Oleh. Ustazah Yanti Tanjung
Dalam satu episode kehidupan seorang ayah dan anak telah tertulis dalam Alquran dialog yang sangat mendalam memancarkan sinar ketaatan secara total pada keduanya. Merekalah Nabi Ibrahim dan anaknya Isma’il yang diabadikan dalam surat Ash-Shaffat : 102
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata. ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.
Sungguh Isma’il adalah tauladan kesabaran sekaligus ketaatan sempurna. Tak ada penolakan sedikitpun pada dirinya ketika dia tahu bahwa apa yang diungkapkan oleh ayahya adalah perintah Rabbnya, walau itu dia harus mengorbankan nyawanya. Inilah tingkat pengorbanan yang tertinggi dan puncak kesabaran bagi seorang anak.
Andai Isma’il ngeyel bertanya pada ayahnya, “ Wahai ayah kenapa aku yang harus disembelelih, kenapa anak yang lama kau tunggu kelahirannya sekarang Allah perintahkan engkau menyembelihnya lalu engkau rela melakukannya? Kenapa kau tak protes sama Allah? Ayah macam apa kau ini”
Tapi tak ada sedikitpun terbersit dalam hati sang anak remaja tersebut untuk protes, dia mendengar dia taat. Juga tak terbayang oleh Isma’il sekiranya dengan menyerahkan lehernya untuk disembelih lalu Allah ganti dengan hewan kurban. Masya Allah Isma’il benar-benar sifat sabar teguh berdiri dihadapan ketaatan total pada Allah swt.
Begitulah tingkat kesabaran yang bisa kita ambil dari Ism’il, semakin tinggi semakin tinggi hingga puncak pengorbanan nyawa. Anak-anak yang hendak kita didik dalam sabar adalah anak-anak yang mampu melewati ujian demi ujian ketaatan dalam menjalankan perintah Allah swt dan menjauhkan larangannya, fashbir shabran jamiilaa.
Kesabaran itu dibangun di atas keimanan yang kokoh, keimanan yang hanya mengharapkan pertemuan dengan Allah dalam taat dan yakin dlam petemuan itu Allah dalam keadaan ridha dan kitapun ridha padaNya. Maka kokohkanlah keimanan ananda sekokoh-kokohnya sehingga dia hanya menghadapkan wajahnya pada Allah saja dalam kehidupan ini, tidak silau dengan dunia betapapun beratnya ujian yang akan dijalani.
Kesabaran juga meminta ananda untuk berpegang teguh pada syariah Allah dan tidak mau keluar seujung rambutpun dalam koridor syariah walau dihadapkan pada tawaran-tawaran harta, tahta dan wanita agar meninggalkan syariah dia tidak bergeming. Maka deraskanlah tsaqafah Islm, luaskan anak dengan hamparan hukum-hukum Allah untuk dia cerna, resapi, pahami, amalkan dan menyebarkannya dalam kehidupan. Anak sabar dalam ilmu, sabar menapaki ilmu setahap demi setahap hingga ananda mendapatkan ketinggian berpikirnya, mampu menjawab persoalan2 kehidupan dan meraih pahala di setiap amalnya.
Kesabaran juga meminta ananda untuk teguh dalam dakwah dalam menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi, mengelola bumi dengan syariah sebagai khalifatul ardh walau harus berhadapan dengan kezaliman para penguasa, fitnah keji para pemimpinnya ananda hadir di tengah-tengah kehidupan itu menjadi generasi khairu ummah, generasi terbaik dimanapun posisinya, dokter, insinyur, pebisnis, guru, dosen, perawat dll anak aktif beraktifitas amar ma’ruf nahyi munkar dan mengajak manusia beriman kepada Allah swt.
Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sumber: Dunia Parenting