Remisi Napi Bentuk Bobroknya Sanksi dalam Sistem Demokrasi

Ross A.R
Aktivis Muslimah Medan Johor

Pada perayaan Hari Ulang Tahun RI selalu dinanti oleh para napi di lapas di negeri ini. Remisi napi atau pengurangan masa tahanan terhadap napi (narapidana) di anggap mengapresiasi atau justru bentuk bobroknya sanksi dalam sistem demokrasi? Begitu mudahnya para napi (narapidana) mendapatkan remisi atau pengurangan masa tahanan tersebut? Ataukah terkendala dengan alasan lainnya? Sebagaimana para napi (narapidana) di Lembaga Pemasyarakatan Bangka Belitung yang over kapasitas.

Sebanyak 1.750 orang narapidana di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mendapatkan remisi pada Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 RI. Dari jumlah tersebut, 48 orang di antaranya langsung bebas. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Bangka Belitung Harun Sulianto mengatakan remisi atau pengurangan masa pidana merupakan wujud apresiasi terhadap pencapaian perbaikan diri narapidana. Remisi juga dinilai upaya untuk memberikan stimulus bagi warga binaan agar selalu berkelakuan baik,” ujar Harun saat penyerahan remisi umum bagi narapidana dan pengurangan masa pidana umum bagi anak binaan yang digelar di Lapas Kelas II A Tua Tunu Pangkalpinang (17/8/2024).

Ironisnya, dari banyaknya yang mendapatkan remisi atau pengurangan masa tahanan, ada beberapa yang terpidana kasus pembunuhan. Mengapa begitu mudahnya para narapidana tersebut mendapatkan remisi atau pengurangan masa tahanan? Apakah kebijakan tersebut mampu membuat para narapidana jera? Tentu tidak, sistem sanksi yang tidak membuat jera para pelaku kriminalitas justru akan semakin banyak terjadi kejahatan, bahkan modus dan motif nya akan makin beragam. Akibatnya, selain kapasitas daya tampung lapas menjadi overload, hukum juga bisa dibeli. Bukan hal yang baru lagi, jika terpidana sederajat para penguasa, pemangku kebijakan, atau punya orang dalam di pemerintahan akan mendapatkan preville meskipun dalam rutan (rumah tahanan).

Ironisnya, pemerintah secara terbuka mengatakan remisi atau pengurangan masa tahanan untuk mengatasi overload dan menghemat anggaran. Inilah fakta bobroknya sanksi dalam sistem demokrasi. Normalisasi kejahatan dengan seringnya memberi remisi, setiap hukum diproses dengan berbelit, money politik menjadi budaya, penjara adalah hukuman paling sering mengingat ada hak asasi manusia. Rakyat khususnya narapidana menjadi beban adalah hal yang akan sering dimanfaatkan karena dalam sistem ini intinya adalah memisahkan agama dari kehidupan. Yang berlaku adalah hukum manusia, peran penguasa akan dibuat seminim mungkin mengurangi urusan rakyatnya. Tentunya, remisi atau pengurangan masa tahanan tidak akan menjadi solusi bagi tindak kejahatan, justru makin menjadi, jelas sanksi dalam sistem demokrasi tidak mampu memberikan efek jera.

Berbeda jauh dengan sistem Islam, dimana aturan ataupun sanski yang diberlakukan berasal dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Sanksi pun tidak dapat dibeli, karena pemangku kekuasaan dari sistem Islam sangat takwa akan seluruh aturan Islam. Sehingga memberikan keadilan dan efek jera terhadap pelaku tindak kejahatan, serta meminimalisir tindak kejahatan. Karena sanksi dalam sistem Islam bersifat zawazir (penjegah) dan zawabir (penebus). Saatnya umat Islam memiliki sistem kehidupan yang lebih sohih yaitu sistem Islam. Sebab, hal ini adalah juga bagian dari akidahnya sebagai Muslim.

 

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi