Oleh. Nurlina, S.Pd.
(Pegiat Literasi)
Pendidikan adalah kunci untuk menuju pintu yang terkunci dari ha-hal yang tidak diketahui. Bagaikan jembatan untuk membuka jendela dunia yang penuh warna dan makna. Namun sayangnya, pendidikan di negeri ini begitu sulit untuk dinikmati. Pendidikan kerap kali terbungkus dalam balutan harga yang tak semua mampu menggapainya.
Sebagaimana beberapa waktu yang lalu, media sosial kembali diramaikan dengan pemberitaan tentang kenaikan biaya uang kuliah tunggal (UKT) yang bahkan menuai gelombang aksi dari para mahasiswa. Mereka menuntut pihak rektorat dan pemerintah agar meninjau kembali kebijakan kenaikan UKT dan mencari solusi yang lebih berpihak kepada rakyat. Terkait hal ini, sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kemendikbud Ristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie merespon gelombang kritik tersebut Menurutnya, bukan UKT-nya yang naik, tapi kelompok UKT-nya yang bertambah.
“Ini sebenarnya secara prinsip bukan kenaikan UKT. tetapi penambahan kelompok UKT,” ucapnya. Tjitjik juga menyebut pendidikan tinggi indonesia belum bisa gratis seperti di negara lain. Sebab bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional. (CNN Indonesia.com, 26/5/2024).
Teranyar, Kemendikbud Ristek membatalkan kenaikan UKT, setelah sebelumnya Mendikbud Ristek, Nadiem dipanggil Presiden Jokowi ke istana negara. “Pembatalan kenaikan UKT, kenaikan IPI dan detail teknisnya akan disampaikan Dirjen Dikristek dalam Surat Dirjen, Prof Haris dan tim sudah menerima aspirasi berbagai pihak. Surat Dirjen akan diterbitkan segera agar pemimpin PTN dapat mengimplementasikan kebijakan dengan lancar,” terang Nadiem.
Dijelaskannya pihaknya akan mengevaluasi satu per satu permintaan atau permohonan PT untuk peningkatan UKT, tapi itu pun untuk tahun depan (detiknews.com, 27/5/2024).
UKT Mahal dalam Sistem Kapitalisme
Jika ditelusuri, tentu saja besarnya biaya UKT ini bukan tanpa sebab. Akan tetapi merupakan dampak dari perubahan perguruan tinggi (PT) menjadi perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH) di berbagai kampus negeri. Di mana seluruh biaya yang ada di PTN didasarkan dari perhitungan Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT).
Dengan begitu, menjadikan PT berlomba-lomba menjadi PTNBH untuk mendapatkan otonomi dalam mengelola perguruan tinggi sendiri, seperti kemandirian pengelolaan keuangan. Secara tidak langsung, otonomi ini memberikan keleluasan pada perguruan tinggi menaikan UKT mahasiswa yang disesuaikan dengan kebutuhan kampus. Selain itu, konsekuensi salah satu program WCU (World Class University) terhadap PT, mengharuskan syarat-syarat tertentu yang membutuhkan biaya yang mahal. Salah satunya konsep triple helix yaitu hubungan kerjasama antara pemerintah, perusahaan dan perguruan tinggi.
Alhasil, orientasi pendidikan tinggi bukan lagi untuk menjadikan manusia berkualitas dengan sumberdaya manusia (SDM) yang siap memimpin bangsa, melainkan lebih banyak memenuhi tuntutan dunia industri. Komersialisasi PT pun tak terhindarkan. Maka dengan demikian, terbukti bahwa mahalnya biaya pendidikan adalah akumulasi dari berbagai kebijakan negara yang rusak akibat tata kelola negara yang kapitalis-liberal. Sistem kapitalisme yang berorientasi pada materi telah menjadikan pendidikan yang seharusnya sebagai sektor layanan publik, kini menjadi ladang bisnis yang menggiurkan, dan sudah dipastikan problem ini akan membuat negeri ini sulit untuk maju.
Solusi Islam
Dalam sistem Islam, pendidikan merupakan kebutuhan dasar publik yang wajib disediakan oleh negara. Pendidikan bukan sebagai barang komersil apalagi dianggap barang tersier. Dalam Islam, pendidikan memiliki tujuan politik yaitu memelihara akal manusia. Pendidikan juga merupakan wasilah bagi seseorang untuk memiliki ilmu yang menjauhkannya dari kebodohan dan kekufuran.
Karena itu, satu-satunya cara untuk mengembalikan fungsi sahih negara sebagai pengurus dan pelayan umat yaitu dengan penerapan syariat Islam secara kaffah melalui sistem kekhilafahan. Khilafah melalui sistem politik ekonomi Islam akan mencegah negara menjadikan sektor layanan pendidikan sebagai komoditas bisnis. Negara akan menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai serta menyediakan tenaga pengajar yang ahli di bidangnya.
Pendidikan sebagai tuntutan syariat, dalam penyelenggaraan konsepnya tentu dibutuhkan dana yang besar. Dari manakah dana yang besar itu diperoleh? Di sinilah sistem ekonomi Islam berperan penting dalam mewujudkannya. Sumber keuangan negara dalam Khilafah melalui sistem ekonomi Islam berpusat pada Baitul Maal yang memiliki pos pemasukan besar yang terdiri dari 3 pos pendapatan, yaitu pos kepemilikan negara, pos kepemilikan umum, dan pos zakat, di mana masing-masing memiliki sumber pemasukan dan alokasi dana.
Untuk sektor pendidikan, pengaloksian dana dari pos kepemilikan umum. Alokasinya untuk pembiayaan sarana dan prasarana seperti gedung, perpustakaan, aula, laboratorium, asrama serta sarana dan prasarana lainnya. Sedangkan gaji guru dan tenaga administrasi, negara mengalokasikan anggaran dari pos kepemilikan negara. Dengan pembiayaan seperti ini, maka dunia pendidikan dan riset dapat fokus dikebangkan untuk melayani kebutuhan masyarakat luas, bukan untuk melayani dunia bisnis yang hanya mengharap keuntungan materi atau orientasi profit semata.
Pendidikan dalam Khilafah, seluruh proses yang berjalan di dalam pendidikan tinggi tidak memungut biaya kepada peserta didik atau mahasiswa, termasuk berbagai risetnya. Adanya dukungan ekonomi Islam menjadikan perguruan tinggi tidak akan mengalami problem kekurangan pembiayaan. Oleh karena itu, manipulasi yang dilakukan oleh peradaban barat melalui sistem kapitalis-liberal terhadap pendidikan tinggi di negeri-negeri muslim harus segera dihentikan. Sudah saatnya, kaum muslim menegakkan kembali Khilafah untuk mewujudkan tatanan dunia yang lebih baik. Wallahu a’lam bi ash-showab.