Diasuh Oleh. Ustaz M Shiddiq Al-Jawi
Tanya:
Ustaz, suami saya baru saja meninggal. Mohon diterangkan hal-hal apa saja yang dilarang bagi istri yang berkabung karena ditinggal mati suaminya? (Farida, Yogyakarta).
Jawab :
Sebelumnya, perlu dijelaskan masa iddah untuk perempuan yang ditinggal mati suaminya dan hukum syarak yang terkait dengan masa iddah itu. Masa iddah mereka adalah empat bulan sepuluh hari,
sesuai firman Allah Swt. (artinya), “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234)
Ayat di atas berlaku umum, berlaku untuk setiap perempuan yang ditinggal mati suaminya. Kecuali jika perempuan itu hamil, maka masa iddahnya bukan empat bulan sepuluh hari, melainkan hingga perempuan itu melahirkan, sesuai firman Allah Swt. (artinya), “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaq: 4)
Hukum yang terkait dengan masa iddah ini ialah adanya larangan khitbah dan nikah dalam masa iddah. Tidak boleh seorang laki-laki melamar (khitbah) perempuan yang ditinggal mati suaminya jika disampaikan secara terang-terangan (tashrih), namun boleh jika disampaikan secara sindiran (ta’ridh). Dalilnya firman Allah Swt. (artinya), “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu [yang ditinggal mati suaminya dalam masa iddahnya] dengan sindiran.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Tidak boleh pula dalam masa iddah ini melakukan akad nikah. Dalilnya firman Allah Swt. (artinya), ”Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya.” (QS Al-Baqarah: 235)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa para ulama telah sepakat bahwa akad nikah tidak sah jika dilakukan dalam masa iddah (Tafsir Ibnu Katsir, I/509).
Adapun larangan-larangan dalam masa iddah yang disebut masa berkabung (ihdad), ada 5 (lima) perkara sebagai berikut (lihat Shalih Al Fauzan, Tanbihat ‘Ala Ahkam Tukhtashshu bil Mu`minat, hlm. 69-70):
Pertama, tidak boleh perempuan yang ditinggal mati suaminya menggunakan wangi-wangian dalam segala jenisnya. Baik itu wangi-wangian di badan atau di pakaian, atau mempergunakan sesuatu yang berbau wangi.
Dalilnya sabda Nabi saw., ”Janganlah perempuan itu menyentuh wangi-wangian.” (wa laa tamassu thiiban). (HR. Bukhari no 5342, Muslim no 938)
Kedua, tidak boleh dia berhias di badan (az-ziinah fil badan), misalnya mewarnai rambut atau anggota tubuh dengan inai (khidhab), menggunakan celak (iktihal) dalam segala jenisnya, kecuali jika celak itu dibutuhkan untuk berobat, bukan untuk berhias, maka boleh menggunakan di malam hari namun harus dihapus di pagi hari. Dalilnya hadis Ummu Athiyah ra, dia berkata tentang larangan dalam masa berkabung, ”Kami tidak menggunakan celak, tidak menggunakan wewangian, tidak menggunakan baju yang dicelup …” (HR Bukhari no 5341; Muslim no 938).
Ketiga, tidak boleh dia bersolek dengan baju (tazayyun bi tsiyab) yang memang dimaksudkan untuk berhias. Dalilnya hadits Ummu Athiyah ra di atas. Pendapat yang lebih shahih dalam madzhab Syafii bahwa yang dilarang adalah semua baju, baik dicelup atau tidak, yang penting merupakan baju untuk berhias/bersolek (tsiyab az-ziinah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1378).
Keempat, tidak boleh dia menggunakan perhiasan dalam segala jenisnya, seperti kalung, gelang, termasuk cincin.
Dalilnya hadis Ummu Salamah ra bahwa wanita yang berkabung dilarang menggunakan perhiasan (al hulli) (HR Ahmad, 6/302; Abu Dawud no 2304, Nasa`i, 6/203).
Kelima, tidak boleh dia bermalam di luar rumahnya, yaitu rumah tempat meninggalnya suami, kecuali ada udzur syar’i.
Dalilnya hadis Fari’ah binti Malik ra yang suaminya meninggal, bahwa Nabi SAW berkata kepadanya, ”Berdiamlah kamu di rumahmu …” (HR Tirmidzi no 1204, Nasa`i, 6/199; Ibnu Majah no 2031)
Wallahu a’lam.