Oleh: KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Banyak di antara umat Islam yang menganggap Idul Fitri sekadar makan-makan, hura-hura. Padahal banyak persoalan hukum terkait Idul Fitri atau lebaran ini. Maka, seharusnya sebagai seorang Muslim mengetahui persoalan fiqih seputar masalah tersebut.
Fiqih Lebaran di sini maksudnya adalah sejumlah hukum syara’ yang terkait dengan hari raya Idul Fitri, baik sebelum, pada saat, maupun sesudah shalat Idul Fitri. Berikut ini di antara hukum-hukum syara’ tersebut :
(1). Diwajibkan secara fardhu kifayah untuk melakukan rukyatul hilal bulan Syawal pada saat maghrib malam ke-30 bulan Ramadhan. Hal ini karena menurut ulama empat mazhab rukyatul hilal inilah yang merupakan sebab syar’i bagi pelaksanaan shalat Idul Fitri, termasuk hukum-hukum lain yang terkait, seperti zakat fitrah dan takbiran pada malam Idul Fitri. Sabda Rasulullah SAW,”Berpuasalah kamu karena melihat hilal [Ramadhan], dan berbukalah kamu (beridul fitrilah) karena melihat hilal [Syawwal]…” (HR Bukharino 1810; Muslim no 1080).
(2).Diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah pada malam Idul Fitri bagi yang mempunyai kelebihan makanan pada malam itu, meski dibolehkan menyegerakan mengeluarkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan. Zakat fitrah berupa makanan pokok dengan takaran satu sha’ (sekitar 2,5 kg), bukan berupa uang. Demikian menurut jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (AlMudawwanah alKubra, 1/392; AlMajmu’, 6/112; AlMughni, 7/295).
Zakat fitrah dibagikan kepada siapa? Ada dua pendapat; pertama, kepada seluruh mustahiq zakat dari delapan golongan. Ini pendapat jumhur ulama empat mazhab. Kedua, khusus kepada kaum miskin saja. Ini pendapat sebagian ulama, seperti Ibnul Qayyim. Yang rajih, pendapat jumhur. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/387).
(3).Disunnahkan takbiran sejak malam Idul Fitri, baik di rumah atau di jalan menuju lapangan/masjid, hingga keluarnya imam untuk mengimami shalat Idul Fitri. Dalam lafal takbir ini dibolehkan bertakbir dua kali “allahu akbar allahu akbar dst” dan boleh juga tiga kali “allahu akbar allahu akbar allahu akbar dst”. (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 237). Dalil bertakbir dua kali adalah atsar dari Ibnu Mas’ud ra, dia bertakbir, ”Allahu akbar allahu akbar, laa ilaaha illallahu wallaahu akbar, allahu akbar wa lillahil hamd.” (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 2/168).
Namun dari Ibnu Mas’ud ra juga, bahwa beliau bertakbir sebanyak tiga kali(Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 2/165). Kedua sanad hadits tersebut sama-sama shahih, sebagaimana penjelasan Syeikh Nashiruddin Al Albani dalam kitabnya Irwa`ul Ghalil juz 3 hlm. 125. Jadi berlebihan kiranya kalau ada yang membid’ahkan lafal takbir sebanyak tiga kali. Imam Shan’ani berkata,”Terdapat tatacara takbir yang bermacam-macam dari para imam. Ini menunjukkan adanya kelonggaran (tawassu’ah) dalam urusan ini.” (Subulus Salam, 3/247).
(4). Disunnahkan mandi pada pagi hari sebelum shalat Idul Fitri, juga makan sebelum keluar rumah, dan berjalan menuju lapangan tempat shalat (mushala). Dari Sa’id bin Musayyab, dia berkata, ”Sunnah Idul Fitri ada tiga; yaitu berjalan menuju lapangan tempat shalat (mushala), makan sebelum keluar rumah, dan mandi.” Kata Syeikh Nashiruddin Al Albani dalamIrwa`ul Ghalil, 3/104, “Sanad riwayat tersebut shahih.” (Sa’id Al Qahthani, Shalatul ‘Iedain, hlm. 12).
(5). Disunnahkan memakai wewangian dan bersiwak, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas mengenai adab shalat Jumat,”Jika ada wewangian, maka gunakanlah wewangian dan juga bersiwaklah.” (HR Ibnu Majah, 1/326). Kata Imam Ibnu Qudamah, “Jika ini disyariatkan untuk shalat Jumat, maka untuk shalat Ied tentu lebih utama.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 3/257).
(6). Disunnahkan memakai pakaian terbaik pada Idul Fitri. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa Imam Ibnu Abi Dunya dan Imam Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad sahih bahwa Ibnu Umar ra memakai pakaiannya yang terbaik pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. (Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, 2/439).
(7). Disunnahkan pergi ke lapangan tempat shalat (mushala) melalui satu jalan dan pulang melalui jalan lain. Karena demikianlah apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. (HR Bukhari no 986).
(8).Disunnahkan secara sunnah mu`akkadah untuk shalat Idul Fitri. Inilah pendapat madzhab Syafi’i yang menurut kami paling kuat mengenai hukum shalat Idul Fitri/Adha di antara tiga pendapat ulama yang ada; pertama, hukumnya fardhu kifayah. Ini pendapat Imam Ahmad. Kedua, hukumnya fardhu ‘ain. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan satu versi riwayat dari pendapat Imam Ahmad. Ketiga, hukumnya sunnah, tidak wajib. Ini pendapat Imam Malik dan mayoritas para shahabat Imam Syafi’i. (Sa’id Al Qahthani, Shalatul ‘Iedain, hlm. 7).
(9). Disunnahkan shalat Idul Fitri di lapangan (mushala), namun boleh juga mengerjakannya di masjid meski yang lebih afdhal adalah di lapangan. Hal ini karena Rasulullah SAW melakukan shalat Idul Fitri dan Idul Adha di mushala, yakni tempat lapang yang jaraknya seribu hasta dari pintu masjid Nabawi di Madinah. (HR Bukhari no 956, Muslim no 889, dari Abu Said Al Khudri ra).
(10). Tidak disyariatkan shalat apa pun sebelum dan sesudah shalat Idul Fitri. Dalilnya, hadits Ibnu Abbas ra bahwa Nabi SAW keluar pada Idul Fitri dan melakukan shalat Idul Fitri dua rakaat dan beliau tidak melakukan shalat sebelum dan sesudahnya. Nabi SAW saat itu bersama Bilal.” (HR Bukhari no 989; Muslim no 884).
(11) Tidak disyariatkan adzan dan juga iqamah dalam shalat Idul Fitri/Adha. Dalilnya hadits dari Jabir bin Samurah ra, dia berkata.”Saya pernah shalat Idul Fitri dan Idul Adha bersama Nabi SAW tak hanya sekali atau dua kali, dan shalat tersebut tanpa adzan dan juga tanpa iqamah.” (HR Muslim, no 887).
(12). Disyariatkan khutbah setelah selesainya shalat Idul Fitri. Para ulama berbeda pendapat apakah khutbahnya itu dua kali khutbah seperti khutbah Jumat ataukah hanya sekali khutbah. Fuqaha empat mazhab sepakat khutbah Ied itu dua khutbah seperti khutbah Jumat. Bahkan Imam Ibnu Qudamah dan Ibnu Hazm menegaskan dalam masalah ini sesungguhnya para fuqaha tak berbeda pendapat. (Abdurrahman Jazairi, Al Fiqh ‘Ala Al Mazahib Al Arba’ah, 1/238).
Namun sebagian fuqaha berpendapat khutbah Ied hanya satu khutbah, bukan dua khutbah. Inilah pendapat Imam Syaukani, Imam Shan’ani, dan lain-lain. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 695; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/679). Pendapat yang rajih, khutbah Ied dilaksanakan dua kali, bukan satu kali. (Mahmud ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shalah, 2/177).
(13) Dibolehkan mengucapkan selamat (tahni`ah) setelah shalat Ied, dengan ucapan,”Taqabbalallahu minnaa wa minka/minkum.” (semoga Allah menerima amal kami dan amal Anda). (Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, 2/446). Memulai mengucapkan selamat adalah boleh, namun menjawabnya wajib. (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa, 24/253).
Wallahu a’lam.[]
[https://mediaumat.id/seputar-fiqih-lebaran-2/]