Mukmin Berjiwa Pejuang, Bervisi Pemenang

Orang-orang juara berjiwa pejuang dan bervisi pemenang. Ia tidak kenal lelah. Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai. Itulah yang ditunjukkan Rasulullah saw. tatkala beliau berdakwah dan berjihad di jalan Allah. Beliau mempersembahkan apa yang terbaik bisa dilakukan untuk agama-Nya. Perhiasan kehidupan dunia adalah ujian dan batu loncatan bagi mereka yang terpilih mempersembahkan amal terbaiknya:

إِنَّا جَعَلۡنَا مَا عَلَى ٱلۡأَرۡضِ زِينَةٗ لَّهَا لِنَبۡلُوَهُمۡ أَيُّهُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗا  ٧

Sungguh Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan dunia agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya (QS al-Kahfi [18]: 7).

 

Kalimat ahsanu ‘amal[an] (terbaik amalnya) menunjukkan bentuk tafdhîl (pengutamaan). Maknanya, sebagaimana dijelaskan Al-Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni (w. 1442 H) dalam Shafwat at-Tafâsîr (II/168), yakni:

أطوع لله وأحسن عملاً لآخرته

Siapa yang paling taat kepada Allah dan paling baik amal untuk akhiratnya.

 

Kualitas amal ini tentu ditopang oleh kekuatan iman, ilmu, amal dan bahkan kekuatan fisik. Setali tiga uang dengan pujian agung Rasulullah saw. bagi orang beriman yang kuat, beliau bersabda:

اَلْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى الله مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٌ، اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بالله وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُل: لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ : قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah ‘Azza wa Jalla daripada Mukmin yang lemah. Pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Jika engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, “Andai aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu.” Akan tetapi, katakanlah, “Ini telah ditakdirkan Allâh dan Allâh berbuat apa saja yang Dia kehendaki.” Sebabnya, ucapan ‘seandainya’ akan membuka (pintu) perbuatan setan (HR Muslim)

 

Sifat kekuatan dalam hadis ini tidak terbatas pada kekuatan fisik (quwwat al-jism), tapi mencakup kekuatan iman (quwwat al-‘îmân), ilmu (quwwat al-‘ilm), dan jiwa (quwwat al-nafs). Al-Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni dalam Min Kunûz as-Sunnah (hlm. 42), menguraikan: “Lafal al-qawiyy di sini maksudnya bukan sekadar kekuatan fisik, karena sebenarnya ia ada dengan makna umum; mencakup segala bentuk kekuatan, mencakup kekuatan tubuh, kekuatan jiwa, kekuatan ilmu dan kekuatan iman.”

Menariknya, hadis yang datang dalam bentuk informasi ini (uslûb khabari ibtidâ’î) menggambarkan besarnya kedudukan seorang Mukmin yang unggul. Unggul dari aspek kekuatannya. Ini berfaedah mendorong untuk menguatkan perhatian meraih berbagai potensi kekuatan, yakni  kekuatan yang tak bisa dilepaskan dari keimanan itu sendiri, relevan dengan lafal al-qawiyy yang menjadi sifat dari al-mu’min (ism al-fâ’il bermakna orang yang beriman). Keimanan adalah kebaikan. Bahkan seorang mu’min yang lemah pada prinsipnya padanya ada kebaikan. Karena itu Rasulullah saw. mengatakan “wa fii kull[in] kyayr[un]” (kull[in] dengan tanwîn ‘iwadh), yang hakikatnya bermakna: “Pada Mukmin yang kuat terdapat kebaikan, dan pada Mukmin yang lemah juga terdapat kebaikan.”

Namun, Mukmin yang kuat jelas lebih baik (khayr) dan lebih Allah cintai daripada Mukmin yang lemah dalam hal kebaikannya. Kebaikan apa yang dimaksud? Dalam hadis lainnya Rasulullah saw. bersabda:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّه خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْراً لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَر فَكَانَ خَيْراً لَه

Sungguh mengagumkan urusan orang beriman. Setiap urusannya baik. Hal ini tak terjadi kecuali pada orang beriman. Jika meraih kebahagiaan, ia bersyukur. Itu adalah kebaikan baginya. Jika ditimpa kesulitan, ia bersabar. Itu pun kebaikan baginya (HR Muslim dan ath-Thabarani).

 

Mensyukuri dan mengoptimalkan berbagai potensi kekuatan untuk meraih kemenangan dakwah adalah bagian dari tanda-tanda kebaikan iman seseorang, sebagaimana ia pun bersabar menghadapi ujian dalam dakwah bi tawfîqilLâh. Bukankah perintah agung Rasulullah saw. ini mendorong untuk mengoptimalkan apa yang berfaedah untuk dakwah?

اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ باللهِ وَلَا تَعْجَزْ

Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah.”

 

Maknanya adalah  memperhatikan hal-hal bermanfaat menurut syariah, disertai dengan sifat tawadhu’, menyadari kelemahan diri, senantiasa memohon pertolongan agar senantiasa kokoh menghadapi ujian, dan memohon bimbingan-Nya agar teguh di atas jalan kebenaran. Benarlah senandung seorang penyair:

إذا لم يُعِنْكَ الله فيما تُريدُه *

فليس لمخلوق إليه سبيْل

وإنْ هُو لم يُرْشِدْكَ في كل مَسْلَك*

ضَلَلْتَ ولوْ أنَّ السماك دليل

Andai Allah tidak menolongmu atas apa yang engkau inginkan/maka tiada jalan bagi ciptaan-Nya untuk sampai kepadanya (apa yang dia inginkan).

Andai Allah tidak menuntunmu pada setiap jalan/niscaya engkau tersesat sekalipun langit dijadikan petunjuk.

 

Rasulullah saw. pun melarang sikap lemah dan mental kalah. Ini sejalan dengan firman-Nya:

وَلَا تَهِنُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَنتُمُ ٱلۡأَعۡلَوۡنَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ  ١٣٩

Janganlah kalian bersikap lemah dan jangan (pula) kalian bersedih hati. Padahal kalianlah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kalian orang-orang yang beriman (QS Ali Imran [3]: 139).

 

Mahabesar Allah Yang telah melarang orang-orang beriman bersikap lemah dan menghibur mereka dengan firman-Nya: wa antum al-a’lawn (kalianlah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), dengan syarat jika mereka beriman (menegakkan akidah dan syariah Islam). Tidak ada waktu mundur ke belakang meski selangkah. Fokus menatap masa depan Islam yang gemilang di akhir zaman, sebelum sampai pada perjumpaan dengan Allah yang dinantikan sebagai jiwa-jiwa yang tenang (al-nafs al-muthma’innah). Miqdad  bin al-Aswad berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

لَا يَبْقَى عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ بَيْتُ مَدَرٍ وَلَا وَبَر إِلَّا أَدْخَلَهُ الله كَلِمَةَ الْإِسْلَامِ بِعِزِّ عَزِيزٍ أَوْ ذُل ذَلِيلٍ إِمَّا يُعِزُّهُمْ الله عَزَّ وَجَلَّ فَيَجْعَلُهُمْ مِنْ أَهْلِهَا أَوْ يُذِلُّهُمْ فَيَدِينُونَ لهَاَ

Tidak tersisa di muka bumi satu rumah di kampung dan kota kecuali Allah masukkan ke dalamnya kalimat Islam dengan kemuliaan orang yang mulia atau kehinaan orang yang hina. Baik dengan Allah memuliakan mereka dan menjadikan mereka menjadi orang-orang yang mulia itu atau Allah menghinakan mereka sehingga mereka pun patuh tunduk pada kalimat Islam itu (HR Ahmad).

 

Tidak lah seorang Mukmin mendapati hadis ini, melainkan muncul harapan, semangat dan impian menjadi golongan yang disebutkan ash-shâdiq al-masdûq, Rasulullah saw., sebagai umat yang dianugerahi kemulian, dengan kontribusi mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia, mengetuk pintu-pintu dan menerangi setiap penjuru kegelapan, hingga seluruhnya tersinari cahaya Islam. Mukmin berjiwa pejuang dan bervisi pemenang:

وَلِلَّهِ ٱلۡعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِۦ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ ٨

Milik Allah kemuliaan itu, juga Rasul-Nya dan kaum Mukmin (QS al-Munafiqun [63]: 8).

 

WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I; (Peneliti Balaghah al-Quran dan Hadis Nabawi)]

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi