Oleh. Sudarni
(Ibu peduli Negeri)
Menteri Agama Yaqut Cholil enggan menanggapi pertanyaan terkait pelaporan dirinya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus tersebut terkait pengalihan kuota Haji reguler ke haji khusus dalam penyelenggaraan haji 2024. Ia enggan menanggapi saat sedang menghadiri acara salah satu sayap partai Gerindra, gerakan Kristiani Indonesia Raya (GEKIRA). “Ini kita hormati acara partai dong, kita hormati acara GEKIRA”. Ujar Yakub di Hotel Bidakarta, Jakarta Selatan, Sabtu (3/8 ).
Di sisi lain, Yaqut telah memastikan tidak ada penyalahgunaan alokasi kuota tambahan operasional ibadah haji 2024. Dia menjelaskan, kuota haji untuk Indonesia pada tahun ini mencapai 221.000 orang, terdiri dari 203.320 haji reguler dan 17. 680 haji khusus.
Di luar itu, Indonesia mendapatkan kuota tambahan sebanyak 20.000, yang lantas dibagi menjadi 10.000 haji reguler dan 10.000 haji khusus. “Kami tidak menyalahgunakan dan insya Allah kami jalankan Amanah ini sebaik-baiknya,” ucap Yaqut pada Juni lalu di Madinah.
Ibadah haji yang sejatinya kental dengan spirit keimanan dan penuh kesadaran dan kepatuhan pada Sang Pencipta, serta tuntas pengelolaannya di tangan orang-orang yang amanah. Namun dalam sistem kapitalisme, penyelenggaraan ibadah pun rawan dengan penyalahgunaan, menjadi ladang untuk mengambil manfaat juga korupsi.
Mirisnya, masyarakat harus berhadapan dengan realitas bahwa selama ada celah untuk menilap dana umat, pejabat korup akan menjadikannya sebagai bancakan sistem ini. Bahkan sistem saat ini menafikkan aturan Allah dalam mengurus urusan umat, termasuk ibadah haji.
Tidak bisa dimungkiri, dana haji dengan perputaran dana dari para pendaftar calon haji adalah lahan basah yang sangat subur untuk korupsi. Terlebih lagi, masyarakat di negeri ini mereka rela melakukan apapun semata agar terdaftar sebagai calon jemaah haji. Sayangnya, besarnya niat dan harapan mereka adalah bancakan menggiurkan dalam sudut pandang pejabat oportunis.
Namun, pada saat yang sama penambahan kuota jemaah, justru menambah margin keuntungan pejabat korupsi. Pemerintah juga seolah mengejar target jumlah jemaah, tetapi menafikkan terpentingnya seluruh rangkaian ibadah secara sempurna dan sesuai standar syariat.
Jelas, bahwa dalam sistem kapitalisme yang menyandarkan perbuatan pada asas manfaat ini menghasilkan penyelenggaraan ibadah haji yang tidak menjamin kenyamanan dalam bagi umat Islam. Jemaah haji adalah tamu Allah, Khilafah akan mengelola penyelenggaraan ibadah haji dengan penuh tanggung jawab dan memudahkan jemaah dalam semua tahapan, termasuk saat di tanah suci. Dalam segala sarana dan prasarana juga memanfaatkan kemajuan teknologi.
Pada masa Khilafah telah membangun rel kereta api, menyediakan rumah singgah untuk membantu jamaah yang kehabisan bekal dan sebagainya. Semua pejabat dan petugas yang bertanggung jawab adalah individu yang amanah buah dari sistem pendidikan Islam yang berasas akidah Islam. Mereka memahami bahwa setiap langkah dalam menjalankan amanah akan Allah tuntut pertanggungjawabannya. Konsekuensi dari kesadaran itu adalah menjalankan amanah dengan Spirit keimanan, bukan karena adanya asas materi dan manfaat yang mereka peroleh sebagaimana dalam kisruh korupsi penambahan kuota jemaah haji. wallahualam bissawab.