerjaan barunya.
Jangan bergarap rakyat akan mendapatkan tetesan kemakmuran kecuali pada saat kampanye dan serangan fajar saja, itu pun hanya sekedar uang ala kadarnya yang habis dalam beberapa hari saja.
Selebihnya, para raja akan berpesta pora di atas penderitaan rakyat ketika semua harga kebutuhan pokok naik dan pajak pajak negara semakin mencekik.
Masihkah sistem demokrasi yang menindas ini dipertahankan? Jawabannya tidak, tidak layak bagi kita manusia cerdas jatuh di lobang yanh sama dua kali.
Sudahi kontestasi demokrasi ala barat tersebut dan beralihlah kepada Khilafah yang berasal dari warisan Rasulullah. []