Nafkah Bukanlah Kejar Setoran

Oleh: Ustaz Iwan Januar

“Pokoknya, ayah harus kasih uang belanja dua ratus ribu rupiah, ya!”

Sebagian istri ada yang memandang nafkah suami ibarat setoran. Mesti dikirim tiap hari, dan jumlahnya sudah ditentukan. Mungkin para istri seperti ini sudah mengalkulasi biaya kebutuhan harian atau bulanan sehingga punya target minimal uang belanja. Saya tidak mengada-ada. Faktanya memang ada sejumlah perempuan yang menerapkan pola seperti ini pada suaminya.

Nafkah memang kewajiban para suami. Allah Swt. dan Rasulullah saw. telah menetapkan kewajiban ini pada kaum lelaki, bukan pada kaum perempuan. Firman-Nya:

وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 233)

Nabi saw. mengingatkan para suami agar jangan sekali-kali mengabaikan nafkah keluarga. Sabdanya:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

“Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang wajib ia beri makan (nafkah).” (HR. Abu Daud)

Nafkah juga mesti diberikan secara makruf oleh suami.

قلت: يا رسول الله! ما حقُّ زوجة أحدِنا عليه؟ قال: أن تُطعِمَها إِذا طَعِمْت، وتَكْسُوَها إِذا اكتسيت، ولا تضربَ الوجه، ولا تُقَبِّحَ، ولا تهجرَ إِلا في البيت

“Wahai Rasulullah, apa saja hak istri yang wajib kami tunaikan?” Beliau bersabda, “Engkau beri ia makan jika engkau makan, engkau beri ia pakaian jika engkau berpakaian, dan jangan engkau memukul wajahnya, jangan mencelanya, dan jangan memboikotnya kecuali di rumah.” (HR Abu Daud)

Memberi nafkah adalah salah satu kewajiban yang pokok dalam pernikahan. Bahkan para pemuda yang diseru untuk menikah oleh Nabi adalah mereka yang punya kemampuan menikah, di antaranya adalah memiliki nafkah.

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ

“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian telah mampu menikah, hendaklah ia menikah.”(HR Bukhari)

Makna al-ba’ah oleh para ulama dijelaskan dalam dua hal; pertama, makna secara bahasa yaitu jimak (bersetubuh). Kedua, makna ba’ah itu adalah beban (al-mu’nah dan jamaknya mu’an) pernikahan.

Imam Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim juz IX/173 ketika menjelaskan makna ba’ah, beliau mengutip pendapat Qadhi Iyadh, menurut bahasa yang fasih, makna ba’ah adalah bentukan dari kata al-maba’ah yaitu rumah atau tempat, di antaranya maba’ah unta yaitu tempat tinggal (kandang) unta. Kemudian mengapa akad nikah disebut ba’ah? karena siapa yang menikahi seorang wanita maka ia akan menempatkannya di rumah.

Tetapi, para istri juga harus paham kalau kewajiban nafkah pada suami itu ditetapkan oleh Allah Swt. Yakni, Allah menetapkan batasan nafkah sesuai kemampuan suami, bukan berdasarkan kesepakatan suami apalagi permintaan istri. Tentu saja, suami harus paham kalau ia wajib bekerja keras sebagai pencari nafkah.

Lalu, bicara soal nafkah tentu terkait dengan ketetapan rezeki dari Allah Swt. Tidak ada yang bisa memastikan berapa besar rezeki yang bisa didapat seorang hamba setiap saat. Allah Swt. berfirman:

وَاللّٰهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۣطُۖ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

“Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Di sinilah keadilan syariat Islam terwujud, ketika Allah mewajibkan nafkah pada para suami, tetapi Islam juga memberikan batas kewajiban itu sesuai kadar rezeki yang diberikan Allah. Firman-Nya:

لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٖ مِّن سَعَتِهِۦۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَاۚ سَيَجۡعَلُ ٱللَّهُ بَعۡدَ عُسۡرٖ يُسۡرٗا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7)

Ketika Allah memberikan rezeki yang lapang pada seorang suami, maka ia diwajibkan memberikan nafkah selapang-lapangnya pada keluarga. Saatnya ajak istri makan steak, jalan-jalan, atau beli skincare untuk perawatan tubuh. Tetapi ketika Allah sedang menyempitkan rezeki suami, maka sebatas itulah nafkah yang wajib diberikan pada keluarga. Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya.

Karenanya, para istri wajib paham kalau nafkah memang kewajiban, tetapi bukan setoran yang ada batas minimal perhari atau perbulan. Suami yang paham agama akan bekerja sebaik-baiknya mencari nafkah, dan memberikan nafkah yang terbaik untuk istri dan anak-anak.

Saat suami diberi ujian kesempitan rezeki, ya istri harus terima. Bersabar dan tetap bersyukur adalah sikap terbaik, sambil mendekatkan diri pada Allah agar hati tidak kufur nikmat dan mudah-mudahan diberi rezeki dari jalan yang tak diduga-duga. Tahu-tahu ada berkat tahlilan dengan lauk ayam geprek pakai sambel goreng kentang. Itu juga rezeki dari Allah.

Suami dan istri harus tetap kompak dan romantis karena Allah, bukan karena uang. Tak ada artinya hidup miskin kalau Allah gak rida. Yang enak adalah rezeki berlimpah dan Allah rida, bukan begitu? Jadi dekaplah suami, beri support, jangan banyak menuntut karena istri bukanlah pengacara, tetapi sahabat setia. Jadilah perempuan yang pandai bersyukur karena itu salah satu kekayaan keluarga yang berharga.

Sumber: web iwanjanuarcom

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi