KEMUDHARATAN YANG TIMBUL DALAM PERJUANGAN MENEGAKKAN KHILAFAH, TIDAK DAPAT MENJADI ALASAN UNTUK MENOLAK KHILAFAH

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :

Ada orang yang berpendapat bahwa Khilafah harus ditolak karena dalam upaya penegakannya kembali, menimbulkan berbagai mudharat, seperti korban jiwa, korban harta, dan sebagainya. Setelah Khilafah berdiri, orang itu juga mengatakan Khilafah akan menimbulkan berbagai mudharat seperti peperangan atau terpecah belahnya masyarakat, atau runtuhnya berbagai negara bangsa (nation-state) di Dunia Islam. Bagaimana kita umat Islam menyikapi pendapat tersebut?

Jawab :

Wajibnya Khilafah tidaklah dapat ditolak dengan alasan ada kemudharatan (bahaya) ketika ada upaya penegakan kembali Khilafah, apapun pun juga bentuk kemudharatan itu, misalnya terpecah belahnya masyarakat, runtuhnya negara-bangsa, atau korban harta, jabatan, pekerjaan, bahkan jiwa dari para pejuangnya.

Hal ini dikarenakan jika terjadi kemudharatan dalam pelaksanaan suatu kewajiban syar’i, seperti kewajiban thaharah, kewajiban sholat, kewajiban zakat, kewajiban haji, termasuk kewajiban Khilafah, maka yang wajib dihilangkan adalah kemudharatannya, bukan menghilangkan atau menghapuskan kewajibannya itu sendiri, sesuai kaidah fiqih :

اَلضَّرَرُ يُزَالُ

Al-ḍararu yuzālu, artinya, segala macam bentuk kemudharatan (bahaya) wajib hukumnya untuk dihilangkan. (Syekh Muṣṭofa Aḥmad Az-Zarqā`, Sharah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, Damaskus : Dār Al-Qalam, Cetakan II, 1409/1989, hlm. 179).

Syekh Muṣṭofa Aḥmad Az-Zarqā`, menjelaskan makna kaidah fiqih tersebut dengan berkata :

اَلضَّرَرُ يُزَالُ، أَيْ تَجِبُ إِزالَتُهُ ، لِأَنَّ الأَخْبارَ فِي كَلامِ الفُقَهاءِ لِلْوُجُوبِ .

“Al-ḍararu yuzālu, [yang makna harfiyahnya “segala bentuk bahaya dihilangkan”], makna yang dimaksud adalah “segala bentuk bahaya wajib hukumnya untuk dihilangkan”, karena kalimat berita dalam ujaran yang digunakan oleh para fuqoha`, artinya menunjukkan hukum wajib.”

(Syekh Muṣṭofa Aḥmad Az-Zarqā`, Sharah Al-Qawā’id Al-Fiqḥiyyah, Damaskus : Dār Al-Qalam, Cetakan II, 1409/1989, hlm. 179).

Jadi, jika terjadi mudharat (bahaya) dalam pelaksanaan suatu kewajiban syar’i, maka yang dihilangkan adalah mudharat-nya, bukan kewajibannya. Dan inilah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i yang banyak, antara lain :

Pertama, hadits Jabir bin Abdillah RA :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِي سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلًا مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ قَتَلُوهُ قَتَلَهُمْ اللَّهُ أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَ أَوْ يَعْصِبَ شَكَّ مُوسَى عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِه. رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ

Dari Jabir bin Abdillah RA, dia berkata kami serombongan shahabat pernah dalam suatu perjalanan, lalu ada seorang laki-laki dari kami yang kepalanya tertimpa batu sehingga luka parah. Di malam hari dia bermimpi basah mengeluarkan mani. Keesokan harinya, dia bertanya, ”Apakah kamu mendapati ada rukhshah untuk saya [supaya tidak mandi junub dengan air]?”. Para shahabat menjawab,”Tidak, kamu mampu menggunakan air.” Laki-laki itu lalu mandi dan akhirnya meninggal dunia. Ketika kami menemui Nabi SAW, saya melaporkan peristiwa tersebut. Nabi SAW bersabda, ”Mereka telah membunuh laki-laki itu. Semoga Allah membinasakan mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu, karena sesungguhnya obat dari ketidaktahuan adalah bertanya. Sesungguhnya cukuplah dia bertayammum dan meneteskan air pada lukanya atau memasang semacam perban pada lukanya, kemudian dia mengusapnya dan dia mandi untuk bagian tubuhnya lainnya.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abī Dāwud, Damaskus : Dār Al-Risālat Al-‘Ālamiyyah, Cetakan I, 1430/2009, I/252, no. 336. Hadits ini dihasankan oleh Syekh Nāṣiruddīn Al-Albānī dalam Ṣaḥiḥ Abī Dāwud, no. 336).

Kedua, hadits ‘Imrān bin Al-Hushayn RA :

عنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْن -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- قَالَ: كَانَتْ بِيَ بَوَاسِيْرُ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ -صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- عَنِ الصَّلاَةِ، فَقَالَ : صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ. رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ

Dari ‘Imrān bin Al-Hushayn RA, dia berkata, ”Saya pernah menderita penyakit bawāsīr (ambeien), lalu aku bertanya kepada Nabi SAW mengenai cara sholat. Nabi SAW bersabda,’Sholatlah kamu sambil berdiri, lalu jika kamu tidak mampu, sholatlah sambil duduk, dan jika kamu tidak mampu juga, sholatlah sambil berbaring di atas lambung [kanan].” (HR Bukhari, Ṣaḥiḥ Al-Bukhārī, Damaskus : Dār Ibn Katsīr, Cetakan I, 2002/1423, hlm. 272, no.1117).

Kedua hadits di atas menunjukkan jika terjadi mudharat saat seseorang melaksanakan kewajiban thaharah atau sholat, yang dilakukan bukanlah meninggalkan kewajiban thaharah atau sholat, melainkan menghilangkan kemudharatannya, dengan mengubah cara (kaifiyat) pelaksanaan kewajiban yang ada sesuai petunjuk syariat.

Jadi, pada saat muncul mudharat ketika kita melaksanakan suatu kewajiban syariah, maka yang wajib dihilangkan adalah mudharatnya, bukan kewajibannya.

Maka dari itu, jika misalnya dalam pelaksanaan kewajiban haji terjadi suatu kemudharatan, misalnya banyak korban yang tewas karena berdesakan di Terowongan Mina, maka yang wajib dihilangkan adalah mudharatnya, bukan menghilangkan atau menghapuskan kewajiban hajinya.

Contoh lain, dalam pelaksanaan kewajiban zakat, seringkali juga terjadi kemudharatan, misalnya ada korban yang tewas karena berdesak-desakan saat pembagian zakat. Dalam kondisi demikian, yang wajib dihilangkan adalah mudharatnya, bukan menghilangkan atau menghapuskan kewajiban zakatnya.

Nah, demikian pula dalam upaya menegakkan Khilafah, yang juga merupakan suatu kewajiban syariah. Jika dalam upaya penegakannya atau pasca penegakannya ada bahaya-bahaya yang ditimbulkan, maka yang wajib dihilangkan adalah mudharatnya, bukan menghilangkan atau menghapuskan kewajiban Khilafahnya.

Maka dari itu, jelas sekali bahwa wajibnya Khilafah tidak dapat ditolak dengan alasan menimbulkan berbagai mudharat pada saat penegakannya, atau pada pasca penegakannya. Hal itu dikarenakan Khilafah adalah suatu kewajihan syar’i, yang telah terbukti wajibnya dengan dalil-dalil syar’i dari Al-Qur`an, As-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qā’idah Syar’iyyah. Pendapat yang mengatakan bahwa Khilafah wajib ditolak karena menimbulkan kemudharatan dalam upaya penegakannya sungguh adalah pendapat yang batil yang sesat dan menyesatkan. Wallāhu a’lam.[]

Yogyakarta, 31 Maret 2023

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi